PERILAKU/
KARAKTERISTIK KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM
Selain
berfungsi sebagai penopang kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai salah
satu instrumen untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara.
Dengan demikian, rasionalisasi/proses konsumsi tidak cukup dimaknai dengan
hukum maupun teori saja, namun juga harus bersandar pada aturan-aturan mendasar
yang terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri.
Di bawah ini adalah beberapa karakteristik konsumsi dalam perspektif/ sudut pandang
ekonomi Islam, di antaranya adalah:
1) Konsumsi
bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan
dan keharaman yang telah digariskan oleh syara'.
2) Konsumen
yang rasional/ pertimbangan
yg logis
(mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada berbagai
jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun ruhaninya. Cara
seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang menuntut
keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain
di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.
3) Menjaga
keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang
batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam (mustawa
al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang gerak yang
tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Di bawah
mustawa kifayah, seseorang akan terjerembab pada kebakhilan, kekikiran,
kelaparan hingga berujung pada kematian.
Sedangkan di atas mustawa al-kifayah seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf, tabdzir dan taraf).
Sedangkan di atas mustawa al-kifayah seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf, tabdzir dan taraf).
Kedua tingkatan ini
dilarang di dalam Islam, sebagaimana nash al-Qur'an :
"Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak kikir, dan
hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di tengah-tengah kalian".[1]
"Dan jangan kau jadikan tanganmu
terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
(terlalu pemurah). Karena itu mengakibatkan kamu tercela dan menyesal".[2]