BAB KEEMPAT : RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN SEJARAH
A.
DEFINISI
RIBA
Riba secara Bahasa
bermakna :ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba
juga berarti tumbuh dan membesar.[33] Adapun menurut istilah teknis, riba juga
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[34] Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Mengenai hal ini, Allah
SWT mengingatkan dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil…”(an-Nisaa’:29)
Dalam kaitannya dengan
pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam
kitabnya. Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan,
“Pengertian riba secara
bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu
setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah”.
Yang dimaksud dengan
transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang
melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual
beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa
membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk
menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil
misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika
dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para
peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan
modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Dalam transaksi
simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan
dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam
kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman
tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu,
tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan
tersebut.[35]
Demikian juga dana itu
tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa
ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang
tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa saja rugi.
Pengertian senada
disampaikan oleh Jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib
fiqhiyyah. Di antaranya sebagai berikut.
1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang
Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah
penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa
adanya transaksi bisnis riil”.[36]
2. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
“Riba adalah tambahan yang
disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang
dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”.[37]
3. Raghib al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta
pokok”.
4. Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi’I
[38]
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas
sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan,
hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah
“Riba jahiliah adalah seseorang yang
menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah dating saat
pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan
atas penangguhan”.
6. Zaid bin Aslam
“Yang dimaksud dengan riba jahiliah
yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang
memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata, ‘Bayar
sekarang atau tambah’.[39]
7. Mujahid
“Mereka menjual dagangannya dengan
tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu membayar), si pembeli
memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu”.[40]
8. Ja’far ash-Shadiq dari Kalangan
Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika
ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba, “Supaya orang tidak berhenti
berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga
atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi
pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan
yang erat dan kebajikan antarmanusia.”[41]
9. Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab
Hanbali
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya
tentang riba, ia menjawab, “Sesungguhnya riba itu adalah seseorang yang
memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar
lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga
pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan”.[42]
~~ * * * ~~
Footnote :
[33]
Abdullah Saeed, Islamic Banking and
Interest : A Study Of The Prohibition Of Riba and its Contemporary
Interpretation (Leiden: EJ Brill,1996)
[34]
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah:
Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: Central Bank of Indonesia and Tazkia
Institute, 1999)
[35] Anwar
Iqbal Quresyi, Islam and The Theory of
Interest (Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1991)
[36] Umdatul Qari (Constantinople: Mathba’a
al-Amira, 1310 H), V,hlm 436
[37] al-Mabsut, vol. XXI, hlm. 109
[38] Majmu Syarh al-Muhadzdzab (Kairo:
Cetakan Zakaria Ali Yusuf . t.t), vol.IX. hlm. 442
[39] Lihat
Tafsir al-Qurthubi (4/202) dan Tafsir
ath-Thabari (7/204)
[40] Lihat
Tafsir al-Qurthubi (4/202) dan Tafsir
ath-Thabari (7/204)
[41] Tahdzib at-Tahdzib (2/103-104)
[42] Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqin (2/132)
Daftar
Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman : 37 - 41
Meteri ini
dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr.
Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )