This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Traveling to Sabang Island

Janganlah berjalan di belakangku, karena mungkin aku tak bisa memimpinmu. Jangan pula berjalan di depanku, mungkin aku tak bisa mengikutimu. Berjalanlah di sampingku dan jadilah sahabatku.

Tebing With Dormitori's Friends

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Gurutee Montain

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Camping

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, 26 December 2014

Perilaku/ Karakteristik Konsumen Dalam Ekonomi Islam

PERILAKU/ KARAKTERISTIK KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM

           Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara.

              Dengan demikian, rasionalisasi/proses konsumsi tidak cukup dimaknai dengan hukum maupun teori saja, namun juga harus bersandar pada aturan-aturan mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri.

              Di bawah ini adalah beberapa karakteristik konsumsi dalam perspektif/ sudut pandang ekonomi Islam, di antaranya adalah:

1)    Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan dan keharaman yang telah digariskan oleh syara'.

2)    Konsumen yang rasional/ pertimbangan yg logis (mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun ruhaninya. Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang menuntut keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.

3)    Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam (mustawa al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Di bawah mustawa kifayah, seseorang akan terjerembab pada kebakhilan, kekikiran, kelaparan hingga berujung pada kematian.
Sedangkan di atas mustawa al-kifayah seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf, tabdzir dan taraf).

Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam, sebagaimana nash al-Qur'an :
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di tengah-tengah kalian".[1]

"Dan jangan kau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu pemurah). Karena itu mengakibatkan kamu tercela dan menyesal".[2]

4. Memperhatikan prioritas konsumsi antara dlaruriyathajiyat dan takmiliyat. "Dlaruriyat adalah komoditas[1] yang mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifdz ad-din), jiwa (hifdz an-nafs), keturunan (hifdz an-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifdz al-mal), serta akal pikiran (hifdz al-aql). Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat menghilangkan kesulitan dan juga relatif berbeda antar satu orang dengan lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya. Sedangkan takmiliyat adalah komoditi kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan dlaruriyat dan hajiyat terpenuhi

[1] Komoditas adalah barang seperti barang niaga, perlengkapan rumah tangga, dll.


[1] Q.S al-furqan:67
[2] Q.S. al-Isra':29
[3] Komoditas adalah barang seperti barang niaga, perlengkapan rumah tangga, dll.

Kebutuhan Manusia Berdasarkan Intensitas ( Tingkat Kebutuhannya ) Dalam Ekonomi Islam

Berdasarkan intensitasnya, kebutuhan dapat dibedakan menjadi kebutuhan Dharuriyah, Hajiyah dan Tahsiniyah

Para pakar Maqasid [1] telah memetakan maqasid syariah menjadi beberapa bagian :

1. Kebutuhan Dharuriyat (Primer)

          Ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Maslahat dharuriyat ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan muncul fitnah dan bencana yang besar.

         Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.

         ”Memelihara kelima hal tersebut termasuk kedalam tingkatan dharuriyat. Ia merupakan tingkatan maslahat yang paling kuat. Diantara contoh-contoh nya, syara’ menetapkan hukuman mati atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan menghukum penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena hal demikian mengganggu kehidupan masyarakat dalam mengikuti kebenaran agamanya; memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum khamar, karena dengan demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi taklif; mewajibkan had zina, karena dengan hal itu dapat memelihara nasab (keturunan); mewajibkan mendera pembongkar kuburan dan pencuri, karena dengan demikian dapat memelihara harta yang menjadi sumber kehidupan dimana mereka sangat memerlukannya.” [2]

         Secara umum, menghindari setiap perbuatan yang menggakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury(prinsip). Syariat Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu bagi orang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan minum arak.

2. Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)

         KEBUTUHAN hajjiyat adalah sebuah kebutuhan yang relatif penting dalam kehidupan manusia tetapi belum sampai ke tingkat kebutuhan dharuriyat (kebutuhan asasi). Jika kebutuhan ini tidak terwujud akan menimbulkan kesulitan dalam hidup namun tidak sampai fatal. Dalam bidang mu’alat, antara lain Islam membolehkan jual-beli pesanan ( istishna’) , Diperkenankannya system bagi hasil antara petani yang tidak memiliki sawah ladang dengan si pemilik sawah lading.

3. Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap)

         Kebutuhan tahsiniyah/ Kamaliyat (Pelengkap) adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya behubungan dengan al-mukarim al-akhlaq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan mu’amalat. Artinya seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan, Namun, ketiadaan aspek ini kan menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal sehat dan adat kebiasaaan, menyalahi kepatutan, dan menurukan martabat pribadi dan masyarakat. Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja.

         Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli dan lain-lain.

         Secara lebih spesifik tahsiniyah adalh semua barang yang membuat hidup menjadi lebih mudah dan gampang tanpa berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Seperti makan yang baik, pakaian yang nyaman, peralatan kecantikan, interior rumah yang bertata lengkap dan tertata indah, serta semua barang yang membuat hidup manusia menjadi lebih baik.

         Kebutuhan kita terhadap sepeda motor merupakan kebutuhan tahsiniyat yang pada waktu tertentu dapat berubah statusnya menjadi hajjiyat. Hanya saja, kebutuhan manusia terhadap aspek-aspek dharuriyat seperti rasa aman, relegiusitas, dan penghargaan diri, tetap tidak akan dapat digantikan dengan apapun dan karenanya pemenuhan terhadapnya merupakan suatu kewajiban yang paling utama yang memilki keutamaan harus mendapatkan prioritas terdepan.

         Bermewah-mewah dalam makan, minum dan lain-lain artinya dalam memakan atau meminum sesuatu tidak boleh memperturutkan hawa nafsu, sehingga semua yang di inginkan tersedia dan memakan tanpa mempedulikan aspek kesehatan.


Endnotes :
[1] Maqasid adalah para ulama ushul fiqh

[2] Imam al-Ghazali
Adalah yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.

Prinsip – Prinsip Konsumsi Dalam Ekonomi Islam

PRINSIP – PRINSIP KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM
Ada beberapa prinsip konsumsi bagi seorang muslim yang membedakan dengan prilaku konsumsi nonmuslim (konvensional). Prinsip tersebut disarikan dari ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi SAW dan prilaku sahabat . prinsip-prinsip tersebut antara lain:

2.4.1. Prinsip syariah
a. Memperhatikan tujuan konsumsi.
Prilaku konsumsi muslim dari segi tujuan tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang, melaikan berfungsi “ibadah”dalam rangka mendapat ridha Allah SWT.

b. Memperhatikan kaidah ilmiah.
Seorang meslim harus memperhatiakan kebersihan. Prinsip kebersihan mengandung arti barang yang dikonsumsi harus bebas dari kotoran maupun penyakit, demikian juga harus menyehatkan, bernilai gizi , dan memiliki manfaattidak memiliki kemudharatan.

c. Memperhatiakan bentuk konsumsi.
Fungsi konsumsi muslim berbeda dengan prinsip konvensional yang bertujuan kepuasan maksimum, terlepas ada keridhaan Allah atau tidak, karena pada hakekatnya teori konvensinaltidak mengenal tuhan.

2.4.2.  Prinsip kuantitas
a. Sederhana tidak bermewah-mewahan.
Sesungguhnya kuantitas kinsumsi yang terpuji dalam kondisi yang wajar adalah sederhana.
b. Kesesuaian antara pemasukan dengan konsumsi.
Maksudnya adalah kesesuaian dengan fitrah manusia dan realita.

2.4.3.  Prinsip prioritas.
a. untuk nafkah diri, istri, anak dan saudara
b. untuk memperjuangkan agama Allah SWT.

2.4.4.  prinsip moralitas.
Prilaku konsumsi seorang muslim juga memperhatiakan nilai dan prinsip moralitas, di mana mengandung arti ketika berkonsumsi terhadap suatu barang, maka dalam rangka menjaga martabat manusia yang mulia, berdeda dengan makhluk Allah lainnya. Sehingga dalam berkonsumsi harus menjaga adab dan etika (tertib) yang di sunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, ketika makan memakai tangan kanan, membaca doa, dan tidak mencela makanan dan sebagainya.

Urgensi Konsumsi Dalam Ekonomi Islam

adapun Urgensi Konsumsi Dalam Ekonomi Islam


                      Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. 

Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.

Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim Dengan Perilaku Konsumen Konvensional

PERBEDAAN PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DENGAN PERILAKU KONSUMEN KONVENSIONAL

Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq.
Menurut Yusuf Qardhawi[1], ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain: 
1.    Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
2.    Tidak melakukan kemubadziran.
3.    Menjauhi berhutang
4.    Tidak hidup mewah dan boros.
5.    Kesederhanaan.
6.    Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam. 



[1] Yusuf al-Qaradawi (lahir diShafth Turaab, Kairo, Mesir,9 September 1926; umur 88 tahun) adalah seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari Mesir. Ia dikenal sebagai seorang Mujtahidpada era modern ini.

Perbedan Ekonomi Islam dengan Ekonomi Konvensional



Adapun Perbedan Ekonomi Islam dengan Ekonomi Konvensional
Perbedaan Mendasar Sistem Ekonomi Islam dengan Ekonomi Konvensional

No
Isu
Islam
Konvensional
1
Sumber
Al-Quran
Daya fikir manusia
2
Motif
Ibadah
Rasional matearialism
3
Paradigma
Syariah
Pasar
4
Pondasi dasar
Muslim
Manusia ekonomi
5
Landasan fillosofi
Falah
Utilitarian individualism
6
Harta
Pokok kehidupan
Asset
7
Investasi
Bagi hasil
Bunga
8
Distribusi kekayaan
Zakat, infak, shodaqoh, hibah, hadiah, wakaf dan warisan.
Pajak dan tunjangan
9
Konsumsi-produksi
Maslahah, kebutuhan dan kewajiban
Egoism, materialism, dan rasionalisme
10
Mekanisme pasar
Bebas dan dalam pengawasan
Bebas
11
Pengawas pasar
Wilayatul Hisba
NA
12
Fungsi Negara
Penjamin kebutuhan minimal dan pendidikan melalui baitul mal
Penentu kebijakan melalui Departemen-departemen
13
Bangunan ekonomi
Bercorak perekonomian real
Dikotomi sektoral yang sejajar ekonomi riil dan moneter




Perbedaan yang sering didengar antara dua sistem yang berbeda ini :




Bunga
Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan
Penentuan besarnya nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkiinan untung rugi
Besarnya presentasididasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan.
Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
Bunga dapat mengambang dan besarnnya naik turun sesuai dengan naik turunnya kondisi ekonomi
Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbangkan apakah usaha yang dijalankan untung atau rugi.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian ditangggung bersama.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan berlipat
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil