E. Larangan
Riba dalam Al Qur’an dan As Sunnah
Ummat Islam
dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak
melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an dan
hadits Rasulullah.
1. Larangan Riba dalam Al Qur’an
Larangan
riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan
diturunkan dalam empat tahap. [45]
Tahap
pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya
seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati
atau taqarrub kepada Allah .
“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
(Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah I mengancam memberi balasan yang
keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
“Maka
disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap
ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa
tersebut. Allah berfirman :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali
Imran: 130).
Ayat ini
turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa
kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau
bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini
merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Demikian
juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat
al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut, lihat
pembahasan “Alasan Pem-benaran Pengambilan Riba”, point “Berlipat-Ganda”).
Tahap
terakhir, Allah I dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
Ayat ini
baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
“Kaum
Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang
ber-dasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah
Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang
juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin
Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah
dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan
riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang
banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba)
dari Bani Mughirah - seperti sediakala - tetapi Bani Mughirah setelah memeluk
Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah
masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini
Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat di
atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab ‘jikalau
mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau
mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.” [46]
~~ * * * ~~
Footnote :
[45] Penjelasan lebih luas, lihat Sayyid Quthb “Tafsir Ayat
ar-Riba” dan Abul-A’la al-Maududi, Riba.
(Lahore: Islamic Publication, 1951)
[46] Tafsir ath-Thabari,
vol. VI, hlm.33
Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik.
Jakarta: Gema Insani Press.
Halaman : 48 - 51
Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung )