Sunday 18 September 2016

Definisi Riba


BAB KEEMPAT : RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN SEJARAH

A.      DEFINISI RIBA
Riba secara Bahasa bermakna :ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh dan membesar.[33] Adapun menurut istilah teknis, riba juga berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[34] Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…”(an-Nisaa’:29)

Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya. Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan,

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”.

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.[35]

Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa saja rugi.

Pengertian senada disampaikan oleh Jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya sebagai berikut.

1.      Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.[36]

2.      Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”.[37]

3.      Raghib al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”.

4.      Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi’I [38]
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.

5.      Qatadah
“Riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah dating saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan”.

6.      Zaid bin Aslam
“Yang dimaksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata, ‘Bayar sekarang atau tambah’.[39]

7.      Mujahid
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu membayar), si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu”.[40]

8.      Ja’far ash-Shadiq dari Kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba, “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”[41]

9.      Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab, “Sesungguhnya riba itu adalah seseorang yang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan”.[42]


~~ * * * ~~

Footnote :
[33] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest : A Study Of The Prohibition Of Riba and its Contemporary Interpretation (Leiden: EJ Brill,1996)
[34] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999)
[35] Anwar Iqbal Quresyi, Islam and The Theory of Interest (Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1991)
[36] Umdatul Qari (Constantinople: Mathba’a al-Amira, 1310 H), V,hlm 436
[37] al-Mabsut, vol. XXI, hlm. 109
[38] Majmu Syarh al-Muhadzdzab (Kairo: Cetakan Zakaria Ali Yusuf . t.t), vol.IX. hlm. 442
[39] Lihat Tafsir al-Qurthubi (4/202) dan Tafsir ath-Thabari (7/204)
[40] Lihat Tafsir al-Qurthubi (4/202) dan Tafsir ath-Thabari (7/204)
[41] Tahdzib at-Tahdzib (2/103-104)
[42] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqin (2/132)


Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman : 37 - 41

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment