Friday 26 December 2014

Perilaku/ Karakteristik Konsumen Dalam Ekonomi Islam

PERILAKU/ KARAKTERISTIK KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM

           Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara.

              Dengan demikian, rasionalisasi/proses konsumsi tidak cukup dimaknai dengan hukum maupun teori saja, namun juga harus bersandar pada aturan-aturan mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri.

              Di bawah ini adalah beberapa karakteristik konsumsi dalam perspektif/ sudut pandang ekonomi Islam, di antaranya adalah:

1)    Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan dan keharaman yang telah digariskan oleh syara'.

2)    Konsumen yang rasional/ pertimbangan yg logis (mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun ruhaninya. Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang menuntut keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.

3)    Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam (mustawa al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Di bawah mustawa kifayah, seseorang akan terjerembab pada kebakhilan, kekikiran, kelaparan hingga berujung pada kematian.
Sedangkan di atas mustawa al-kifayah seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf, tabdzir dan taraf).

Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam, sebagaimana nash al-Qur'an :
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di tengah-tengah kalian".[1]

"Dan jangan kau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu pemurah). Karena itu mengakibatkan kamu tercela dan menyesal".[2]

4. Memperhatikan prioritas konsumsi antara dlaruriyathajiyat dan takmiliyat. "Dlaruriyat adalah komoditas[1] yang mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifdz ad-din), jiwa (hifdz an-nafs), keturunan (hifdz an-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifdz al-mal), serta akal pikiran (hifdz al-aql). Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat menghilangkan kesulitan dan juga relatif berbeda antar satu orang dengan lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya. Sedangkan takmiliyat adalah komoditi kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan dlaruriyat dan hajiyat terpenuhi

[1] Komoditas adalah barang seperti barang niaga, perlengkapan rumah tangga, dll.


[1] Q.S al-furqan:67
[2] Q.S. al-Isra':29
[3] Komoditas adalah barang seperti barang niaga, perlengkapan rumah tangga, dll.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment