This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Traveling to Sabang Island

Janganlah berjalan di belakangku, karena mungkin aku tak bisa memimpinmu. Jangan pula berjalan di depanku, mungkin aku tak bisa mengikutimu. Berjalanlah di sampingku dan jadilah sahabatku.

Tebing With Dormitori's Friends

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Gurutee Montain

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Camping

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday 13 October 2016

Larangan Riba dalam Al Qur’an dan As Sunnah


E.      Larangan Riba dalam Al Qur’an dan As Sunnah

Ummat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah.

1. Larangan Riba dalam Al Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap. [45]

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah I mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.

“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).

Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.

Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan Pem-benaran Pengambilan Riba”, point “Berlipat-Ganda”).

Tahap terakhir, Allah I dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)

Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
“Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah  bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang ber-dasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah - seperti sediakala - tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat di atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab ‘jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.” [46]

~~ * * * ~~





Footnote :
[45] Penjelasan lebih luas, lihat Sayyid Quthb “Tafsir Ayat ar-Riba” dan Abul-A’la al-Maududi, Riba. (Lahore: Islamic Publication, 1951)
[46] Tafsir ath-Thabari, vol. VI, hlm.33

Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Halaman : 48 - 51

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )




Konsep Bunga di Kalangan Kristen

3.      Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6: 34 – 5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga.

Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

a.      Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.

1)      St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.

2)      St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.

3)      St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
4)      St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).

5)      St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.

6)      St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.



Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon), yaitu sebagai berikut :
1)      Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
2)      Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
3)      First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
4)      Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).

 Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)      Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan.
2)      Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
3)      Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa.
4)      Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
5)      Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.


b.      Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.

Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta perbedaan antara dosa individu dan kelompok.

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).

Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut :

1)      Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.

2)      Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.


C.      Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)

Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).

Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
1.      Dosa apabila bunga memberatkan.
2.      Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
3.      Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
4.      Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang seder-hana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

~~ * * * ~~



Footnote :

Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Halaman : 45 - 48

Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )



Penawaran Tenaga Kerja Di Indonesia Dan Pembahasan Kasus Penawaran Kerja


PENAWARAN TENAGA KERJA DI INDONESIA DAN PEMBAHASAN KASUS PENAWARAN KERJA

TUGAS
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi SDM Dan Ketenagakerjaan
pada jurusan Ekonomi Syariah




Dosen Pembina:
Hafidhah SE., M.Si., Ak.


Oleh:

D.A.Rahmat – 140602185
Ikhsanul Huda – 140602176
Mohd Ramadhan Bay- 140602
Cut Saidah Nafisah – 140602209 
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM 
UIN AR-RANIRY
2016




KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah atas  kehadirat Allah S.W.T dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Ekonomi SDM Dan Ketenagakerjaan  tentang Penawaran Tenaga Kerja Di Indonesia Dan Pembahasan Kasus Penawaran Kerja.

Selawat beriring Salam kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. dan para Sahabatnya beserta  keluarganya yang telah memberikan contoh teladan melalui sunnahnya sehingga membawa kesejahteraan di muka bumi ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dosen-dosen yang telah memberi arahan dan bimbingan kepada kami, dan juga kepada kawan- kawan kami yang telah memberikan motivasi serta membantu menyelesaikan penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesilapan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran serta bimbingan dari semua pihak yang bersifat membangun demi  perbaikan di masa yang akan datang. Di samping itu, penulis terus berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi mahasiswa Ekonomi Syariah khususnya dan pembaca pada umumnya. Semoga Allah meridhai segala usaha dan cita-cita kita. Amin.

Banda Aceh, 27 Oktober 2016


Penulis




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1.1. Latar Belakang..........................................................................................
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................
1.4. Manfaat Penulisan.....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
2.1.Penawaran Tenaga kerja.............................................................................
2.1.1.      Definisi Penawaran Kerja..............................................................
2.1.2.      Definisi Penawaran Kerja Menurut Para Ahli...............................
2.1.3.      Keputusan Untuk Bekerja.............................................................
2.1.4.      Tradeoff.........................................................................................
2.1.5.      Tingkat Upah dan jam kerja .........................................................  

2.2.Kasus Penawaran Tenaga Kerja di Indonesia............................................
2.2.1.      Kasus pertama......................................................................................
2.2.2.      Kasus Kedua........................................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................
3.1.Kesimpulan.................................................................................................    
3.2.Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................







BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang

Masalah tenaga kerja adalah masalah yang sangat kompleks dan besar. Kompleks karena masalahnya mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi dengan pola yang tidakselalu mudah dipahami. Besar karena menyangkut jutaan jiwa. Untuk menggambarkan masalah tenagakerja dimasa yang akan datang tidaklah gampang karena disamping mendasarkanpada angka tenaga kerja di masa lampau, harus juga diketahui prospekproduksi dimasa mendatang. Kondisi kerja yang baik, kualitas output yang tinggi, upah yang layak sertakualitas sumber aya manusia adalah persoalan yang selalu muncul dalampembahasan tentang tenaga kerja disamping masalah hubungan industrial antarapekerja dengan dunia usaha.

Makalah ini akan memaparkan teori yang berhubungan dengan tenaga kerja beserta beberapa potretnya di Indonesia, dimana pembahasannya dengan tenagakerja, teori penawaran kerja, teori upah serta potret tenaga kerja di Indonesia. Diharap dengan paparan ini maka kompleksitas ketenagakerjaan dapat lebih dipahami.

1.2.    Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini penulis akan merumuskan tentang:
1. Bagaimana definisi penawaran tenaga kerja di Indonesia ?
2. Bagaimana definisi penawaran kerja menurut para ahli ?
3. Bagaimana yang dimaksud keputusan untuk bekerja ?
4. Bagaimana yang dimaksud dengan tradeoff ?
5.      Bagaimana yang dimaksud dengan tingkat upah dan jam kerja ?
6.      Apa saja kasus penawaran tenaga kerja di Indonesia ?


1.3.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.  Agar para pembaca memahami Penawaran Tenaga Kerja Di Indonesia
2. Agar para pembaca memahami definisi penawaran kerja menurut para ahli
3. Agar para pembaca memahami keputusan untuk bekerja
4. Agar para pembaca memahami tradeoff
5. Agar para pembaca memahami tingkat upah dan jam kerja
6. Agar para pembaca memahami kasus penawaran tenaga kerja di Indonesia



1.4.    Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini merupakan tinjauan kepustakaan yang bertujuan untuk mempelajari buku-buku yang relevan dengan masalah yang diteliti karena penyusun tidak melakukan tinjauan secara langsung terhadap objek pengamatan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Penawaran Tenaga Kerja
2.1.1.      Pengertian penawaran tenaga kerja
Penawaran tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh pemilik tenaga kerja pada setiap kemungkinan upah dalam jangka waktu tertentu. Dalam teori klasik sumberdaya manusia (pekerja) merupakan individu yang bebas mengarnbil keputusan untuk bekerja atau tidak. Bahkan pekerja juga bebas untuk menetapkan jumlah jam kerja yang diinginkannya. Teori ini didasarkan pada teori tentang konsumen, dimana setiap individu bertujuan untuk.  Memaksimumkan kepuasan dengan kendala yang dihadapinya.Penawaran tenaga kerja juga merupakan suatu hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja ini juga merupakan fungsi dari upah,sehingga jumlah tenaga kerja yang ditawarkan akan akan dipengaruhi oleh tingkat upah terutama untuk jenis jabatan yang sifatnya khusus. Contoh: apabila upah sebagai kepala marketing naik relatif lebih tinggi dari upah jenis jabatan dibagian administrasi (karena kebutuhan yang meningkat maka dapat diduga bahwa tendensi untuk menjadi kepala marketing akan meningkat  pula. Akibatnya kenaikan dari upah akan mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. 

Penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh keputusan seseorang apakah digunakan untuk bekerja apakah digunakan untuk menggunakan waktunya apakah digunakan untuk bekerja apakah digunakan untuk kegiatan lain yang sifatnya lebih santai (tidak produktif tetapi konsumtif ), atau merupakan kombinasi keduanya. Apabila dikaitkan dengan tingkat upah, maka keputusan untuk bekerja seseorang akan dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya penghasilan seseorang. Maksudnya apabila penghasilan tenaga kerja relatif sudah cukup tinggi, maka tenaga kerja tersebut cenderung untuk mengurangi waktu yang dialokasikan untuk bekerja. Hal tersebut menyebabkan bentuk dari kurva penawaran membelok ke kiri yang dikenal dengan backward bending supply curve.

          Keadaan ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat penghasilan seseorang akan semakin tinggi pula konsumsi waktu yang dibutuhkan untuk leisure atau kegiatan lain yang sifatnya konsumtif.

2.1.2.      Definisi penawaran tenaga kerja menurut beberapa tokoh :
a.         Menurut Ananta (1990) penawaran terhadap pekerja adalah hubungan antara tingkat upah dengan jumlah satuan pekerja yang disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan tergantung pada beberapa faktor yang antara lain :
1.         banyaknya jumlah penduduk,
2.          presentase penduduk yang berada dalam angkatan kerja,
3.         dan jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja.

b.      Simanjuntak (1985) mendefinisikan penawaran tenaga kerja merupakan jumlah usaha atau jasa kerja yang tersedia dalam masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa.

c.       Arfida (2003) menambahkan mengenai apa yang dimaksud dengan penawaran tenaga kerja. Menurut Arfida (2003) penawaran tenaga kerja adalah fungsi yang menggambarkan hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Penawaran tenaga kerja dalam jangka pendek merupakan suatu penawaran tenaga kerja bagi pasar dimana jumlah tenaga kerja keseluruhan yang ditawarkan bagi suatu perekonomian dapat dilihat sebagai hasil pilihan jam kerja dan pilihan partisipasi oleh individu. Sedangkan penawaran tenaga kerja dalam jangka panjang merupakan konsep penyesuaian yang lebih lengkap terhadap perubahan-perubahan kendala. Penyesuaian-penyesuaian tersebut dapat berupa perubahan-perubahan partisipasi tenaga kerja maupun jumlah penduduk.


2.1.3.      Keputusan untuk bekerja
Dalam teori klasik sumberdaya manusia (pekerja) merupakan individu yang bebas mengambil keputusan untuk bekerja atau tidak. Bahkan pekerja jugabebas untuk menetapkan jumlah jam kerja yang diinginkannya. Teori inididasarkan pada teori tentang konsumen, dimana setiap individu bertujuan untuk memaksimumkan kepuasan dengan kendala yang dihadapinya.
Layard dan Walters (1978), menyebutkan bahwa keputusan individu untuk menambah atau mengurangi waktu luang dipengaruhi oleh tingkat upah dan pendapatan non kerja. Adapun tingkat produktivitas selalu berubah-rubah sesuai dengan fase produksi dengan pola mula-mula naik mencapai puncak kemudian menurun. Semakin besar elastisitas tersebut semakin besar peranan input tenaga kerja untuk menghasilkan output, berarti semakin kecil jumlah tenaga kerja yang diminta. Sedangkan untuk menggambarkan pola kombinasi faktor produksi yang tidak sebanding (Variable proportions) umumnya digunakan kurva isokuan (isoquantities) yaitu kurva yang menggambarkan berbagai kombinasi faktor produksi (tenaga kerja dan kapital) yang menghasilkan volume produksi yang sarna. Lereng isokuan menggambarkan laju substitusi teknis marginal atau marginal Rate of Technical Substitution atau dikenal dengan istilah MRS. Hal ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara faktor tenaga kerja dan kapital yang merupakan lereng dari kurva isoquant.

Menurut G.S Becker (1976), Kepuasan individu bisa diperoleh melalui konsumsi atau menikmati waktu luang (leisure). Sedang kendala yang dihadapiindividu adalah tingkat pendapatan dan waktu. Bekerja sebagai kontrofersi darileisure menimbulkan penderitaan, sehingga orang hanya mau melakukan jika memperoleh kompensasi dalam bentuk pendapatan, sehingga solusi dari permasalahan individu ini adalah jumlah jam kerja yang ingin ditawarkan pada tingkat upah dan harga yang diinginkan.
2.1.4.      Tradeoff
Keputusan untuk bekerja yang diambil seorang tenaga kerja berhubungan juga dengan tradeoff yang harus diambil seseorang. Tradeoff adalah situasi dimana seseorang harus membuat keputusan terhadap dua hal atau mungkin lebih, mengorbankan salah satu aspek dengan alasan tertentu untuk memperoleh aspek lain dengan kualitas yang berbeda.
Penawaran tenaga kerja muncul dari tradeoff antara waktu kerja dan waktu luang yang dimiliki seseorang. Dalam kurva penawaran tenaga kerja mencerminkan bagaimana keputusan para pekerja mengenai tradeoff antara tenaga kerja dan waktu luang merespons perubahan biaya kesempatannya. Kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya positif menandakan bahwa masyarakat merespons peningkatan upah dengan cara menikmati waktu luang yang lebih sedikit dan jam kerja yang lebih banyak.Dalam hal ini seseorang mengambil keputusan untuk bekerja dilihat dari bagaimana seorang pekerja tetap meluangkan waktunya diantara jam kerja yang diambilnya.

2.1.5.      Tingkat upah dan jam kerja
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja adalah tingkat upah, pertambahan tingkat upah akan mengakibatkan pertambahan jam kerja bila substitution effectlebih besar daripada income effect (Simanjuntak, 1985).  Semakin tinggi tingkat upah yang ditawarkan akan menyebabkan seseorang berpikir kembali untuk memasuki dunia kerja dengan penawaran upah tersebut. Tingkat upah tersebut biasa dihubungkan dengan jam kerja yang harus diambil seseorang dalam bekerja.


2.2.      Kasus Penawaran Tenaga Kerja di Indonesia
2.2.1.      Kasus pertama
          Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang penting adalah modal asing, proteksi iklim investasi, pasar global, dan perilaku birokrasi serta "tekanan" kenaikan upah (Majalah Nakertrans, 2004). Otonomi daerah yang dalam banyak hal juga tidak berpengaruh positif terhadap tenaga kerja. Masalah kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi dan stabilitas politik juga sangat berpengaruh terhadap ketenagakerjaan. Rucker (1985:2) sebagaimana dilansir oleh majalah Nakertrans, menduga bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia bersifat multidimensi sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multidimensi pula. Tidak ada jalan pintas dan sederhana untuk mengatasinya. Strategi pemulihan dan rekonstruksi ekonomi yang bertumpu pada penciptaan lapangan kerja merupakan keharusan. Dalam kaitan ini, masih sangat relevan untuk diperhatikan secara serius dua elemen strategi yang pernah diajukan oleh Misi ILO (1999:5) yaitu :

a.    strategi dan kebijakan yang membuat proses pertumbuhan ekonomi menjadi lebih memperhatikan aspek ketenagakerjaan, dan

b.         tindakan yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja tambahan melalui program-program penciptaan lapangan kerja secara langsung.

       Bila Jumlah penduduk Indonesia adalah 208 juta jiwa, sementara Jumlah penduduk angkatan kerja 106 juta jiwa maka, jumlah penduduk bukan angkatan kerja adalah102 juta jiwa. Ini berarti Jumlah pengangguran 11 juta jiwa. Sedangkan angka beban ketergantungan dapat dihitung sebagai : DR = (Produktif/non produktif-produktif) x100 atau sama dengan 103, 92 juta jiwa , dibulatkan menjadi 104 juta jiwa. Ini berarti setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 104 penduduk usia non produktif.

Sebagai gambaran maka potret ketenagakerjaan di indonesia dapat dilihat pada beberapa data berikut ini:


Table.1
Penduduk yang berkerja menurut
Lapangan pekerjaan utama & jenis kelamin, tahun 2006

Lapangan pekerjaan utama
Jenis kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Pertanian
27.468.466
14.854.724
42.323.190
Pertambangan
805.578
141.519
947.097
Industri
6.873.835
4.704.306
11.578.141
Listrik, Gas, dan Air
194.940
12.162
207.102
Bangunan
4.249.018
124.932
4.373.950
Perdagangan
10.162.347
8.392.710
18.555.057
Angkutan
5.268.277
199.031
5.467.308
Keuangan
836.305
316.987
1.153.292
Jasa lainnya
6.005.561
4.566.404
10.571.965
Jumlah
61.864.327
33.312.775
95.177.102
Sumber: BPS,sakernas 2006


Tabel 2.
Rata-Rata Upah Pekerja Selama Sebulan Tahun 2005
Menurut Pendidikan Dan Kota Desa
No.
Pendidikan
Kota
Desa
(RP)
(RP)
1
Tidak/Belum Pernah Sekolah
283,164
234,090
2
Tidak/Belum Tamat Sd
405,535
330,499
3
Sekolah Dasar
498,112
420,352
4
Smtp Umum
632,907
544,682
5
Smtp Kejuruan
754,541
559,509
6
Smta Umum
929,697
733,720
7
Smta Kejuruan
923,553
910,765
8
Diploma I/II
1,080,123
1,102,694
9
Akademi/Diploma III
1,318,921
1,102,944
10
Universitas
1,633,804
1,115,552

Rata-Rata
845,603
542,842
Sumber:BPS, sakernas Tahun 2005

Tabel 3.
Tenaga Kerja Asing (TKA)
Menurut Sektor Usaha Tahun 2005

No
Sektor Usaha
Jumlah (orang)
Presentase (%)
1
Pertanian
1.103
2,17
2
Pertambangan
8.589
16,87
3
Industry
13.212
25,96
4
Listrik, gas, dan air
267
0,52
5
Bangunan
4.723
9,28
6
Perdagangan
9.817
19,29
7
Angkutan
2.059
4,04
8
Keuangan
1.800
3,54
9
Jasa lainnya
9.333
18,33

Jumlah
50.903
100.00
Sumber: Ditjen. PPTKDN, Data S.D Desember 2005 (Diolah)

Dapat dikatakan ketenagakerjaan di Indonesia hingga kini masih menghadapi beberapa ketidakseimbangan baik struktural ataupun sektoral. Walaupun telah terjadi pergeseran namun sebagian besar angkatan kerja Indonesia masih bekerja di sektor pertanian. Dalam hubungan ini, maka salah satu sasaran yang perlu diusahakan adalah meningkatkan daya guna tenaga kerja. Untuk mewujudkan pendayagunaan tenaga kerja maka perlu dilaksanakan berbagai kebijaksanaan perluasan lapangan kerja produktif. Sasaran utama kebijaksanaan adalah menciptakan kondisi dan suasana yang bukan saja memberi ruang gerak inisiatif yang sebesar-besarnya kepada para pelaku ekonomi tetapi juga sekaligus mendorong serta membantu perkembangan usaha-usaha kecil, usaha-usaha di sektor informal dan usaha-usaha tradisional.

Permintaan Tenaga kerja, Penawaran Tenaga Kerja Serta Upah secara teoretis harus diperhatikan agar kebijakan-kebijakan yang dilakukan mendekati tujuan yang diinginkan.


2.2.2.      Kasus kedua
Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Berbicara mengenai TKI, pasti langsung tebayangkan dalam benak kita bagaimana bekerja di luar negeri, mendapatkan gaji besar dan dapat memperbaiki taraf hidup keluarga yang selama ini tidak tersentuh pembangunan oleh negeri sendiri.  Dibalik kesuksesan yang dijanjikan tidak pelak juga banyak terjadi kisah tragis, bukan untung yang didapat tapi malang tak dapat dihindari dan bahkan berakhir dengan maut. Beberapa tahun terakhir ini kasus kekerasan yang diterima oleh TKI Indonesia di luar negeri menjadi sorotan serius oleh media terutama atas pelanggaran HAM.

Sebelum membahas tentang TKI, alangkah baiknya jika kita tahu terlebih dahulu siapakah mereka. TKI merupakan kepanjangan dari Tenaga Kerja Indonesia. TKI merupakan istilah yang diberikan pada warga Indonesia yang merantau ke luar negeri untuk bekerja atau mencari penghasilan dalam kurun waktu tertentu. Istilah ini digunakan untuk semua jenis kelamin. Namun, untuk  TKI wanita lebih umum disebut dengan TKW (Tenaga Kerja Wanita).

Keberadaan TKI bagi Indonesia sangat menguntungkan. Pertama, mereka adalah penyumbang devisa yang sangat besar. Sumbangan mereka mencapai angka lebih dari 100 trilliun setiap tahun. Kedua, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan mensejahterakan hidup  keluarga. Ketiga, mengurangi jumlah pengangguran.

Jumlah TKI yang merantau ke luar negeri sangat besar. Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI), ada 12 negara yang tercatat sebagai tujuan terbesar TKI indonesia. Peringkat pertama dipegang oleh Saudi Arabia dengan jumlah tenaga kerja mencapai 1,4 juta pada kurun 2006-2012 dan peringkat kedua dan ketiga ditempati oleh Malaysia dan Taiwan. TKI tersebut dibagi menjadi TKI formal dan informal. TKI formal merupakan tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang nantinya ditempatkan berdasarkan kompetensi masing-masing, seperti tenaga kesehatan. Adapun tenaga informal yaitu tenaga kerja yang masih minim  kompetensi. Tenaga seperti ini ditempatkan menjadi pembantu rumah tangga.

TKI formal memiliki peluang pekerjaan yang lebih baik dibandingkan TKI informal. Mereka bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Namun, jumlah TKI formal lebih sedikit dibandingkan dengan TKI informal. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kemenakertrans pada 2011, jumlah TKI formal hanya 264.756 orang (45,56%), sedangkan TKI informal mencapai 316.325 orang (54,44%).

              Menjadi TKI bukan tanpa masalah. Banyak sekali problematika yang muncul menyertai kisah para perantau tersebut. Problematika tersebut terjadi ketika prapenempatan, saat penempatan, dan purnapenempatan. Masalah prapenempatan misalnya pemalsuan identitas dan dokumen pemberangkatan, minimnya pelatihan, dan penipuan oleh calo. Saat penempatan muncul masalah seperti eksploitasi kerja, Gaji tak dibayar, pembatasan ibadah/ komunikasi dengan keluarga, kekerasan, dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh majikan. Adapun masalah yang muncul saat purnapenempatan adalah penipuan, disharmonis dengan keluarga, hamil, sakit hingga kematian.

Masalah yang paling santer dibahas tentu  kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI. Berdasarkan laporan dari dubes RI di seluruh dunia, tercatat 4.532 kasus kekerasan sepanjang tahun 2010. Adapun negara yang memiliki tingkat kasus tertinggi dipegang oleh Malaysia dan disusul dengan Arab Saudi. Berdasarkan data yang dilansir oleh Migran Care, 1000 kasus kekerasan tercatat di Malaysia dan 57 kasus di Arab Saudi pada 2010.

Meski sudah banyak cerita tragis, tetap saja tidak menyurutkan minat ribuan warga Indonesia untuk mempertaruhkan nyawa mencari sesuap nasi di perantauan. Minimnya lapangan pekerjaan dan  kesenjangan  pembangunan antara di kota dan di desa yang  tidak merata hampir di seluruh Indonesia merupakan salah satu pemicunya. Tuntutan biaya hidup yang semakin besar, misalnya untuk menyekolahkan anak, mensejahterakan  hidup keluarga, dan  membeli kebutuhan  hidup lainnya (kebutuhan dasar). Jumlah gaji yang diterima ketika menjadi TKI cukup besar dibandingkan dengan gaji di Indonesia. Sebut saja gaji menjadi pembantu rumah tangga. Gaji di Indonesia berkisar 500 ribu-750 ribu rupiah. Padahal kalau di Arab Saudi, mereka digaji 700 riyal atau setara dengan Rp 1.610.000.  selain itu ajakan anggota keluarga yang telah menjadi TKI terlebih dahulu. Keluarga bisa menjadi link sekaligus orang yang bisa dipercaya untuk bisa menjaga anggota keluarga lain yang berniat pergi merantau. Lingkungan tempat tinggal yang masyarakatnya sudah menjadi TKI turun temurun seperti di daerah Nusa Tenggara, Jawa Barat dan Indramayu. Hal-hal tersebutlah yang merupakan alasan mengapa orang-orang memilih menjadi TKI di luar negeri.

Selain itu,  problematika juga  muncul karena belum optimalnya perlindungan dan layanan  penempatan bagi mereka. Meskipun sudah muncul berbagai institusi dan layanan pro-TKI seperti Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI), Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) hingga layanan Call Center Bebas Pulsa 08001000, belum ada yang bisa memberikan layanan memuaskan untuk para TKI. Bahkan muncul spekulasi kalau pengurusan Kartu tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) digunakan untuk ajang mencari uang oleh oknum tertentu. Banyak juga oknum yang memanfaatkan masalah penempatan untuk mendapatkan keuntungan.

Selain institusi dan layanan yang belum optimal, problematika TKI muncul karena ketiadaan perwakilan RI di negara penempatan kerja. Di Taiwan misalnya, terjadi pemerasan terselubung pada TKI yang mengurus paspor di Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI). Para TKI terpaksa mengurus paspor di sana karena ketiadaan kantor KBRI di negara tersebut. TKI diharuskan membayar NT$1800 atau Rp 6.000.000 yang setara dengan 6 kali lipat dari harga semula yaitu NT$300 atau Rp 100.000 yang tanpa diberi kuitansi resmi.

Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki payung hukum yang jelas untuk melindungi para TKI. Beberapa payung hukum tersebut sebagai berikut :
1.      UU No.5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3783).
2.      UU RI No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.4279)
3.      UU RI No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
4.      UU RI No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Walaupun sudah banyak peraturan perudang-undangan yang berbicara mengenai perlindungan TKI, tetap saja peraturan kebijakan perundang-undangan yang ada tidak berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan tersebut cenderung terus berulang dan tidak pernah selesai. Hal ini juga disebabkan karena pemerintah Indonesia terlalu kaku dan kurang berani dalam menjalankan peraturan. Hanya keuntungan devisa saja yang diperhatikan, tetapi perlindungan akan hak para TKI di luar negeri sangat lemah dan tidak jelas.

Contoh kasus diatas dapat dikatakan sebagai masalah sosial karena masalah TKI menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada individu atau masyarakat, masalah TKI juga merupakan masalah yang sudah berlangsung dalam periode tertentu, terdapat pelanggaran terhadap nilai-nilai dan standar sosial dari sendi kehidupan masyarakat dan menimbulkan kebutuhan untuk dipecahkan. Masalah TKI merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang ada di Indonesia. hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang kuat antara kesenjangan pembangunan antara desa dan kota yang tidak merata sehingga dapat menjadi akar dari permasalahan tersebut.

2.3.      Upaya Mengatasi Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia
Secara umum kita dapat mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaan melalui berbagai upaya praktis seperti berikut:

2.3.1.      Mendorong Investasi
Mengharapkan investasi dari luar negeri kenyataannya belum menunjukkan hasil yang berarti selama tahun 2012 lalu. Para investor asing mungkin masih menunggu adanya perbaikan iklim investasi dan beberapa peraturan yang menyangkut aspek perburuhan. Kalau upaya terobosan lain tidak dilakukan, khawatir masalah pengangguran ini akan bertambah terus pada tahun-tahun mendatang.

Beberapa produk perikanan dan kelautan juga sangat potensial untuk dikembangkan seperti udang, ikan kerapu dan rumput laut dan beberapa jenis budidaya perikanan dan kelautan lainnya. Sektor industri manufaktur dan kerajinan, khususnya untuk industri penunjang - supporting industries seperti komponen otomotif, elektronika, furnitur, garmen dan produk alas kaki juga memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja. Penulis juga mencermati banyak sekali produkproduk IT dan industri manufaktur yang sangat dibutuhkan, baik untuk pasar domestik, maupun untuk pasar ekspor. Di samping kedua sektor tersebut, sector jasa keuangan, persewaan, jasa konsultasi bisnis dan jasa lainnya juga memiliki prospek baik untuk dikembangkan.

2.3.2. Memperbaiki daya saing
Daya saing ekspor Indonesia bergantung pada kebijakan perdagangan yang terus menjaga keterbukaan, disamping menciptakan fasilitasi bagi pembentukan struktur ekspor yang sesuai dengan ketatnya kompetisi dunia. Dalam jangka pendek, Indonesia dapat mendorong ekspor dengan mengurangi berbagai biaya yang terkait dengan ekspor itu sendiri serta meningkatkan akses kepada pasar internasional. Kebijakan yang dapat dipakai untuk mengontrol biaya-biaya tersebut diantaranya i) Menjaga kestabilan dan daya saing nilai tukar ii) Memastikan peningkatan tingkat upah yang moderat sejalan dengan peningkatan produktifitas iii) Akselerasi proses restitusi PPn dan restitusi bea masuk impor bagi para eksportir dan iv) Meningkatkan kemampuan fasilitas pelabuhan dan bandara dan infrastruktur jalan untuk mengurangi biaya transportasi.

Pemerintah dapat berupaya lebih keras lagi dalam menegosiasikan akses yang lebih besar ke pasar internasional pada pembicaraan perdagangan multilateral Putaran Doha terbaru. Karena Indonesia telah mempunyai kebijakan rezim perdagangan yang sangat terbuka, pemerintah dapat meminta pemotongan bea masuk dan pembebasan atas berbagai pengenaan bea masuk bukan ad-valorem oleh negara-negara maju, dengan dampak yang kecil bagi kebijakan proteksi Indonesia sendiri.

2.3.3.      Meningkatkan Fleksibilitas tenaga kerja
Indonesia memiliki aturan ketenagakerjaan yang paling kaku serta menimbulkan biaya paling tinggi di Asia Timur. Sebagai contoh, biaya untuk mengeluarkan pekerja sangatlah tinggi; pesangon yang harus dibayarkan mencapai 9 bulan gaji. Tentunya kebijakan pasar tenaga kerja harus berimbang antara penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel dengan kebutuhan untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi tenaga kerja.

Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja antara lain:

Menyelesaikan pelaksanaan perundang-undangan tenaga kerja dan berkonsentrasi pada dua isu utama yang mendapat perhatian para pengusaha yaitu: i) keleluasaan dalam mempekerjakan pekerja kontrak dan ii) keleluasaan dalam melakukan outsourcing, dengan menekankan para sub-kontraktor untuk memenuhi hak-hak pekerja mereka.

Menciptakan peradilan tenaga kerja, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perselisihan hubungan industrial. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penyelesaian perselisihan tenaga kerja.

Membentuk tim ahli dalam menentukan tingkat upah minimum. Pemerintah pusat dapat menjalankan kewenangan untuk membatasi peningkatan upah minimum di daerah.Jika diperlukan, merevisi Undang-undang mengenai Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional yang baru disahkan dan membentuk komisi tingkat tinggi yang bertugas mendesain sistem kesejahteraan nasional. Sistem ini harus dapat dilaksanakan dan mendukung penciptaan lapangan pekerjaan.


2.3.4.      Peningkatan Keahlian Pekerja
Pemerintah seharusnya dapat meningkatkan kemampuan angkatan kerja. Lemahnya kemampuan pekerja Indonesia dirasakan sebagai kendala utama bagi investor. Rendahnya keahlian ini akan mempersempit ruang bagi kebijakan Indonesia untuk meningkatkan struktur produksinya. Walaupun pada saat sebelum krisis pendidikan di Indonesia mencapai kemajuan yang luar biasa, dalam segi kuantitas, kualitas pendidikan masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara pesaing lainnya. Pemerintah harus lebih menekankan pencapaian tujuan di bidang pendidikan formal dengan mereformasi sistem pendidikan, sesuai dengan prinsip dan manfaat dari proses desentralisasi.

2.4.      Peningkatan Mutu Tenaga Kerja

a.      Latihan Kerja
Latihan kerja merupakan proses pengembangan keahlian dan keterampilan kerja yang langsung dikaitkan dengan pekerjaan dan persyaratan kerja. Dengan kata lain, latihan kerja berkaitan dengan pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu kerja, latihan kerja dapat berfungsi sebagai suplemen ataupun komplemen terhadap pendidikan formal.

b.      Pemagangan
Pemagangan adalah latihan kerja langsung ditempat kerja. Jalur pemagangan ini bertujuan untuk memantapkan profesionalisme yang dibentuk melalui latihan kerja. Dengan bimbingan dan pengalaman yang terus-menerus dalam dunia kerja maka profesionalisme tenaga kerja akan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan keterampilan yang dipelajari selama magang pada suatu perusahaan.

c.       Perbaikan gizi dan kesehatan
Perbaikan gizi dan kesehatan perlu dilaksanakan untuk mendukung ketahanan kerja dan kemampuan belajar (kecerdasan) dalam menerima pengetahuan baru dan meningkatkan semangat kerja. Selain peningkatan kemampuan teknis melalui jalur-jalur pengembangan sumber daya manusia tersebut pula diupayakan agar tercipta manusia yang berkualitas dengan cirri taat menjalankan agama, toleran dan saling menghargai sesama manusia, berwawasan kepentingan nasional, produktif, disiplin, inivatif dan bertanggung jawab.




BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penawaran tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh pemilik tenaga kerja pada setiap kemungkinan upah dalam jangka waktu  tertentu.

Menurut Ananta (1990) penawaran terhadap pekerja adalah hubungan antara tingkat upah dengan jumlah satuan pekerja yang disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan tergantung pada beberapa faktor yang antara lain :

1.      banyaknya jumlah penduduk,
2.      presentase penduduk yang berada dalam angkatan kerja,
3.      dan jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja

Tradeoff adalah situasi dimana seseorang harus membuat keputusan terhadap dua hal atau mungkin lebih, mengorbankan salah satu aspek dengan alasan tertentu untuk memperoleh aspek lain dengan kualitas yang berbeda.

Dapat dikatakan ketenagakerjaan di Indonesia hingga kini masih menghadapi beberapa ketidakseimbangan baik struktural ataupun sektoral. Walaupun telah terjadi pergeseran namun sebagian besar angkatan kerja Indonesia masih bekerja di sektor pertanian. Dalam hubungan ini, maka salah satu sasaran yang perlu diusahakan adalah meningkatkan daya guna tenaga kerja. Untuk mewujudkan pendayagunaan tenaga kerja maka perlu dilaksanakan berbagai kebijaksanaan perluasan lapangan kerja produktif. Sasaran utama kebijaksanaan adalah menciptakan kondisi dan suasana yang bukan saja memberi ruang gerak inisiatif yang sebesarbesarnya kepada para pelaku ekonomi tetapi juga sekaligus mendorong serta membantu perkembangan usaha-usaha kecil, usaha-usaha di sektor informal dan usaha-usaha tradisional. Permintaan Tenaga kerja, Penawaran Tenaga Kerja Serta Upah secara teoretis harus diperhatikan agar kebijakan-kebijakan yang dilakukan mendekati tujuan yang diinginkan.

3.2. Saran
            Kami mohon maaf jika dalam makalah kami masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka kami sarankan kepada para pembaca untuk membaca referensi lainnya agar para pembaca dapat memahami lebih jauh dan memberikan wawasan yang lebih luas tentang Penawaran Tenaga Kerja Di Indonesia Dan Pembahasan Kasus Penawaran Kerja





DAFTAR PUSTAKA
Wahyono, Budi. 2012. Penawaran tenaga kerja. Disitat pada website: http://www.pendidikanekonomi.com/2012/06/penawaran-tenaga-kerja.html

Sumarsono, Sonny. teori dan kebijakan publik ekonomi sumber daya manusia, graha ilmu, (yogyakarta :2009).

Yudi sc. 2010. Studi kasus tenaga kerja Indonesia (TKI). Disitat dari web: http://yudi-memories.blogspot.co.id/2010/11/studi-kasus-tenaga-kerja-indonesia-tki.html
Afrina, Eka.2012. Pembangunan Social (Studi Kasus Tenaga Kerja Indonesia). Disitat pada website:  http://sayaekaafrina.blogspot.co.id/2012/11/pembangunan-sosial-studi-kasus-tenaga.html
Ailia, Wahyu Dedis.2013. Interaksi Permintaan Dan Penawaran Tenaga Kerja. Disitat dari website:  http://wadeau.blogspot.co.id/2013/11/interaksi-permintaan-dan-penawaran.html
Armelly. (1995), “Dampak kenaikan Upah Minimum Terhadap Harga dan kesempatan Kerja Study Kasus Industri Tekstil di Indonesia : Pendekatan Analisis Input -Output", Tesis S-2 Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, tidak dipublikasikan.

Bellante, Don and Jackson, Mare. (1990). Ekonomi Ketenagakerjaan, LPFE UI, Jakarta.
Bilas, Richard A. (1989). Teori Mikroekonomi. Jakarta: Erlangga.