NILAI NILAI ISLAM DALAM BISNIS
Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah
Akuntansi Syariah
Dosen Pembimbing :
Surna Lastri, S,E., M.SI
.
Disusun Oleh :
Kelompok 1
Teuku Dicky Zoelfatan
Ikhsanul Huda
Khairul Ikhsan
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH-DARUSSALAM
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai Bahasa dan Perkembangan Bahasa Indonesia
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Banda
Aceh, 18 November 2015
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam merupakan sebuah pandangan hidup yang menyeluruh, dan petunjuknya mencakup seluruh sektor kehidupan. Agama ini telah memberikan prinsip-prinsip yang rinci untuk membimbing dan mengontrol berbagai aspek ekonomi dalam masyarakat. Setiap Muslim menyadari bahwa kekayaan, pendapatan, dan materi adalah milik Tuhan, sedangkan mereka hanyalah wakil-Nya (di muka bumi). Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil, yang mana setiap orang memiliki tanggung jawab dan kejujuran.
Melihat realistis di negeri kita , dunia usaha tanah
air masih memandang etika bisnis sebagi sesuatu yang asing, yang sulit
ditempatkan ke dalam dunia bisnis sehari hari. Maraknya penggunaan zat tambahan
adiktif, baik untuk penyedap, pengawet, pewarna , dan lain sebagainya adalah
merupakan salah satu contoh kecil yang ikut memperkuat tesis itu. Belum lagi
kasus kasus besar yang menyangkut masalah perusakan lingkungan hidup, kejahatan
perbankan, pembakaran hutan dan lain lainya, semakin meyakini betapa penting
peran etika bisnis dala islam dalam mengantisipasi penyimpangan yang banyak
merugikan bangsa itu
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sebenarnya
hakikat kehidupan manusia itu ?
2.
Apa maksud hakikat
manusia sebagai khalifah di muka bumi
3.
Apakah aktivitas
Ekonomi dan Bisnis itu merupakan suatu ibadah kepada Allah dan jalan upaya
untuk memakmurkan masyarakat ?
4.
Bagaimanakah Akhlak /
Etika Islam dalam Bisnis ?
5.
Bagaimanakah Syariat Islam
mengatur tentang Bisnis
·
Halal & Tayyiba
·
Riba
·
Instrumen Zakat
C.
Tujuan
Pembahasan
Untuk memberikan
pemahaman kepada pembaca bahwa di dalam aktivitas ekonomi dan bisnis juga
terdapat Aturan/akhlak/Etika yang diatur oleh Islam .
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Hidup
Menurut bahasa, hakikat berarti
kebenaran atau sesuatu yang sebenar benarnya atau asal segala sesuatu . Dapat
juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang menjadi
jiwa sesuatu.
Manusia adalah makhluk paling sempurna
yang pernah diciptakan oleh Allah SWT . Kesempurnaan yang dimiliki manusia
merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka
bumi ini. Al Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah . Jadi hakikat
manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Hidup dalam pandangan Islam adalah
kebermaknaan dalam kualitas secara berkesinambungan dari kehidupan dunia sampai
akhirat, hidup yang penuh arti dan manfaat bagi lingkungan. Hidup seseorang
dalam Islam diukur dengan seberapa besar ia melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagai manusia hidup yang telah diatur oleh Dienull Islam. Ada dan tiadanya
seseorang dalam Islam ditakar dengan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh
umat dengan kehadiran dirinya. Sebab Rasul pernah bersabda "Sebaik-baiknya
manusia di antara kalian adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada
orang lain. (Alhadis). Oleh karena itu, tiada dipandang berarti (dipandang hidup)
ketika seseorang melupakan dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah
diatur Islam.
Jadi Tujuan penciptaan manusia di atas
dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini
adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat.
B.
Hakikat
Manusia sebagai khalifah di bumi
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah. Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat. Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan. Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah
tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.
Konsekuesnsi dari internalisasi persepektif khalifatul fi Ardh
Uraiain tersebut di atas secara impilisit mengisyaratkan bahwa diri dalam setiap tindakannya (tindakan dalam upaya menunaikan amanat menyerbarkan rahmat), selalu mempetimbangkan etika yaitu nilia yang dijadikan dasar untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk , dan yang adil dari yang zolim, sebelum melakukan suatu tindakan. Pandangan ini memberikan pengertian yang transparan kepada kita bahwa diri memiliki kesadaran yang tinggi untuk selalu bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan. Kesadaran ini timbul terutama karena diri mengetahui bahwa dia kelak akan kembali kepada Pemberi amanat dan mempertanggungjawabkan semua tindakan yang telah dia perbuat .
Kemampuan diri untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk, dan yang adil dari yang zalim, bertnaggungjawab kepada kepekaan dua potensi fitrah yang dimilikinya, yaitu akal dan hati nurani. Akal merupakan instrument untuk berpikir sedangkan hati nurani adalah lentera yang menerangi cara berpikir yang dilakukan akal dengan nuur ilahi dan tali pengikat yang mengikatkan manusia akan asal kejadian dan tempat manusia kembali. Kedua potensi ini selalu berinteraksi secara dialektik menuju kepada tingkat pemikiran dan pencapain ilmu pengetahuan yang lebih sempurna, yaitu dalam rangka memahami kehendak Allah .
Konsekuensi logis dari interaksi dialektik antara akal dan hati nurani ini adalah munculnya suatu pola pemikiran “ inklusivisme kritis” yaitu suatu pola pemikiran yang bebas dan terbuka namun tetap kritis berpijak pada hati nurani yang suci . Pola pemikiran ini merupakan cirri utama dari para ulama atau para pemikir islam zaman klasik, yaitu mereka yang telah membawa ilmu pengetahun dan peradapan umat islam kepada tingkat yang lebih tinggi . bahkan ilmu pengetahuan modern yang kita kenal sekarang ini merupakan kelanjutan dari ilmu pngethuan yang telah dibangun oleh ilmuwan muslim ( Majdid,1992)
Beberapa ayat Al Quran, sabda nabi, dan perkataan Ali bin Abi thalib telah mengisyaratkan perlunya semangat berpikir bebas, terbuka , kritis seperti dibawah ini:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari berupa air, lalu dengar air itu Dia hidupkan bumi sesduah mati dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda tanda ( keesaan dan kebesaran Allah ) bagi kaum yang memikirkan ( Q.S AL Baqarah :164.
Sabda sabda nabi Muhammad SAW :
“ Pungutlah olehmu hikmah ,dan tidak akan membahayakan bagi kamu dari bejana apa pun hikmah itu ke luar .
Perkataan Ali bin Abi Thalib,
“Perhatikan apa yang dikatakan orang, jangan perhatika siapa yang mengatakan.”
Inklusivisme kritis” merupakan syarat penting bagi diri untuk mengemban amanat yang dipikulnya, karena tanpa inklusivisme kritis ini mustahil diri memperoleh ilmu pengetahuan dan mengetahui sunnatullah yang terhampar luas di alam semesta ini , apalagi untuk menyuruh individu individu yang lain untuk berbuat ma’ruf dan mencegah yang mungkar .
Inklusivisme kritis sangat membantu dalam memperkaya penbendaharaan ilmu pengetahuan , karena sifat inklusif sangat terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan tanpa secara prinsip harus memperhatikan asal usulnya.
Inklusivisme kritis sebenarnya bukan merupakan konsep yang sama sekali baru, melainkan konsep lama. Bahkan konsep ini telah dipakai oleh pemikir islam pada era islam klasik. Para pemikir islam klasik mempelajari dan mengambil filsafat yunani sebagai miliknya serta mengislamkannya denga cara menghapuskan unsure unsure mitologis yang tidak sesuai dengan ajaran pokok islam, yaitu Tauhid.
Dengan perbekalan ilmu pengetahuan yang sangat mamadai, diri akan mampu secara kritis melihat, berinteraksi , dan menyatu dengan dunianya . Secara kritis, diri akan melihat bahwa tidakan etnis tidak semata mata diukur apakah tindakan tersebut bermanfaat atau tidak, dapat memaksimalkan kebahagiaan atau tidak, sebagaimana yang dianut oleh paham utilitarisme dari teori konsekuensialisme yang berkembang dari pemikiran Jeremy Bentham.[1]
A. Tugas dan Peranan Manusia Dimuka Bumi Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
1. Memakmurkan Bumi Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
2. Memelihara Bumi Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari. Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam). Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW untuk memelihara bumi dari kerusakan?, karena sesungguhnya manusia lebih banyak yang membangkang dibanding yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia akan cenderung untuk berbuat kerusakan, hal ini sudah terjadi pada masa nabi – nabi sebelum nabi Muhammad SAW dimana umat para nabi tersebut lebih senang berbuat kerusakan dari pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum bani Israil, seperti yang Allah sebutkan dalam firmannya dalam surat Al Isra ayat 4 yang berbunyi : Artinya : dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar“. (QS Al Isra : 4) Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap Alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti firmannya dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi: Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS AL Qashash : 7) Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda, apalagi manusia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, salah satunya manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk penciptaan, namun kemuliaan manusia bukan terletak pada penciptaannya yang baik, tetapi tergantung pada; apakah dia bisa menjalankan tugas dan peran yang telah digariskan Allah atau tidak, bila tidak, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka dengan segala kesengsaraannya. Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya." Paling kurang ada tiga tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia dan sebagai seorang muslim, kita bukan hanya harus mengetahuinya, tetapi menjalankannya dalam kehidupan ini agar kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan. Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok, bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yang dilakukan oleh manusia dan sebagai apa pun dia, seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang artinya, "Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku." (51: 56). Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah SWT, paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi. Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya, tanpa keikhlasan, amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat untuk dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk mengamalkannya. Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan segala cara, sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah SWT. Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah SWT harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, manusia diperankan oleh Allah SWT sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Q.S Al Baqarah: 30). Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang sangat mendasar untuk bisa diterapkan. Tanpa kebenaran dan keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan, tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan, karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya. Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan." (Shad: 26). Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapa pun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah SWT kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (4: 58)[2]
B. Aktivitas Ekonomi dan bisnis sebagai ibadah kepada Allah dan upaya memakmurkan masyarakat Aktivitas Ekonomi dan bisnis islam berbeda dari aktivitas aktivitas ekonomi lainnya. Dasar Falsafah dalam aktivitas ekonomi islam ditentukan oleh Allah, sedangkan ekonomi ekonomi lain didasarkan kepada beberapa edeologi atau falsafah ciptaan manusia. Falsafah
dari aktivitas Ekonomi dalam islam bertujuan sebagai jalan beribadah kepada
Allah dan upaya untuk memakmurkan masyarakat. Aktivitas ekonomi dan bisnis
dalam islam bukan dengan semena menanya disalah jalankan, sebab seluruh alam
semesta ini Mutlak adalah milik hak Allah SWT.
Segala yang ada di dalam ini , termasuk
manusia itu sendiri adalah milik Allah secara mutla. Hal ini jelas dinyatakan
di dalam Al Quran,
“ Kepunyaan Allahlah
segala apa yang ada di langit dan di bumi ( Q.S Al Baqarah : 284)
“Kepuanyaan Allahlah
segala apa yang ada di langit dan di bumi , dana apa yanag ada diantara
keduanya ( Q.S Al Maidah : 17 )
Kepunyaan Allah semua
yang di langit , semua yang di bumi, semua yang diantara keduanya, dan semua
yang di bawah tanah ( Thaha : 6 )
Pernyataan pernyataan dari Al quran ini
melibatkan konsep Tauhid karena manusia patut mengimani bahwa Allah itu Esa dan
segala yang lain adalah makhluk dan merupakan milikNya . Manusia hanya
diberikan peranan sebagai pemegang amanah dalam mengurus harta Allah yang
berada di tangan mereka. Inilah yang dimaksud dalam Al Quran bahwa manusia itu
adalah khalifah Allah di muka bumi dan konsep pemberian amanah oleh Allah
kepada manusia itu dinamakan khilfah ( vicegerency) ( M. Umer Chapra 1991 : 202 ) . Allah berfirman
:
“Dan Dialah yang
menjadikan kamu khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagina yang lain beberapa derajat karena Ia hendak menguji kamu tentang apa
yang diberikanNya ( Q.S Al An’an : 165 )
C. Akhlak
/ Etika Islam dalam bisnis
Sistem etika bisnis islam berbeda dengan
sistem etika sekuler, Melalui perkembangan peradapan , sistem sekuler
mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis.
Karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri di atas nilai nilai
temuan manusia. Seperti halnya epicurianism atau kebahagian hanya untuk
kebahagiaan itu sendiri.. Sistem etika tersebut mengusulkan sebuah system
perceraian antara etika dan agama .
Sedangkan kode moralitas yang diadopsi
agama selain islam lebih sering menekankan kepada pengkaburan eksistensi
kehidupan manusia di muka bumi . Seperti halnya delam agam Kristen misalnya,
terlalu berlebihan dalam menekankan kepada monasticism( biarawan ) yang
menganjurkan kepada para pengikutnya untuk menarik diri dari segala hiruk pikuk
dan kesibukan hidup keduniaan .
Lain halnya dengan sistem islam, nilai
moralitas etika islam menanamkan anjuran akan hubungan manusia dengan tuhannya
. Karena Allah SWT. Maha Sempurna lagi Maha Mengetahui , kode etika seorang
muslim sudah melampui setiap batasan waktu ataupun perilaku bias dari
kemanusiaan . Sistem etika islam bisa ditekankan kapan saja , tidak terikat
dengan satu masa tertentu , karena Allah sebagai sang pencipta dan para pencatatnya
sangat dekat dengan manusia sabagai
hamba, dengan kedekatan yang tidak lebih jauh antara tenggorakan dan urat jakun
.
Bagi seorang muslim, kemampuan paradigma
konvensional akan arti manusia sebagai homo economicus tidak seoenuhnya sesuai
dengan nilai nilai etika islam. Oleh sebab itu, morality concept dalam
persepektif islam diusung pada saat pencerahan aksioma aksioma yang sudah
terlanjur kondang. Alhasil, Apresiasi manusia umum akan materi pelan pelan
harus digeser malalui arahan rambu
imperarif syariah . Pergeseran nilai ini diharapkan dapat membantu bentukan
system aplikasi manual dari mekanisme produk ekonomi syaraiah , karena muatan
tercerah dan persepektif ini adalah adanya dimesnsi moral berbasis wahyu
Urgensi Etika Bisnis :
Islam dan Kontemporer
Bagaimanapun perilaku mencerminkan
akhlak seseorang. Atau dengan kata lain, perilaku berelasi dengan etika.
Apabila seseorang taat pada etika, berkecenderung akan menhasulkan perilaku
yang baik dalam setiap aktivitas atau tindakannya, tanpa kecuali dalam
aktivitas bisnis.
Secara konkret bisa diilustrasikan jika
seorang pelaku bisnis yang peduli pada etika, bisa diprediksi ia akan bersikap
jujur, amanah , adil , selalu melihat kepentingan orang lain dan sebagainya .
Sebaliknya bagi mereka yang tidak mmepunyai kesadaran akan etika , dimanapun dan
kapanpun saja tipe kelompok orang kedua ini akan menampakkan sikap kontra
produktif dengan sikap tipe kelompok orang pertama dalam mengendalikan bisnis
Menurut Yusuf Qardhawi, antara ekonomi (
bisnis ) dan akhlak tidak pernah terpisah sama sekali, seperti halnya ilmu dan
akhlak , antara politik dan akhlak , dan antara perang dan akhlak . Akhlak
adalah daging dan urat nadi kehidupan islami. Karena risalah islam adalah
risalah akhlak. Sebagaimana pula tidak pernah terpisah antara agama dan Negara
, dan antar materi dan rohani. Seorang
muslim yakin akan kesatuan hidup dan kesatuan manusia. Sebab itu tidak bisa
diterima sama sekali tindakan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama
sebagimana yang terjaidi di eropa.
Seorang pengusaha dalam pandangan etika
islam bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga mencari keberkahan yaitu
kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai
oleh Allah . ini berarti yang harus diraih oleh seorang pedagang dalam
melakukan bisnis tidak terbatas keuntungan materiil ( duniawi ), tetapi yang
penting lagi adalah keuntungan immaterial ( spiritual ) . kebendaan yang profan
baru bermakna apabila diimbangi dengan kepentingan spiritual yang transensden (
ukhrawi ) .
Akan tetapi, perlu disadari bagaimanapun
dalam dunia usaha mau tidak mau akan muncul masalah masalah etis da masalah
masalah etis itu sudah barang tentu harus dicarikan jalan keluarnya.
Terlebih lagi secara realitis, dunia
usaha tanah air masih memandang etika bisnis sebagi sesuatu yang asing, yang
sulit ditempatkan ke dalam dunia bisnis sehari hari. Maraknya penggunaan zat
tambahan adiktif, baik untuk penyedap, pengawet, pewarna , dan lain sebagainya
adalah merupakan salah satu contoh kecil yang ikut memperkuat tesis itu. Belum
lagi kasus kasu besar yang menyangkut masalah perusakan lingkungan hidup, kejahatan
perbankan, pembakaran hutan dan lain lainya, semakin meyakini betapa penting
peran etika bisnis dalam mengantisipasi penyimpangan yang banyak merugikan
bangsa itu.
Maka yang diperhatikan dalam aktivitas
ekonomi adalah tujuan tujuan syariat
yang mengandung semua yang harus ditunaikan amanah
itu. Allah sendiri menjelaskan bahwa:
agar manusia merealisasikan Falah dan hayatan tayyibah
dalam batas batas syariat. Imam Al
Ghazali,seperti dalam sebuah kutipan yaitu memasukkan semua perkara yang
dianggap penting untuk melindungi dan memperkaya keimanan, kehidupan, akal,
keturunan, dan harta dalam maqashid
.
Dalam islam, tuntutan bekerja
adalah merupakan sebuah keniscayaan bagis setiap muslim agar kebutuhan hidupnya
sehari hari bisa terpenuhi . Salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan itu
antara lain melalui aktivitas bisnis sebagaimana telah dicontohkan oleh baginda
Rasulullah SAW sejak beliau masih usia muda. Hanya saja beliau dalam berbisnis
benar benar menerapkan standar moral yang digariskan dalam Al Quran.
Oleh karena itu , sebagai pelaku
bisnis terutama sebagai muslim , ia harus menyibukkan diri dengan masalah
masalah etis . Dengan kata lain, profesionalitas dalam bisnis dituntut juga
adanya kompetensi yang memadai dalam memecahkan tantangan etika bisnis yang sekarang ditengarai mulai
longgar. Kemampuan untuk menentukan sikap sikap etis yang tepat, termasuk
kompertensi sebagai usahawan atau manager . Begitu pula sebuah perusahaan hanya
akan berhasil dalam waktu panjang apabila berpegang pada standar standar etis
yang berlaku. Inilah profil perusahaan yang disebut good business yang berpijak
pada reliable ethics.
Sebagai agama Rahmatal lil Alamin yang
bersumber pokok dari ajaran wahyu,sudah barang tentu menjadikan etika sebagai
urat nadi dalam segala aspek kehidupan seorang muslim. Terlebih lagi islam
mengajarkan ketinggian nilai etika tidak saja secara teoritis yang bersifat
abstrak, namun juga yang bersifat aplikatif . tidakkah kita sadari bahwa salah
satu misi pokok kerasulan Muhammad SAW adalah untuk meynyempurnakan akhlak
manusia. Dengan begitu bagaimana oraktik rasulullah SAW yang ditunjukkan kepada
kita, pada hakikatnya tidak lepas dari rekayasa Allah SWT yang mengajrkan
kepada manusia tentang etika dalam pengertian praksis itu. Justru karena itu
tesis Yusuf Qardhawi yang menyatakan bahwa seluruh ranah kehidupan muslim tidak
lepas dari ajaran akhlak, termasuk dalam aktivitas ekonomi ( bisnis ) , tak
perlu diragukan lagi keabsahannya dan benar adanya
Dari uraian di atas dapat diapahami
bahwa arti penting etika bisnis disebabkan karena tidak bisa lepasnya aktivitas
bisnis dari nilai nilai dan norma norma akhlak, Sebagaimana yang telah
dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW. Aplikasi etika dalam bisnis merupakan
sebuah kewajiban syariat yang akan mendapat pahala bagi siapapun yang
mengamalkannya, di samping akan mendapatkan harta yang halal dan barakah .
D. Syariat
Islam mengatur tentang bisnis
a)
Halal & Tayyiba
Sudah
jelas urgensi
usaha halal dan harta halal bagi setiap muslim apalagi dizaman seperti ini,
karena besarnya pengaruh usaha haram dalam tertahan dan terhalangnya kebaikan
dan keberkahan harta.
Ketika di zaman ini menyebar dengan
sangat cepat usaha-usaha haram. Banyak yang sudah tidak perduli lagi tentang
harta yang dimilikinya darimana didapatkan dan bagaimana mendapatkannya.
Realita yang sangat persis seperti dijelaskan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabda beliau dalam shahih al-Bukhori dari hadits Abu Hurairoh
Radhiyallahu ‘Anhu yang berbunyi:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ
يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
Akan datang kepada manusia suatu
zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan,
apakah dari yang halal atau haram?! HR. al-Bukhâri 2059
Disamping itu ketidak tahuan kaum
muslimin terhadap harta haram dan usaha haram membuat keadaan semakin parah.
Pada saat demikian sangat diperlukan sekali penjelasan mengenai hakekat usaha
dan harta yang haram.
Ø Halal
Halal berasal dari bahasa Arab yaitu halla yang
berarti lepas atau tidak terikat. Dalam kamus fiqih, kata halal dipahami
sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Istilah ini, umumnya
berhubungan dengan masalah makanan dan minuman Lawan dari kata halal adalah haram.
Haram berasal dari bahasa Arab yang bermakna, suatu perkara yang dilarang oleh
syara (agama). Mengerjakan perbuatan yang haram berarti berdosa dan mendapat
pahala bila ditinggalkan. Misalnya, memakan bangkai binatang, darah, minum
khamr, memakan barang yang bukan miliknya atau hasil mencuri. Dari segi bahasa, pengertian halal
ialah perkara atau perbuatan yang dibolehkan, diharuskan, diizinkan atau
dibenarkan syari’at Islam. Sedangkan haram ialah perkara atau perbuatan yang
diharuskan atau tidak diperbolehkan oleh syari’at Islam. Dalam Islam, istilah halal biasa digunakan terhadap sesuatu
tindakan, percakapan, perbuatan, dan tingkah laku yang boleh dilakukan oleh
Islam tanpa dikenakan dosa. Adapun haram adalah suatu perkara atau perbuatan
yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam agar tidak dilakukan oleh orang-orang
Islam yang mukallaf, dan pelanggaran terhadap perkara tersebut adalah dikenakan
dosa.
Dalam
aspek makanan, minuman, obat, kosmetika, dan barang gunaan halal ialah makanan
atau barang gunaan yang harus atau tidak dilarang untuk dimakan atau digunakan
oleh orang-orang Islam. Sedangkan yang haram ialah makanan atau barang yang
tidak diharuskan atau diizinkan untuk dimakan atau digunakan oleh orang-orang
Islam.
Halal
adalah sesuatu yang dibolehkan menurut ajaran Islam dan haram adalah sesuatu
yang dilarang menurut Islam.
1. Makanan Yang
Dihalalkan Allah SWT
Segala
jenis makanan apa saja yang ada di dunia halal untuk dimakan kecuali ada
larangan dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk dimakan. Agama
Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk memakan makanan yang halal dan
baik. Makanan “halal” maksudnya makanan yang diperoleh dari usaha yang
diridhai Allah. Sedangkan makanan yang baik adalah yang bermanfaat bagi
tubuh, atau makanan bergizi.
Makanan
yang enak dan lezat belum tentu baik untuk tubuh, dan boleh jadi makanan
tersebut berbahaya bagi kesehatan. Selanjutnya makanan yang tidak halal bisa
mengganggu kesehatan rohani. Daging yang tumbuh dari makanan haram, akan
dibakar di hari kiamat dengan api neraka.
a.
Makanan halal dari segi jenis ada tiga :
1.
Berupa hewan yang ada di darat maupun di laut, seperti
kelinci, ayam, kambing, sapi, burung, ikan.
2.
Berupa nabati (tumbuhan) seperti padi, buah-buahan,
sayur-sayuran dan lain-lain.
3.
Berupa hasil bumi yang lain seperti garam semua.
b.
Makanan yang halal dari usaha yang diperolehnya, yaitu :
1.
Halal makanan dari hasil bekerja yang diperoleh dari usaha
yang lain seperti bekerja sebagai buruh, petani, pegawai, tukang, sopir, dll.
2.
Halal makanan dari mengemis yang diberikan secara ikhlas,
namun pekerjaan itu halal , tetapi dibenci Allah seperti pengamen.
3.
Halal makanan dari hasil sedekah, zakat, infak, hadiah,
tasyakuran, walimah, warisan, wasiat, dll.
4.
Halal makanan dari rampasan perang yaitu makanan yang
didapat dalam peperangan (ghoniyah).
Ø Thayyib
Thayyib berasal dari bahasa Arab thaba yang artinya baik, lezat,menyenangkan, enak dan nikmat atau berarti pula bersih atau suci. Oleh sebab itu, kata thayyib mempunyai bermacam arti yaitu baik, enak, lezat,nikma, bersih atau suci.
Menurut M. Quraish Shihab, kata tayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik,
sehat, aman. Jadi yang
dimaksud makanan halalan
thayyiban menurut penjelasan
al-Quran merupakan segala
yang baik dan wajar dimakan, yang
baik untuk jiwa tidak membahayakan badan dan akal manusia, mengandung
zat-zat yang diperlukan oleh tubuh manusia serta dimakan dalam takaran
yang cukup dan seimbang.
b)
Riba
Riba secara literal berarti
peningkatan dan penambahan. Al-qur’an juga mempergunakan istilah ini untuk
menyatakan peningkatan/tambahan yang signifikan. Secara teknikal riba berarti
penambahan jumlah hutang dalam waktu yang ditentukan karena masa pinjaman dipanjangkan waktunya,atau orang
yang meminjam tidak mampu membayar pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam Islam, memungut riba
atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : “.padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.”
Pandangan ini juga yang
mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung
didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank
konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank
termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang
mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah
ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku
bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan
prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya.
dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad
ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka
yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha
yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung
oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu
pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian
dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh
nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang
didapat oleh pihak bank.
Ø
Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi
dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi
lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi
atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
·
Riba
Qardh
Suatu
manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
·
Riba
Jahiliyyah
Hutang
dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.
·
Riba
Fadhl
Pertukaran
antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
·
Riba
Nasi’ah
·
Tambahan
jumlah uang yang didapat dari pemberian pinjaman, biasanya didasarkan pada
batasan waktu tertentu
c)
Instrumen Zakat
Dalam Islam, altruisme
merupakan salah satu alasan bagi perilaku kedermawanan. Dalam surat Al-Hasyar
(59) ayat 9 Allah memuji perilaku kaum Anshar yang lebih menyantuni kaum
Muhajirin meskipun kesulitan yang mereka hadapi tidak jauh berbeda.
Dalam perilaku filantropinya
(giving behavior), seorang Muslim mempunyai pilihan dalam mencapai kepuasaannya
(utility function). Kalau ia sudah merasa puas dengan berderma kepada seorang
peminta-minta, menyumbang korban bencana alam, memberi santunan bulanan kepada
beberapa anak yatim, atau bentuk-bentuk charity lainnya, maka berarti kurva
kepuasaannya sudah mencapai titik maksimum dengan berinfak secara pribadi dan
langsung (direct giving) tersebut.
Namun, apabila ia tidak cukup
puas dengan pola berderma seperti itu karena melihat kesejahteraan kelompok
masyarakat miskin yang tidak meningkat, maka mungkin saja pola pengumpulan dan
penyaluran zakat perlu dilakukan oleh negara (indirect giving) agar lebih
terorganisir dan mengcover masyarakat yang lebih luas.
Ada beberapa alasan mengapa
negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Pertama, zakat bukanlah
bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf, dan
hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya
mandub (sunnah). Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah
dalam surat al-Tawbah (9) ayat 103. Satu-satunya lembaga yang mempunyai
otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah
negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila
hal ini disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan
negara.
Kedua, potensi zakat yang
dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi
zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat
Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005
mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia
mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk
barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu,
sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat
harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut
adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung
kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen)
adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5
persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ)
swasta hanya 4 persen zakat maal.
Pada kenyataannya, dana zakat
yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya.
Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga
pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan
infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan
disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis
pelaksana.
Ketiga, zakat mempunyai
potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana
zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan
nasional. Dalam periode tertentu, suatu negara membuat rencana pembangunan di
berbagai bidang sekaligus perencanaan anggarannya. Potensi zakat yang cukup
besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana
pembangunan nasional tersebut.
Keempat, agar dana zakat dapat
disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu
sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengumpulan dan
pendistribusian zakat yang terpisah-pisah, baik disalurkan sendiri maupun
melalui berbagai charity membuat misi zakat agak tersendat. Harus diakui bahwa
berbagai lembaga charity telah berbuat banyak dalam pengumpulan dan
pendistribusian dana zakat dan telah banyak hasil yang dapat dipetik. Namun,
hasil itu dapat ditingkatkan kalau pengumpulan dan pengelolaannya itu dilakukan
oleh negara melalui perangkat-perangkatnya.
Kelima, memberikan kontrol
kepada pengelola negara. Salah satu penyakit yang masih menggerogoti keuangan
Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya adalah korupsi atau penyalahgunaan
keuangan negara. Padahal, sebagian besar pengelola negara ini mengaku beragama
Islam. Penyalahgunaan ini antara lain disebabkan oleh lemahnya iman menghadapi
godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke dalam perbendaharaan negara
diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang yang dikorupsi itu
terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga. Petugas zakat juga
tidak mudah disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung
zakatnya serta tidak akan melakukan ‘tawar-menawar’ dengan petugas zakat
sebagaimana sering ditemui dalam kasus pemungutan pajak.
Banyak lagi alasan mengapa
zakat perlu dikembalikan ke dalam sistem fiskal negara. Meskipun demikian, ada
beberapa pertanyaan atau keberatan terhadap agenda ini. Hal ini antara lain
dikarenakan sudah terlalu lamanya zakat terpisah dari sistem negara dan menjadi
urusan masing-masing pribadi Muslim. Mengembalikannya ke dalam sistem negara
tentu bukan pekerjaan mudah. Akan banyak pihak yang keberatan dengan berbagai
alasan yang dikemukakan. Mereka yang berpotensi menolak terutama berasal dari
kelompok yang phobia dengan masuknya institusi-institusi keagamaan ke dalam
sistem kenegaraan atau menolak turut campurnya negara dalam urusan keagamaan
atau spiritualitas anggota masyarakat. Menurut mereka, zakat tidak dapat masuk
dalam sistem fiskal negara karena hanya ekslusif untuk umat Islam dan kalau
dipaksakan akan memicu disintegrasi bangsa. Alasan lainnya adalah bahwa negara
ini bukan negara Islam dan institusi-institusi keislaman seperti zakat tidak
dapat diadopsi dalam sistem kenegaraan.
Alasan lain barangkali adalah
bahwa zakat seharusnya dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok masyarakat.
Campur tangan negara sudah terlalu banyak dan jangan diperbesar lagi. Zakat
merupakan suatu potensi yang unik bagi pengembangan civil society dan
menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat itu sendiri.
Terlepas dari keberatan
tersebut, faktanya zakat telah cukup memainkan peranan penting dalam redistribusi
kekayaan di tengah masyarakat Muslim. Terlebih lagi, zakat pernah menjadi
andalan dalam kebijakan fiskal masyarakat Muslim awal. Pertanyaannya sekarang,
kalau zakat ingin dikembalikan pengelolaannya oleh negara dan diadopsi sebagai
salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, bagaimana halnya dengan hukum
zakat itu sendiri? Adakah kebijakan fiskal membawa pengaruh terhadap
aturan-aturan zakat? Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan hal ini dilihat
dari sisi subyek, obyek, sasaran, pendistribusian, dan tarif zakat.
Pengaruh Kebijakan Fiskal
Terhadap Subyek Zakat
Para ulama fiqh sepakat bahwa
zakat hanya diwajibkan kepada seorang Muslim dewasa yang waras, merdeka, dan
memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula
(Qardhawi. 1997: 96). Menurut ulama Fiqh, zakat tidak diwajibkan kepada
non-Muslim, karena zakat merupakan “anggota tubuh” Islam yang paling utama, dan
karena itu orang kafir tidak mungkin diminta menunaikannya, serta bukan pula
merupakan hutang yang harus dibayarnya setelah masuk Islam.
Hal ini tentu menimbulkan
ketimpangan dalam masyarakat, karena warga negara Muslim diwajibkan membayar
zakat, sementara warga negara non-Muslim tidak memikul kewajiban tersebut.
Dalam konteks kebijakan fiskal negara, tidak boleh ada diskriminasi terhadap
warga negara dalam memberikan kewajiban kepada negara, termasuk dalam hal
perpajakan.
Dengan demikian, jika zakat
menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal negara, maka sekat-sekat diskriminasi
dalam hukum zakat hendaknya dapat diselesaikan, agar semua warga negara sama
kedudukannya dalam memenuhi kewajibannya kepada negara.
Untuk menyelesaikan persoalan
ini, sebagian ulama berpendapat bahwa warga non-Muslim dikenakan jizyah sebagai
penyeimbang zakat yang dibayarkan oleh warga Muslim. Hal ini telah dipraktekkan
pada masa-masa awal Islam, di mana warga non-Muslim (zimmi) diwajibkan membayar
jizyah kepada negara sebagai imbalan atas jaminan perlindungan yang mereka
terima. Namun, hal ini tentu tidak relevan lagi di masa sekarang karena semua
warga negara memiliki kewajiban yang sama dalam suatu negara dan sudah jarang
dikenal lagi istilah kafir zimmi dalam suatu negara berpenduduk Muslim.
Persoalan ini dapat
diselesaikan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi agama-agama. Zakat
merupakan kewajiban keagamaan yang bukan inovasi Al-Qur`an. Konsep pembayaran
pajak keagamaan telah ada di Babilonia kuno yang harus dibayarkan oleh semua
kelas penduduk dari raja sampai rakyat biasa. Pembayaran tersebut dapat berupa
hasil pertanian maupun dalam bentuk uang (Zaman, 1996: 167).
Kewajiban zakat atau pajak
keagamaan ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (Lev. 27:30; Deut.
14:22; Num. 18:21; Neh. 11:37). Dalam Al-Qur`an pun berulangkali disebutkan
bahwa umat-umat terdahulu juga dikenakan kewajiban untuk membayar zakat. Hanya
saja, mengingat perbedaan latar belakang kehidupan sosial ekonomi pada waktu
turunnya perintah zakat tersebut, maka obyek dan jumlah zakat yang dikeluarkan
berbeda dengan konsep zakat dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Selain
itu, pembayaran zakat dalam Perjanjian Lama murni dimaksudkan untuk
lembaga-lembaga keagamaan, sementara dalam Al-Qur`an zakat ditujukan untuk
memberikan dukungan ekonomis kepada masyarakat dan bukan kepada hirarki
institusi keagamaan, seperti kepada pendeta dalam tradisi non-Muslim (Zaman,
1996:168-169).
Meskipun demikian, dapat
ditarik sebuah “benang merah” bahwa perintah zakat merupakan perintah yang
universal. Dengan demikian, dalam konteks kebijakan fiskal negara, pajak
keagamaan (Islam: zakat) dapat dikenakan kepada seluruh warga negara, tanpa
melakukan diskriminasi keagamaan.
Di samping itu, secara
historis hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab yang juga
memungut zakat dari kaum Nasrani Bani Taghlib. Pada mulanya, Umar telah
memutuskan untuk menarik jizyah dari mereka, tetapi mereka memprotesnya.
Akhirnya, Umar memerintahkan untuk memungut zakat dengan melipatgandakan jumlah
zakat yang harus mereka bayar (Qardhawi, 1997: 100-102). Lagi pula, mereka
memang diperintahkan oleh agama mereka untuk berzakat, yaitu berbuat baik
kepada orang-orang yang melarat. Dengan demikian, apabila mereka dibebani
dengan zakat, maka sesungguhnya mereka hanya dibebani dengan sesuatu yang sejak
mula sudah disyariatkan oleh agama mereka. Terlebih lagi, dalam pendistribusian
dana zakat, Islam tidak mengenal adanya diskriminasi antara Muslim dan
non-Muslim apabila sesuai dengan kriteria sasaran pendistribusian zakat.
Selain subyek zakat yang
berupa individu (person), zakat juga dapat dikenakan kepada badan hukum (recht
person) sebagaimana halnya pajak. Badan-badan hukum tersebut seperti
perusahaan-perusahaan yang memiliki kekayaan baik berupa benda bergerak maupun
tidak bergerak. Zakat yang dikenakan kepada badan-badan hukum tersebut diambil
dari saham dan keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut (Qardhawi, 1997:
490-497).
Pengaruh Kebijakan Fiskal
Terhadap Obyek Zakat
Al-Qur`an tidak memberikan
ketegasan tentang kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya dan syarat-syarat
yang mesti dipenuhi, serta tidak merinci berapa besar yang harus dizakatkan.
Persoalan itu diserahkan kepada sunnah Nabi yang menafsirkan tuntutan Al-Qur`an
yang masih umum, menerangkan yang masih samar, memperkhusus yang masih terlalu
umum, memberi contoh konkrit pelaksananaanya, dan membuat prinsip-prinsip
aktual dan bisa diterapkan dalam kehidupan manusia.
Berkaitan dengan obyek yang
dikenakan zakat, Rasulullah Saw menetapkan bahwa zakat dikenakan atas jiwa dan
semua jenis harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat di mana zakat
ditetapkan. Zakat atas jiwa disebut zakat fitrah, sedang zakat atas kekayaan
dikenal dengan zakat mÄl.
Memang terdapat beberapa jenis
kekayaan yang disebutkan dan diperingatkan dalam Al-Qur`an untuk dikeluarkan
zakatnya yaitu emas dan perak (Q.S. 9:34), tanaman dan buah-buahan (Q.S.
6:141), hasil usaha (Q.S. 2:276) Barang-barang tambang yang dikeluarkan dari
perut bumi (Q.S. 6:141).
Selain jenis kekayaan yang
disebutkan tersebut, Al-Qur`an hanya merumuskan apa yang wajib dizakatkan
dengan rumusan yang sangat umum yaitu dengan kata “kekayaan” (amwÄl) (Q.S.
9:103; 4:52). Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang makna “kekayaan” tersebut.
Menurut mazhab Hanafi, kekayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipunyai dan
bisa diambil manfaatnya menurut kebiasaan. Sesuatu yang dipunyai dan bisa
diambil manfaatnya secara konkrit adalah kekayaan, seperti tanah, binatang
ternak, barang-barang perlengkapan, dan uang.
Konsekuensi dari definisi ini
adalah bahwa kekayaan berarti hanya yang berwujud benda sehingga dapat dipegang
dan dipunyai. Akibat lebih lanjut ialah bahwa manfaat dari benda yang konkrit
itu, seperti penempatan rumah, jasa transportasi, sewa pakaian, tidak termasuk
kekayaan (Qardhawi, 1997: 123-124).
Menurut mazhab Syafi’i,
Maliki, dan Hanbali, manfaat-manfaat itu termasuk kekayaan. Menurut mereka yang
penting bukanlah dapat dipunyai sendiri tetapi dipunyai dengan menguasai sumbernya,
karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tidak membatasi orang
lain untuk menggunakan mobil tersebut. Pendapat ini dipegang oleh para ahli
hukum positif. Bagi mereka, manfaat-manfaat itu adalah kekayaan. Demikian juga
halnya dengan hak-hak, seperti hak pengarang, hak paten, dan sebagainya. Oleh
karena itu, kekayaan menurut mereka lebih luas daripada kekayaan menurut
ahli-ahli fiqh.
Seharusnya obyek zakat juga
mencakup kekayaan dalam bentuk manfaat sebagaimana yang dipahami oleh para ahli
hukum positif. Karena terkadang kekayaan dalam bentuk ini justru sangat besar
dan cara memperolehnya juga lebih mudah seperti hak cipta dan hak paten yang
pendapatannya terus mengalir.
Sesuai dengan konteks
perekonomian masyarakat pada masa Nabi Muhammad s.a.w., jenis harta yang
dikenakan zakat meliputi: hasil pertanian dan perkebunan; hasil peternakan;
harta niaga; uang; hasil tambang dan; harta temuan atau lebih dikenal dengan
rikÄz. Jenis harta ini kemudian dirinci lagi untuk menentukan jenis masing-masing
yang dapat dikenakan zakat.
Untuk konteks kehidupan
perekonomian sekarang yang lebih banyak bertumpu pada sektor industri dan jasa
ketimbang pada olah pertanian dan peternakan yang tradisional, banyak jenis
kekayaan dan rinciannya yang sangat menonjol dan bahkan menjadi alat
kesombongan kelas, akan tetapi dalam aturan fiqh belum banyak disinggung.
Misalnya dalam hal jenis kekayaan sebagai ketentuan sekunder, tidak terdapat
kendaraan dan rumah mewah. Dalam rinciannya, kategori harta perniagaan masih terbatas
pada jual beli barang, belum mencakup jual beli jasa keahlian atau profesi.
Kategori ternak belum memasukkan misalnya ternak unggas dan ikan air tawar.
Alat pembayaran (mata uang) pun masih terbatas pada uang emas dan perak.
Demikian pula dalam kategori barang tambang (ma’adin) belum memasukkan minyak
bumi, timah, permata, dan sebagainya. Persoalannya sederhana, karena jenis dan
atau rincian kekayaan-kekayaan itu pada masyarakat Nabi Muhammad Saw 14 abad
yang lalu belum berkembang atau bahkan belum ada dalam kenyataan.
Tidak dicantumkannya
jenis-jenis kekayaan seperti pada masa sekarang bukan berarti bahwa jenis
kekayaan itu tidak terkena zakat karena tidak ada referensinya dalam
hadis-hadis Nabi Muhammad Saw Apa yang telah dibakukan oleh para fuqaha pada
masa lalu meskipun merupakan bahan masukan yang berharga seharusnya tidak
menutup pintu ijtihad dalam menentukan jenis kekayaan yang wajib dikenakan
zakat (Ali, 1988: 54).
Alasan-alasan yang dikemukakan
oleh orang-orang yang membatasi obyek zakat antara lain adalah (Qardhawi, 1997:
435):
·
Rasulullah s.a.w. telah menentukan
jenis-jenis kekayaan yang wajib dizakatkan, tetapi tidak memasukkan ke dalamnya
harta benda yang dapat dieksploitasi atau disewakan seperti gedung, binatang,
alat-alat dan lain-lain. Pada prinsipnya manusia bebas dari beban dan prinsip
itu tidak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada nash yang benar dari Allah dan
Rasul-Nya.
·
Hal itu didukung oleh kenyataan
bahwa para ulama fiqh dalam berbagai masa dan asal tidak pernah mengatakan
bahwa hal itu wajib zakat.
·
Bahkan mereka mengatakan bahwa
jenis kekayaan tersebut tidak ada zakatnya.
Alasan yang dikemukakan ini
tidak tepat karena Allah telah menegaskan bahwa dalam kekayaan apa pun terdapat
kewajiban tertentu yang bernama zakat atau shadaqah. Alasan wajib zakat atas
suatu kekayaan adalah logis, yaitu bertumbuh, sesuai dengan pendapat
ulama-ulama fiqh yang melakukan pengkajian dan penganalogian atas hukum. Di
samping itu, maksud syariat zakat adalah pembersihan dan penyucian pemilikan
kekayaan, penyantunan terhadap fakir miskin, dan keikutsertaan membela
kepentingan umum. Oleh karena itu, sudah sepantasnya zakat dipungut dari
berbagai jenis kekayaan dan tidak terbatas pada apa yang telah dicanangkan oleh
Rasulullah s.a.w. empat belas abad silam (Ash Shiddieqy, 1999: 71-72).
Dengan pemahaman seperti,
zakat dapat dipungut dari berbagai bentuk kekayaan yang diperoleh dari berbagai
jenis usaha yang berkembang pada zaman modern sekarang ini seperti, zakat
investasi pabrik, gedung, zakat profesi, dan zakat saham dan obligasi. Dengan
demikian, obyek zakat dapat mencakup semua jenis kekayaan baik yang dipunyai
perorangan (person) atau badan hukum (recht person).
Pengaruh Terhadap Tarif
Zakat
Tarif zakat merupakan
ketentuan zakat yang tidak diotak-atik oleh para fuqaha. Berbeda dengan subyek
dan obyek zakat yang mengalami perkembangan dalam perinciannya sesuai dengan
perkembangan ekonomi, tarif zakat dianggap sebagai ketentuan yang bersifat
tetap dan berlaku sepanjang masa (Faridi, 1980: 123; Ahmed, 1947: 122). Menurut
para fuqaha, ketentuan tentang tarif zakat yang telah ditentukan oleh
Rasulullah s.a.w. 14 abad silam tidak dapat diperbarui sesuai dengan
perkembangan ekonomi karena akan menyebabkan pergeseran esensi zakat (Zaman,
1991: 63).
Menyangkut besar kecilnya
tarif atau kadar zakat secara absolut yang harus dibayar oleh masyarakat,
Rasulullah s.a.w. menetapkan bahwa hal itu ditentukan oleh berat ringannya
tantangan keadilan dan kesejahteraan yang dihadapi. Nabi s.a.w. menetapkan
tarif zakat antara 2,5% dan 10%. Ada satu jenis kekayaan yang dikenakan tarif
tinggi karena untuk memperolehnya tidak diperlukan usaha dan kerja keras yaitu
harta karun (rikaz) yang dikenakan 20% atau seperlima (khums). Hal ini berarti
bahwa apabila tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada
masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini,
tarif yang ditentukan Nabi Muhammad Saw tersebut tidak ada halangan untuk
diperbesar. Kalau perlu sistem tarif pajak progresif bisa diterapkan (Rais,
1987: 58-62).
Menurut Masdar Farid Mas’udi,
ketentuan Rasulullah s.a.w. tentang tarif zakat bisa begitu rendah sebabnya
lantaran tuntutan kemaslahatan umum yang harus ditanggung dengan dana zakat
relatif masih sederhana, jauh dari tingkat kebutuhan masyarakat zaman sekarang.
Waktu itu, di samping kebutuhan ekonomi masyarakat masih bersifat subsistem
(sandang, pangan, dan papan dalam ukuran seadanya), belum ada kebutuhan untuk
membangun, misalnya, jalan beraspal, jalan bebas hambatan, apalagi sistem komunikasi
satelit yang mahal biaya pengadaan dan operasionalnya (Mas’udi, 1991: 139-140).
Satu-satunya pengeluaran
negara terbesar pada masa Rasulullah s.a.w. adalah untuk pembiayaan perang dan
pertahanan dari serangan musuh. Meskipun demikian, adanya perasaan yang sama
terhadap adanya ancaman dari luar menimbulkan musuh bersama (common enemy) dan
pada gilirannya menimbulkan rasa solidaritas untuk melakukan mobilisasi
kekuatan dan dana untuk perang. Dengan demikian, tanpa perlu mewajibkan zakat
masyarakat telah terpanggil untuk menyumbangkan sebagian hartanya untuk
keperluan perang.
Kesenjangan antara yang orang
kaya dan miskin pada masa Rasulullah s.a.w. juga belum begitu terasa karena
masyarakatnya hidup dalam budaya agraris. Dalam masyarakat agraris tradisional,
kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan yang cenderung dirasakan bersama.
Artinya tidak ada kelebihan yang mencolok antara yang kaya dengan yang miskin.
Oleh sebab itu, dapat dimengerti apabila zakat yang ditetapkan oleh Rasulullah
s.a.w. masih dalam batas-batas yang sederhana. Konteks sosial ekonomi
masyarakat Madinah memang belum memerlukan sistem tarif zakat yang progresif
seperti dijumpai pada sebagian masyarakat negara industrialis pada masa
sekarang.
Begitu pula halnya dengan
tarif hasil pertanian yang harus dipahami berdasarkan latar belakang
sosio-ekonomi penetapan tarif tersebut. Sebagaimana diketahui, tarif hasil
pertanian berkisar antara 5% dan 10%, sementara harta perniagaan hanya sebesar
2,5%. Hal ini dilatarbelakangi oleh sumber mata pencaharian masyarakat Madinah
ketika khitab zakat itu dicanangkan oleh Rasulullah Saw (kira-kira tahun ke-8
dan 9 hijrah) bertumpu pada sektor pertanian. Berbeda halnya dengan masyarakat
Makkah yang bertumpu pada sektor perdagangan. Persoalan ketidakadilan sosial di
Madinah pun berbeda dengan di Makkah. Di Madinah kesenjangan sosial terletak
antara para pemilik tanah pertanian dan kelas buruh tani yang tidak mempunyai
lahan pertanian. Sedangkan di Makkah, kesenjangan terjadi antara para pemilik
modal (kapitalis-borjuis) dan kaum buruh (proletar). Oleh sebab itu, dapat
dimengerti mengapa Rasulullah s.a.w. mengenakan tarif zakat hasil pertanian
yang lebih tinggi (5% – 10 %) daripada tarif zakat harta perniagaan (2,5%).
Bisa jadi, tarif yang berlaku adalah sebaliknya kalau saja Rasulullah Saw
menetapkan ketentuan tarif tersebut di Makkah yang merupakan kota perdagangan,
bukannya di Madinah yang agraris.
Pengaruh Terhadap
Pendistribusian Zakat
Sasaran distribusi zakat
disebutkan dalam Al-Qur`an surat al-Tawbah:60. Dalam ayat tersebut ada 8
kelompok sasaran pendistribusian zakat yaitu fakir, miskin, amil, mu’allaf,
membebaskan budak ,orang yang berutang, ), musafir dan Ibnu sabil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia adalah makhluk paling
sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT . Kesempurnaan yang dimiliki
manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di
muka bumi ini. Al Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah . Jadi
hakikat manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Aktivitas Ekonomi dan bisnis islam
berbeda dari aktivitas aktivitas ekonomi lainnya. Dasar Falsafah dalam aktivitas
ekonomi islam ditentukan oleh Allah, sedangkan ekonomi ekonomi lain didasarkan
kepada beberapa edeologi atau falsafah ciptaan manusia(sekuler). Falsafah dari
aktivitas Ekonomi dalam islam bertujuan sebagai jalan beribadah kepada Allah
dan upaya untuk memakmurkan masyarakat
Jadi ,Sistem etika bisnis islam
berbeda dengan sistem etika sekuler, Melalui perkembangan peradapan , sistem
sekuler mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis. Karena
konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri di atas nilai nilai temuan
manusia.
Sudah jelas urgensi usaha halal dan
harta halal bagi setiap muslim apalagi dizaman seperti ini, karena besarnya
pengaruh usaha haram dalam tertahan dan terhalangnya kebaikan dan keberkahan
harta. Ketika di zaman ini menyebar dengan sangat cepat usaha-usaha haram.
Banyak yang sudah tidak perduli lagi tentang harta yang dimilikinya darimana
didapatkan dan bagaimana mendapatkannya
DAFTAR PUSTAKA
Iwan Triyuwono,Akuntansi
syariah perpektif ,metodologi,dan teori,Ed. 2(Jakarta,Rajawali pers :2012)
Hukum entropis adalah hokum fisika
yangmenyatakan bahwa setiap materi karena terikat dengan ruang dan waktu akan
mengalami self destruction.
Faisal
badroen, Etika bisnis dalam islam ,
(Kencana Jakarta : 2006),
Yusuf Qardhawi ,
Dawr Al Qiyam wal Akhlak fi Al iqtisad al
islami ( kairo- mesir : maktabah wahbah, 1995
Umer chapra,
Islam dan tantangan ekonomi,( GEMA INSANI Jakarta : 2000)
Muhammada
Djakfar, Etika bisnis islami tataran
teoritis dan praksis, (UIN MALANG PRESS Malang : 2008 )
Faisal
badroen, Etika bisnis dalam islam ,
(Kencana Jakarta : 2006)
AL-Khathib,
op.cit. hal 150
فضل م ل خ لي عن العو ض فى م ل بم زل
Dr,Mustaq
Ahmad Etika Bisnis Dalam Islam(Pustaka Al-Kautsar)