This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Traveling to Sabang Island

Janganlah berjalan di belakangku, karena mungkin aku tak bisa memimpinmu. Jangan pula berjalan di depanku, mungkin aku tak bisa mengikutimu. Berjalanlah di sampingku dan jadilah sahabatku.

Tebing With Dormitori's Friends

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Gurutee Montain

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Camping

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday 18 September 2016

Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi


2.        Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga 1 Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut.

Pinjaman biasa
Pinjaman property
Pinjaman antarkota
Pinjaman perdagangan dan industri
6 % - 18 %
6 % - 12 %
7 % - 12 %
12 % - 18 %

Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak benarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).

Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Akan tetapi, pada masa Unciaria (88 SM), praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi, yaitu sebagai berikut.

Bunga maksimal yang dibenarkan
Bunga pinjaman biasa di Roma
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma)
Bunga khusus Byzantium
8 % - 12 %
4 % - 12 %
6 % - 100 %
4 % - 12 %

Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), mengencam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktikkan pengambilan bunga.

Plato mengencam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Adapun Aristoteles dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya bahwa uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.

Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasehat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman.

a.      Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko, sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
b.      Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat, sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.
Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga adalah suatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat, merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.


~~ * * * ~~




Footnote :


Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.

Halaman : 43 - 45

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )



Konsep Bunga di Kalangan Yahudi

1.        Konsep Bunga di Kalangan Yahudi

Orang-orang Yahudi dilarang mempraktikkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud.

Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan,
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia:janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”.

Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan,
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapu yang dapat dibungakan”.

Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan,
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allah mu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba.”


~~ * * * ~~



Footnote :

Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

Halaman : 43

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )



Konsep Riba Dalam Perspektif Nonmuslim


D.     KONSEP RIBA DALAM PERSPEKTIF NONMUSLIM
Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

Karena itu, sepantasnya bila kajian tentang riba pun melihat perspektif dari kalangan nonmuslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari kalangan nonmuslim tersebut perlu dikaji.

Pertama, agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim,Ishak,Musa,dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh Yahudi dan Nasrani. Islam juga mengakui kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena kaum Yahudi di karuniai Allah SWT kitab Taurat, sedangkan kaum Kristen dikaruniai kitab Injil.

Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan mengenai bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.

Ketiga, pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu diperhatikan karena mereka memberikan konstribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi sehubungan dengan riba.

1.        Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
2.        Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
3.        Konsep Bunga di Kalangan Kristen
a.      Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)
b.      Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)
c.       Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836)

~~ * * * ~~



Footnote :
[44] Sub Bab ini sangat banyak bersumber dari tulisan Prof.Dr.Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam (Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn.Bhd,1996)

Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman : 42 - 43

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )



Jenis Barang Ribawi


C.      JENIS BARANG RIBAWI

Para ahli fiqih Islam telah membahas riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:

1.    Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2.    Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut.
1.    Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp.5.000,00 dengan Rp.5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
2.    Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp.5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3.    Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4.    Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.


~~ * * * ~~

Footnote :

Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman :  42

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )


Jenis-Jenis Riba


B.      JENIS-JENIS RIBA
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.

1.      Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).

2.      Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

3.      Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

4.      Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang di pertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah mucul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami,
“Riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadl, riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits Nabi”.[43]

~~ * * * ~~




Footnote :
[43] az-Zawajir Ala Iqtiraaf al-Kabaair, vol. II, hlm. 205


Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman : 41 - 42

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )


Definisi Riba


BAB KEEMPAT : RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN SEJARAH

A.      DEFINISI RIBA
Riba secara Bahasa bermakna :ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh dan membesar.[33] Adapun menurut istilah teknis, riba juga berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[34] Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…”(an-Nisaa’:29)

Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya. Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan,

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”.

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.[35]

Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa saja rugi.

Pengertian senada disampaikan oleh Jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya sebagai berikut.

1.      Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.[36]

2.      Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”.[37]

3.      Raghib al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”.

4.      Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi’I [38]
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.

5.      Qatadah
“Riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah dating saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan”.

6.      Zaid bin Aslam
“Yang dimaksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata, ‘Bayar sekarang atau tambah’.[39]

7.      Mujahid
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu membayar), si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu”.[40]

8.      Ja’far ash-Shadiq dari Kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba, “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”[41]

9.      Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab, “Sesungguhnya riba itu adalah seseorang yang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan”.[42]


~~ * * * ~~

Footnote :
[33] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest : A Study Of The Prohibition Of Riba and its Contemporary Interpretation (Leiden: EJ Brill,1996)
[34] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999)
[35] Anwar Iqbal Quresyi, Islam and The Theory of Interest (Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1991)
[36] Umdatul Qari (Constantinople: Mathba’a al-Amira, 1310 H), V,hlm 436
[37] al-Mabsut, vol. XXI, hlm. 109
[38] Majmu Syarh al-Muhadzdzab (Kairo: Cetakan Zakaria Ali Yusuf . t.t), vol.IX. hlm. 442
[39] Lihat Tafsir al-Qurthubi (4/202) dan Tafsir ath-Thabari (7/204)
[40] Lihat Tafsir al-Qurthubi (4/202) dan Tafsir ath-Thabari (7/204)
[41] Tahdzib at-Tahdzib (2/103-104)
[42] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqin (2/132)


Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman : 37 - 41

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )


Friday 16 September 2016

Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional

BAB KETIGA: PERBEDAAN ANTARA BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL

            Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang di biayai, dan lingkungan kerja.

A.     AKAD DAN ASPEK LEGALITAS
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Seringkali nasabah berani melanggar lesepakatan/ perjanjian yang telah di lakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.[26]
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut.

1.      Rukun
Seperti :
-          Penjual.
-          Pembeli.
-          Barang.
-          Harga.
-          Akad/ijab-qabul.

2.      Syarat
Seperti syarat berikut.
-      Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
-          Harga barang dan jasa harus jelas.
-         Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
-     Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.


B.     
LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA
Berbeda dengan perbankan komvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan atara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Lembaga yang mengatur hukum materi dana tau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.[27]


C.     
STRUKTUR ORGANISASI
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bak konvensional adlah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh rapat umum pemegang saham, setelah para anggota dewan pengawas syariah itu mendapat rekomendasi dari dewan syariah Nasional.


1.      Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalh mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalusesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibandingkan bank konvensional. Karena itu, dioerlukan garis panduan(guidelines) yang mengatusnya. Garis panduan ini disuse dan ditentkan oleh Dewan Syariah Nasional. [28]
Dewan Pengawas Syariah harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan.
Tugas lain Dewan Pengawas Syariah adalah meneliti dan membuat rekomenasi produk baru dari bank yang di awasinya. Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Mekanisme kerja DPS dapat digambarkan sebagai berikut.


  
2.      Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Tanah Air, berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus di syukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinantimbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai paying dari lembaga dan organisasi keislaman di Tanah Air, menganggap perlu dibentuknya sati dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk didalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN.
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah MUI dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut,  Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah  yang diambil dari sumber-sumber hukum islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga- lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk- produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk- produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk- produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan.
Selain itu, Dewan Syarian Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.
Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan departemen keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan- tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah.[29] secara garis besar, tugas dan mekanisme kerja DSN dapat digambarkan sebagai berikut.




D.    
BISNIS DAN USAHA YANG DIBIAYAI
Dalam perbankan syariah, bisnis dan usaha yang dijalanan tidak terlepas dari saringan syariah. Oleh karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.[30]
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, di antaranya sebagi berikut.
1.      Apakah objek pembiayaan halal atau haram ?
2.      Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat ?
3.      Apakah proyek yang berkaitan dengan perbuatan mesum/ asusila ?
4.      Apakah proyek berkaitan dengan perjudian ?
5.      Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal ?
6.      Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun secara tidak langsung ?


E.     
LINGKUNGAN KERJA DAN CORPORATE CULTURE
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika misalnya sifat amanah, dan siddiq harus dilandasi pada setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu, karyawan bank syariah harus skillful dan professional (fatanah) dan mampu melakukaan tugas secara team-work dimana fungsi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian juga dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.[31]
Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar islam, sehingga tidak aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga, Nabi saw. mengatakan senyum adalah sedekah.


F.       PERBANDINGAN ANTARA BANK SYARIAH DAN KONVENSIONAL

Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam table berikut.

BANK SYARIAH
BANK KONVENSIONAL
1
Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
Investasi yang halal dan haram
2
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual-beli, atau sewa.
Memakai perangkat bunga.
3
Profit dan falah oriented [32]
Profit oriented
4
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor
5
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
Tidak terdapat dewan sejenis


~~ * * * ~~





Footnote :
[26] Afzalur Rahman, Economic Dotrines of Islam (Lahore Islamic Publication, 1990)
[27] Lihat buku Arbitrase Islam Di Indonesia (1994) karya penulis bersama rekan-rekan editorial lainnya.
[28] Pembahasan lebih lanjut tentang tugas dan fungsi DPS pada lembaga keuangan Islam internasional, lihat AAOIFI, Accounting And Auditing And Governance Standards For Islamic Financial Institution. (Bahrain : Accounting And Auditing Organization For Islamic Financial Institution [AAOIFI] Manama, 1999. Chapter “Governance”, hlm 1-19)
[29] Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah (Jakarta: Bank Indonesia, 1999).
[30] Muhammad Syafi’i Antonio, “Prinsip Dan Etika Bisnis Dalam Islam”, Paper Dipresentasikan di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatra utara, 1994
[31] Afzalur Rahman, Islamic Doctrine on Banking and Insurance Muslim Trust Company (Muslim Trust Company, 1980)
[32] Falah berarti mencari kemakmuran di dunia dan kebahagian di akhirat.


Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman : 29 – 34  

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )