Saturday, 12 December 2015

Makalah Akuntansi Syariah: Nilai Nilai Islam Dalam Bisnis



NILAI NILAI ISLAM DALAM BISNIS

Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah
Akuntansi Syariah
Dosen Pembimbing :
Surna Lastri, S,E., M.SI
.

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Teuku Dicky Zoelfatan
Ikhsanul Huda
Khairul Ikhsan

 

FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH-DARUSSALAM

2015 






KATA PENGANTAR


            Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai Bahasa dan Perkembangan Bahasa Indonesia

            Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 

            Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. 

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.



Banda Aceh, 18 November 2015      


Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Islam merupakan sebuah pandangan hidup yang menyeluruh, dan petunjuknya mencakup seluruh sektor kehidupan. Agama ini telah memberikan prinsip-prinsip yang rinci untuk membimbing dan mengontrol berbagai aspek ekonomi dalam masyarakat. Setiap Muslim menyadari bahwa kekayaan, pendapatan, dan materi adalah milik Tuhan, sedangkan mereka hanyalah wakil-Nya (di muka bumi). Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil, yang mana setiap orang memiliki tanggung jawab dan kejujuran.

Melihat  realistis di negeri kita , dunia usaha tanah air masih memandang etika bisnis sebagi sesuatu yang asing, yang sulit ditempatkan ke dalam dunia bisnis sehari hari. Maraknya penggunaan zat tambahan adiktif, baik untuk penyedap, pengawet, pewarna , dan lain sebagainya adalah merupakan salah satu contoh kecil yang ikut memperkuat tesis itu. Belum lagi kasus kasus besar yang menyangkut masalah perusakan lingkungan hidup, kejahatan perbankan, pembakaran hutan dan lain lainya, semakin meyakini betapa penting peran etika bisnis dala islam dalam mengantisipasi penyimpangan yang banyak merugikan bangsa itu

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sebenarnya hakikat kehidupan manusia itu ?
2.      Apa maksud hakikat manusia sebagai khalifah di muka bumi
3.      Apakah aktivitas Ekonomi dan Bisnis itu merupakan suatu ibadah kepada Allah dan jalan upaya untuk memakmurkan masyarakat ?
4.      Bagaimanakah Akhlak / Etika  Islam dalam Bisnis ?
5.      Bagaimanakah Syariat Islam mengatur tentang Bisnis
·         Halal & Tayyiba
·         Riba
·         Instrumen Zakat

C.    Tujuan Pembahasan
Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa di dalam aktivitas ekonomi dan bisnis juga terdapat Aturan/akhlak/Etika yang diatur oleh Islam .


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Hidup
Menurut bahasa, hakikat berarti kebenaran atau sesuatu yang sebenar benarnya atau asal segala sesuatu . Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu.

Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT . Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Al Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah . Jadi hakikat manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai  makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.

Hidup dalam pandangan Islam adalah kebermaknaan dalam kualitas secara berkesinambungan dari kehidupan dunia sampai akhirat, hidup yang penuh arti dan manfaat bagi lingkungan. Hidup seseorang dalam Islam diukur dengan seberapa besar ia melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai manusia hidup yang telah diatur oleh Dienull Islam. Ada dan tiadanya seseorang dalam Islam ditakar dengan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh umat dengan kehadiran dirinya. Sebab Rasul pernah bersabda "Sebaik-baiknya manusia di antara kalian adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. (Alhadis). Oleh karena itu, tiada dipandang berarti (dipandang hidup) ketika seseorang melupakan dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah diatur Islam.

Jadi Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat.

B.     Hakikat Manusia sebagai khalifah di bumi

            Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.

            Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:

            Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)

            Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah. Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat. Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.

            Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”

            Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan. Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:

Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”


            Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah 
tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.



Konsekuesnsi dari internalisasi persepektif khalifatul fi Ardh 



            Uraiain tersebut di atas secara impilisit mengisyaratkan bahwa diri dalam setiap tindakannya (tindakan dalam upaya menunaikan amanat menyerbarkan rahmat), selalu mempetimbangkan etika yaitu nilia yang dijadikan dasar untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk , dan yang adil dari yang zolim, sebelum melakukan suatu tindakan. Pandangan ini memberikan pengertian yang transparan kepada kita bahwa diri memiliki kesadaran yang tinggi untuk selalu bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan. Kesadaran ini timbul terutama karena diri mengetahui bahwa dia kelak akan kembali kepada Pemberi amanat dan mempertanggungjawabkan semua tindakan yang telah dia perbuat .


            Kemampuan diri untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk, dan yang adil dari yang zalim, bertnaggungjawab kepada kepekaan dua potensi fitrah yang dimilikinya, yaitu akal dan hati nurani. Akal merupakan instrument untuk berpikir sedangkan hati nurani adalah lentera yang menerangi cara berpikir yang dilakukan akal dengan nuur ilahi dan tali pengikat yang mengikatkan manusia akan asal kejadian dan tempat manusia kembali. Kedua potensi ini selalu berinteraksi secara dialektik menuju kepada tingkat pemikiran dan pencapain ilmu pengetahuan yang lebih sempurna, yaitu dalam rangka memahami kehendak Allah .


            Konsekuensi logis dari interaksi dialektik antara akal dan hati nurani ini adalah munculnya suatu pola pemikiran “ inklusivisme kritis” yaitu suatu pola pemikiran yang bebas dan terbuka namun tetap kritis berpijak pada hati nurani yang suci . Pola pemikiran ini merupakan cirri utama dari para ulama atau para pemikir islam zaman klasik, yaitu mereka yang telah membawa ilmu pengetahun dan peradapan umat islam kepada tingkat yang lebih tinggi . bahkan ilmu pengetahuan modern yang kita kenal sekarang ini merupakan kelanjutan dari ilmu pngethuan yang telah dibangun oleh ilmuwan muslim ( Majdid,1992)


            Beberapa ayat Al Quran, sabda nabi, dan perkataan Ali bin Abi thalib telah mengisyaratkan perlunya semangat berpikir bebas, terbuka , kritis seperti dibawah ini: 


            Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari berupa air, lalu dengar air itu Dia hidupkan bumi sesduah mati dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda tanda ( keesaan dan kebesaran Allah ) bagi kaum yang memikirkan ( Q.S AL Baqarah :164.

Sabda sabda nabi Muhammad SAW :


“ Pungutlah olehmu hikmah ,dan tidak akan membahayakan bagi kamu dari bejana apa pun hikmah itu ke luar .

Perkataan Ali bin Abi Thalib,

“Perhatikan apa yang dikatakan orang, jangan perhatika siapa yang mengatakan.

            Inklusivisme kritis” merupakan syarat penting bagi diri untuk mengemban amanat yang dipikulnya, karena tanpa inklusivisme kritis ini mustahil diri memperoleh ilmu pengetahuan dan mengetahui sunnatullah yang terhampar luas di alam semesta ini , apalagi untuk menyuruh individu individu yang lain untuk berbuat ma’ruf dan mencegah yang mungkar . 

            Inklusivisme kritis sangat membantu dalam memperkaya penbendaharaan ilmu pengetahuan , karena sifat inklusif sangat terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan tanpa secara prinsip harus memperhatikan asal usulnya.

            Inklusivisme kritis sebenarnya bukan merupakan konsep yang sama sekali baru, melainkan konsep lama. Bahkan konsep ini telah dipakai oleh pemikir islam pada era islam klasik. Para pemikir islam klasik mempelajari dan mengambil filsafat yunani sebagai miliknya serta mengislamkannya denga cara menghapuskan unsure unsure mitologis yang tidak sesuai dengan ajaran pokok islam, yaitu Tauhid. 

            Dengan perbekalan ilmu pengetahuan yang sangat mamadai, diri akan mampu secara kritis melihat, berinteraksi , dan menyatu dengan dunianya . Secara kritis, diri akan melihat bahwa tidakan etnis tidak semata mata diukur apakah tindakan tersebut bermanfaat atau tidak, dapat memaksimalkan kebahagiaan atau tidak, sebagaimana yang dianut oleh paham utilitarisme dari teori konsekuensialisme yang berkembang dari pemikiran Jeremy Bentham.[1]

A. Tugas dan Peranan Manusia Dimuka Bumi            Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).



1. Memakmurkan Bumi            Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
2. Memelihara Bumi            Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.            Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam).            Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW untuk memelihara bumi dari kerusakan?, karena sesungguhnya manusia lebih banyak yang membangkang dibanding yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia akan cenderung untuk berbuat kerusakan, hal ini sudah terjadi pada masa nabi – nabi sebelum nabi Muhammad SAW dimana umat para nabi tersebut lebih senang berbuat kerusakan dari pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum bani Israil, seperti yang Allah sebutkan dalam firmannya dalam surat Al Isra ayat 4 yang berbunyi :            Artinya : dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar“. (QS Al Isra : 4)            Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap Alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti firmannya dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi:            Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. 
(QS AL Qashash : 7)            Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda, apalagi manusia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, salah satunya manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk penciptaan, namun kemuliaan manusia bukan terletak pada penciptaannya yang baik, tetapi tergantung pada; apakah dia bisa menjalankan tugas dan peran yang telah digariskan Allah atau tidak, bila tidak, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka dengan segala kesengsaraannya.            Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya."             Paling kurang ada tiga tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia dan sebagai seorang muslim, kita bukan hanya harus mengetahuinya, tetapi menjalankannya dalam kehidupan ini agar kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan.            Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok, bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yang dilakukan oleh manusia dan sebagai apa pun dia, seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang artinya,            "Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku." (51: 56).            Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah SWT, paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi.             Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya, tanpa keikhlasan, amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat untuk dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk mengamalkannya.            Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan segala cara, sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan.            Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah SWT.            Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah SWT harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, manusia diperankan oleh Allah SWT sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah SWT berfirman yang artinya,             "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Q.S Al Baqarah: 30).            Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang sangat mendasar untuk bisa diterapkan. Tanpa kebenaran dan keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan, tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan, karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya.            Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan." (Shad: 26).            Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapa pun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah SWT kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya,            "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (4: 58)[2]

B. Aktivitas Ekonomi dan bisnis sebagai ibadah kepada Allah dan upaya memakmurkan masyarakat
            Aktivitas Ekonomi dan bisnis islam berbeda dari aktivitas aktivitas ekonomi lainnya. Dasar Falsafah dalam aktivitas ekonomi islam ditentukan oleh Allah, sedangkan ekonomi ekonomi lain didasarkan kepada beberapa edeologi atau falsafah ciptaan manusia. Falsafah dari aktivitas Ekonomi dalam islam bertujuan sebagai jalan beribadah kepada Allah dan upaya untuk memakmurkan masyarakat. Aktivitas ekonomi dan bisnis dalam islam bukan dengan semena menanya disalah jalankan, sebab seluruh alam semesta ini Mutlak adalah milik hak Allah SWT.

Segala yang ada di dalam ini , termasuk manusia itu sendiri adalah milik Allah secara mutla. Hal ini jelas dinyatakan di dalam Al Quran,

“ Kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di langit dan di bumi ( Q.S Al Baqarah : 284)

“Kepuanyaan Allahlah segala apa yang ada di langit dan di bumi , dana apa yanag ada diantara keduanya ( Q.S Al Maidah : 17 )

Kepunyaan Allah semua yang di langit , semua yang di bumi, semua yang diantara keduanya, dan semua yang di bawah tanah ( Thaha : 6 )

Pernyataan pernyataan dari Al quran ini melibatkan konsep Tauhid karena manusia patut mengimani bahwa Allah itu Esa dan segala yang lain adalah makhluk dan merupakan milikNya . Manusia hanya diberikan peranan sebagai pemegang amanah dalam mengurus harta Allah yang berada di tangan mereka. Inilah yang dimaksud dalam Al Quran bahwa manusia itu adalah khalifah Allah di muka bumi dan konsep pemberian amanah oleh Allah kepada manusia itu dinamakan khilfah ( vicegerency)  ( M. Umer Chapra 1991 : 202 ) . Allah berfirman :

“Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagina yang lain beberapa derajat karena Ia hendak menguji kamu tentang apa yang diberikanNya ( Q.S Al An’an : 165 )
  
C.   Akhlak / Etika Islam dalam bisnis
Sistem etika bisnis islam berbeda dengan sistem etika sekuler, Melalui perkembangan peradapan , sistem sekuler mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis[3]. Karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri di atas nilai nilai temuan manusia. Seperti halnya epicurianism atau kebahagian hanya untuk kebahagiaan itu sendiri.. Sistem etika tersebut mengusulkan sebuah system perceraian antara etika dan agama .

Sedangkan kode moralitas yang diadopsi agama selain islam lebih sering menekankan kepada pengkaburan eksistensi kehidupan manusia di muka bumi . Seperti halnya delam agam Kristen misalnya, terlalu berlebihan dalam menekankan kepada monasticism( biarawan ) yang menganjurkan kepada para pengikutnya untuk menarik diri dari segala hiruk pikuk dan kesibukan hidup keduniaan .

Lain halnya dengan sistem islam, nilai moralitas etika islam menanamkan anjuran akan hubungan manusia dengan tuhannya . Karena Allah SWT. Maha Sempurna lagi Maha Mengetahui , kode etika seorang muslim sudah melampui setiap batasan waktu ataupun perilaku bias dari kemanusiaan . Sistem etika islam bisa ditekankan kapan saja , tidak terikat dengan satu masa tertentu , karena Allah sebagai sang pencipta dan para pencatatnya sangat  dekat dengan manusia sabagai hamba, dengan kedekatan yang tidak lebih jauh antara tenggorakan dan urat jakun .

Bagi seorang muslim, kemampuan paradigma konvensional akan arti manusia sebagai homo economicus tidak seoenuhnya sesuai dengan nilai nilai etika islam. Oleh sebab itu, morality concept dalam persepektif islam diusung pada saat pencerahan aksioma aksioma yang sudah terlanjur kondang. Alhasil, Apresiasi manusia umum akan materi pelan pelan harus digeser malalui arahan  rambu imperarif syariah . Pergeseran nilai ini diharapkan dapat membantu bentukan system aplikasi manual dari mekanisme produk ekonomi syaraiah , karena muatan tercerah dan persepektif ini adalah adanya dimesnsi moral berbasis wahyu[4]


Urgensi Etika Bisnis : Islam dan Kontemporer
Bagaimanapun perilaku mencerminkan akhlak seseorang. Atau dengan kata lain, perilaku berelasi dengan etika. Apabila seseorang taat pada etika, berkecenderung akan menhasulkan perilaku yang baik dalam setiap aktivitas atau tindakannya, tanpa kecuali dalam aktivitas bisnis.

Secara konkret bisa diilustrasikan jika seorang pelaku bisnis yang peduli pada etika, bisa diprediksi ia akan bersikap jujur, amanah , adil , selalu melihat kepentingan orang lain dan sebagainya . Sebaliknya bagi mereka yang tidak mmepunyai kesadaran akan etika , dimanapun dan kapanpun saja tipe kelompok orang kedua ini akan menampakkan sikap kontra produktif dengan sikap tipe kelompok orang pertama dalam mengendalikan bisnis

Menurut Yusuf Qardhawi, antara ekonomi ( bisnis ) dan akhlak tidak pernah terpisah sama sekali, seperti halnya ilmu dan akhlak , antara politik dan akhlak , dan antara perang dan akhlak . Akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan islami. Karena risalah islam adalah risalah akhlak. Sebagaimana pula tidak pernah terpisah antara agama dan Negara , dan antar materi dan  rohani. Seorang muslim yakin akan kesatuan hidup dan kesatuan manusia. Sebab itu tidak bisa diterima sama sekali tindakan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama sebagimana yang terjaidi di eropa[5].

Seorang pengusaha dalam pandangan etika islam bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga mencari keberkahan yaitu kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai oleh Allah . ini berarti yang harus diraih oleh seorang pedagang dalam melakukan bisnis tidak terbatas keuntungan materiil ( duniawi ), tetapi yang penting lagi adalah keuntungan immaterial ( spiritual ) . kebendaan yang profan baru bermakna apabila diimbangi dengan kepentingan spiritual yang transensden ( ukhrawi ) .

Akan tetapi, perlu disadari bagaimanapun dalam dunia usaha mau tidak mau akan muncul masalah masalah etis da masalah masalah etis itu sudah barang tentu harus dicarikan jalan keluarnya.

Terlebih lagi secara realitis, dunia usaha tanah air masih memandang etika bisnis sebagi sesuatu yang asing, yang sulit ditempatkan ke dalam dunia bisnis sehari hari. Maraknya penggunaan zat tambahan adiktif, baik untuk penyedap, pengawet, pewarna , dan lain sebagainya adalah merupakan salah satu contoh kecil yang ikut memperkuat tesis itu. Belum lagi kasus kasu besar yang menyangkut masalah perusakan lingkungan hidup, kejahatan perbankan, pembakaran hutan dan lain lainya, semakin meyakini betapa penting peran etika bisnis dalam mengantisipasi penyimpangan yang banyak merugikan bangsa itu.

Maka yang diperhatikan dalam aktivitas ekonomi  adalah tujuan tujuan syariat yang mengandung semua yang harus ditunaikan amanah itu. Allah sendiri menjelaskan bahwa:
agar manusia  merealisasikan Falah dan hayatan tayyibah dalam batas batas syariat. Imam Al Ghazali,seperti dalam sebuah kutipan yaitu memasukkan semua perkara yang dianggap penting untuk melindungi dan memperkaya keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta dalam maqashid[6] .

Dalam islam, tuntutan bekerja adalah merupakan sebuah keniscayaan bagis setiap muslim agar kebutuhan hidupnya sehari hari bisa terpenuhi . Salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan itu antara lain melalui aktivitas bisnis sebagaimana telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW sejak beliau masih usia muda. Hanya saja beliau dalam berbisnis benar benar menerapkan standar moral yang digariskan dalam Al Quran.

Oleh karena itu , sebagai pelaku bisnis terutama sebagai muslim , ia harus menyibukkan diri dengan masalah masalah etis . Dengan kata lain, profesionalitas dalam bisnis dituntut juga adanya kompetensi yang memadai dalam memecahkan tantangan  etika bisnis yang sekarang ditengarai mulai longgar. Kemampuan untuk menentukan sikap sikap etis yang tepat, termasuk kompertensi sebagai usahawan atau manager . Begitu pula sebuah perusahaan hanya akan berhasil dalam waktu panjang apabila berpegang pada standar standar etis yang berlaku. Inilah profil perusahaan yang disebut good business yang berpijak pada reliable ethics.

Sebagai agama Rahmatal lil Alamin yang bersumber pokok dari ajaran wahyu,sudah barang tentu menjadikan etika sebagai urat nadi dalam segala aspek kehidupan seorang muslim. Terlebih lagi islam mengajarkan ketinggian nilai etika tidak saja secara teoritis yang bersifat abstrak, namun juga yang bersifat aplikatif . tidakkah kita sadari bahwa salah satu misi pokok kerasulan Muhammad SAW adalah untuk meynyempurnakan akhlak manusia. Dengan begitu bagaimana oraktik rasulullah SAW yang ditunjukkan kepada kita, pada hakikatnya tidak lepas dari rekayasa Allah SWT yang mengajrkan kepada manusia tentang etika dalam pengertian praksis itu. Justru karena itu tesis Yusuf Qardhawi yang menyatakan bahwa seluruh ranah kehidupan muslim tidak lepas dari ajaran akhlak, termasuk dalam aktivitas ekonomi ( bisnis ) , tak perlu diragukan lagi keabsahannya dan benar adanya [7]

Dari uraian di atas dapat diapahami bahwa arti penting etika bisnis disebabkan karena tidak bisa lepasnya aktivitas bisnis dari nilai nilai dan norma norma akhlak, Sebagaimana yang telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW. Aplikasi etika dalam bisnis merupakan sebuah kewajiban syariat yang akan mendapat pahala bagi siapapun yang mengamalkannya, di samping akan mendapatkan harta yang halal dan barakah .

D.   Syariat Islam mengatur tentang bisnis

a)    Halal & Tayyiba
Sudah jelas urgensi usaha halal dan harta halal bagi setiap muslim apalagi dizaman seperti ini, karena besarnya pengaruh usaha haram dalam tertahan dan terhalangnya kebaikan dan keberkahan harta.

Ketika di zaman ini menyebar dengan sangat cepat usaha-usaha haram. Banyak yang sudah tidak perduli lagi tentang harta yang dimilikinya darimana didapatkan dan bagaimana mendapatkannya. Realita yang sangat persis seperti dijelaskan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau dalam shahih al-Bukhori dari hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘Anhu yang berbunyi:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?! HR. al-Bukhâri 2059

Disamping itu ketidak tahuan kaum muslimin terhadap harta haram dan usaha haram membuat keadaan semakin parah. Pada saat demikian sangat diperlukan sekali penjelasan mengenai hakekat usaha dan harta yang haram.
Ø  Halal
Halal berasal dari bahasa Arab yaitu halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Dalam kamus fiqih, kata halal dipahami sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Istilah ini, umumnya berhubungan dengan masalah makanan dan minuman Lawan dari kata halal adalah haram. Haram berasal dari bahasa Arab yang bermakna, suatu perkara yang dilarang oleh syara (agama). Mengerjakan perbuatan yang haram berarti berdosa dan mendapat pahala bila ditinggalkan. Misalnya, memakan bangkai binatang, darah, minum khamr, memakan barang yang bukan miliknya atau hasil mencuri. Dari segi bahasa, pengertian halal ialah perkara atau perbuatan yang dibolehkan, diharuskan, diizinkan atau dibenarkan syari’at Islam. Sedangkan haram ialah perkara atau perbuatan yang diharuskan atau tidak diperbolehkan oleh syari’at Islam. Dalam Islam, istilah halal biasa digunakan terhadap sesuatu tindakan, percakapan, perbuatan, dan tingkah laku yang boleh dilakukan oleh Islam tanpa dikenakan dosa. Adapun haram adalah suatu perkara atau perbuatan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam agar tidak dilakukan oleh orang-orang Islam yang mukallaf, dan pelanggaran terhadap perkara tersebut adalah dikenakan dosa.

Dalam aspek makanan, minuman, obat, kosmetika, dan barang gunaan halal ialah makanan atau barang gunaan yang harus atau tidak dilarang untuk dimakan atau digunakan oleh orang-orang Islam. Sedangkan yang haram ialah makanan atau barang yang tidak diharuskan atau diizinkan untuk dimakan atau digunakan oleh orang-orang Islam.

Halal adalah sesuatu yang dibolehkan menurut ajaran Islam dan haram adalah sesuatu yang dilarang menurut Islam.
1.   Makanan Yang Dihalalkan Allah SWT
Segala jenis makanan apa saja yang ada di dunia halal untuk dimakan kecuali ada  larangan  dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk dimakan. Agama Islam  menganjurkan kepada pemeluknya untuk memakan makanan yang halal dan baik.  Makanan “halal” maksudnya makanan yang diperoleh dari usaha yang diridhai Allah.  Sedangkan makanan yang baik adalah yang bermanfaat bagi tubuh, atau makanan bergizi.
Makanan yang enak dan lezat belum tentu baik untuk tubuh, dan boleh jadi makanan  tersebut berbahaya bagi kesehatan. Selanjutnya makanan yang tidak halal bisa mengganggu  kesehatan rohani. Daging yang tumbuh dari makanan haram, akan dibakar di hari kiamat  dengan api neraka.

a.       Makanan halal dari segi jenis ada tiga :
1.      Berupa hewan yang ada di darat maupun  di laut, seperti kelinci, ayam, kambing, sapi, burung, ikan.
2.      Berupa nabati (tumbuhan)  seperti padi, buah-buahan, sayur-sayuran dan lain-lain.
3.      Berupa hasil bumi yang lain  seperti garam semua.

b.      Makanan yang halal dari usaha yang diperolehnya, yaitu :
1.      Halal makanan dari hasil bekerja yang diperoleh dari usaha yang lain seperti bekerja sebagai buruh, petani, pegawai, tukang, sopir, dll.
2.      Halal makanan dari mengemis yang diberikan secara ikhlas, namun pekerjaan itu halal , tetapi dibenci Allah seperti pengamen.
3.      Halal makanan dari hasil sedekah, zakat, infak, hadiah, tasyakuran, walimah, warisan, wasiat, dll.
4.      Halal makanan dari rampasan perang yaitu makanan yang didapat dalam peperangan (ghoniyah).

Ø  Thayyib
Thayyib berasal dari bahasa Arab thaba yang artinya baik, lezat,menyenangkan, enak dan nikmat atau berarti pula bersih atau suci. Oleh sebab itu,  kata  thayyib  mempunyai  bermacam  arti  yaitu  baik,  enak, lezat,nikma, bersih atau suci.

Menurut M. Quraish Shihab, kata tayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, aman. Jadi yang dimaksud makanan halalan thayyiban menurut penjelasan al-Quran   merupakan segala yang baik dan wajar dimakan, yang baik untuk jiwa tidak membahayakan badan dan akal manusia, mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh manusia serta dimakan dalam takaran yang cukup dan seimbang.

b)     Riba

Riba secara literal berarti peningkatan dan penambahan. Al-qur’an juga mempergunakan istilah ini untuk menyatakan peningkatan/tambahan yang signifikan. Secara teknikal riba berarti penambahan jumlah hutang dalam waktu yang ditentukan karena masa  pinjaman dipanjangkan waktunya,atau orang yang meminjam tidak mampu membayar pada waktu yang telah ditentukan.[8]

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :.padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia),  bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.

Ø  Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
·         Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
·         Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
·         Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
·         Riba Nasi’ah
·         Tambahan jumlah uang yang didapat dari pemberian pinjaman, biasanya didasarkan pada batasan waktu tertentu[9]

c)      Instrumen Zakat

Dalam Islam, altruisme merupakan salah satu alasan bagi perilaku kedermawanan. Dalam surat Al-Hasyar (59) ayat 9 Allah memuji perilaku kaum Anshar yang lebih menyantuni kaum Muhajirin meskipun kesulitan yang mereka hadapi tidak jauh berbeda.
Dalam perilaku filantropinya (giving behavior), seorang Muslim mempunyai pilihan dalam mencapai kepuasaannya (utility function). Kalau ia sudah merasa puas dengan berderma kepada seorang peminta-minta, menyumbang korban bencana alam, memberi santunan bulanan kepada beberapa anak yatim, atau bentuk-bentuk charity lainnya, maka berarti kurva kepuasaannya sudah mencapai titik maksimum dengan berinfak secara pribadi dan langsung (direct giving) tersebut.
Namun, apabila ia tidak cukup puas dengan pola berderma seperti itu karena melihat kesejahteraan kelompok masyarakat miskin yang tidak meningkat, maka mungkin saja pola pengumpulan dan penyaluran zakat perlu dilakukan oleh negara (indirect giving) agar lebih terorganisir dan mengcover masyarakat yang lebih luas.
Ada beberapa alasan mengapa negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Pertama, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf, dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Tawbah (9) ayat 103. Satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila hal ini disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara.
Kedua, potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4 persen zakat maal.
Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.
Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Dalam periode tertentu, suatu negara membuat rencana pembangunan di berbagai bidang sekaligus perencanaan anggarannya. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional tersebut.
Keempat, agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengumpulan dan pendistribusian zakat yang terpisah-pisah, baik disalurkan sendiri maupun melalui berbagai charity membuat misi zakat agak tersendat. Harus diakui bahwa berbagai lembaga charity telah berbuat banyak dalam pengumpulan dan pendistribusian dana zakat dan telah banyak hasil yang dapat dipetik. Namun, hasil itu dapat ditingkatkan kalau pengumpulan dan pengelolaannya itu dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya.
Kelima, memberikan kontrol kepada pengelola negara. Salah satu penyakit yang masih menggerogoti keuangan Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya adalah korupsi atau penyalahgunaan keuangan negara. Padahal, sebagian besar pengelola negara ini mengaku beragama Islam. Penyalahgunaan ini antara lain disebabkan oleh lemahnya iman menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke dalam perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga. Petugas zakat juga tidak mudah disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung zakatnya serta tidak akan melakukan ‘tawar-menawar’ dengan petugas zakat sebagaimana sering ditemui dalam kasus pemungutan pajak.
Banyak lagi alasan mengapa zakat perlu dikembalikan ke dalam sistem fiskal negara. Meskipun demikian, ada beberapa pertanyaan atau keberatan terhadap agenda ini. Hal ini antara lain dikarenakan sudah terlalu lamanya zakat terpisah dari sistem negara dan menjadi urusan masing-masing pribadi Muslim. Mengembalikannya ke dalam sistem negara tentu bukan pekerjaan mudah. Akan banyak pihak yang keberatan dengan berbagai alasan yang dikemukakan. Mereka yang berpotensi menolak terutama berasal dari kelompok yang phobia dengan masuknya institusi-institusi keagamaan ke dalam sistem kenegaraan atau menolak turut campurnya negara dalam urusan keagamaan atau spiritualitas anggota masyarakat. Menurut mereka, zakat tidak dapat masuk dalam sistem fiskal negara karena hanya ekslusif untuk umat Islam dan kalau dipaksakan akan memicu disintegrasi bangsa. Alasan lainnya adalah bahwa negara ini bukan negara Islam dan institusi-institusi keislaman seperti zakat tidak dapat diadopsi dalam sistem kenegaraan.
Alasan lain barangkali adalah bahwa zakat seharusnya dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok masyarakat. Campur tangan negara sudah terlalu banyak dan jangan diperbesar lagi. Zakat merupakan suatu potensi yang unik bagi pengembangan civil society dan menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat itu sendiri.
Terlepas dari keberatan tersebut, faktanya zakat telah cukup memainkan peranan penting dalam redistribusi kekayaan di tengah masyarakat Muslim. Terlebih lagi, zakat pernah menjadi andalan dalam kebijakan fiskal masyarakat Muslim awal. Pertanyaannya sekarang, kalau zakat ingin dikembalikan pengelolaannya oleh negara dan diadopsi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, bagaimana halnya dengan hukum zakat itu sendiri? Adakah kebijakan fiskal membawa pengaruh terhadap aturan-aturan zakat? Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan hal ini dilihat dari sisi subyek, obyek, sasaran, pendistribusian, dan tarif zakat.
Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Subyek Zakat
Para ulama fiqh sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan kepada seorang Muslim dewasa yang waras, merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula (Qardhawi. 1997: 96). Menurut ulama Fiqh, zakat tidak diwajibkan kepada non-Muslim, karena zakat merupakan “anggota tubuh” Islam yang paling utama, dan karena itu orang kafir tidak mungkin diminta menunaikannya, serta bukan pula merupakan hutang yang harus dibayarnya setelah masuk Islam.
Hal ini tentu menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat, karena warga negara Muslim diwajibkan membayar zakat, sementara warga negara non-Muslim tidak memikul kewajiban tersebut. Dalam konteks kebijakan fiskal negara, tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara dalam memberikan kewajiban kepada negara, termasuk dalam hal perpajakan.
Dengan demikian, jika zakat menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal negara, maka sekat-sekat diskriminasi dalam hukum zakat hendaknya dapat diselesaikan, agar semua warga negara sama kedudukannya dalam memenuhi kewajibannya kepada negara.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa warga non-Muslim dikenakan jizyah sebagai penyeimbang zakat yang dibayarkan oleh warga Muslim. Hal ini telah dipraktekkan pada masa-masa awal Islam, di mana warga non-Muslim (zimmi) diwajibkan membayar jizyah kepada negara sebagai imbalan atas jaminan perlindungan yang mereka terima. Namun, hal ini tentu tidak relevan lagi di masa sekarang karena semua warga negara memiliki kewajiban yang sama dalam suatu negara dan sudah jarang dikenal lagi istilah kafir zimmi dalam suatu negara berpenduduk Muslim.
Persoalan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi agama-agama. Zakat merupakan kewajiban keagamaan yang bukan inovasi Al-Qur`an. Konsep pembayaran pajak keagamaan telah ada di Babilonia kuno yang harus dibayarkan oleh semua kelas penduduk dari raja sampai rakyat biasa. Pembayaran tersebut dapat berupa hasil pertanian maupun dalam bentuk uang (Zaman, 1996: 167).
Kewajiban zakat atau pajak keagamaan ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (Lev. 27:30; Deut. 14:22; Num. 18:21; Neh. 11:37). Dalam Al-Qur`an pun berulangkali disebutkan bahwa umat-umat terdahulu juga dikenakan kewajiban untuk membayar zakat. Hanya saja, mengingat perbedaan latar belakang kehidupan sosial ekonomi pada waktu turunnya perintah zakat tersebut, maka obyek dan jumlah zakat yang dikeluarkan berbeda dengan konsep zakat dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Selain itu, pembayaran zakat dalam Perjanjian Lama murni dimaksudkan untuk lembaga-lembaga keagamaan, sementara dalam Al-Qur`an zakat ditujukan untuk memberikan dukungan ekonomis kepada masyarakat dan bukan kepada hirarki institusi keagamaan, seperti kepada pendeta dalam tradisi non-Muslim (Zaman, 1996:168-169).
Meskipun demikian, dapat ditarik sebuah “benang merah” bahwa perintah zakat merupakan perintah yang universal. Dengan demikian, dalam konteks kebijakan fiskal negara, pajak keagamaan (Islam: zakat) dapat dikenakan kepada seluruh warga negara, tanpa melakukan diskriminasi keagamaan.
Di samping itu, secara historis hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab yang juga memungut zakat dari kaum Nasrani Bani Taghlib. Pada mulanya, Umar telah memutuskan untuk menarik jizyah dari mereka, tetapi mereka memprotesnya. Akhirnya, Umar memerintahkan untuk memungut zakat dengan melipatgandakan jumlah zakat yang harus mereka bayar (Qardhawi, 1997: 100-102). Lagi pula, mereka memang diperintahkan oleh agama mereka untuk berzakat, yaitu berbuat baik kepada orang-orang yang melarat. Dengan demikian, apabila mereka dibebani dengan zakat, maka sesungguhnya mereka hanya dibebani dengan sesuatu yang sejak mula sudah disyariatkan oleh agama mereka. Terlebih lagi, dalam pendistribusian dana zakat, Islam tidak mengenal adanya diskriminasi antara Muslim dan non-Muslim apabila sesuai dengan kriteria sasaran pendistribusian zakat.
Selain subyek zakat yang berupa individu (person), zakat juga dapat dikenakan kepada badan hukum (recht person) sebagaimana halnya pajak. Badan-badan hukum tersebut seperti perusahaan-perusahaan yang memiliki kekayaan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Zakat yang dikenakan kepada badan-badan hukum tersebut diambil dari saham dan keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut (Qardhawi, 1997: 490-497).
Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Obyek Zakat
Al-Qur`an tidak memberikan ketegasan tentang kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya dan syarat-syarat yang mesti dipenuhi, serta tidak merinci berapa besar yang harus dizakatkan. Persoalan itu diserahkan kepada sunnah Nabi yang menafsirkan tuntutan Al-Qur`an yang masih umum, menerangkan yang masih samar, memperkhusus yang masih terlalu umum, memberi contoh konkrit pelaksananaanya, dan membuat prinsip-prinsip aktual dan bisa diterapkan dalam kehidupan manusia.
Berkaitan dengan obyek yang dikenakan zakat, Rasulullah Saw menetapkan bahwa zakat dikenakan atas jiwa dan semua jenis harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat di mana zakat ditetapkan. Zakat atas jiwa disebut zakat fitrah, sedang zakat atas kekayaan dikenal dengan zakat māl.
Memang terdapat beberapa jenis kekayaan yang disebutkan dan diperingatkan dalam Al-Qur`an untuk dikeluarkan zakatnya yaitu emas dan perak (Q.S. 9:34), tanaman dan buah-buahan (Q.S. 6:141), hasil usaha (Q.S. 2:276) Barang-barang tambang yang dikeluarkan dari perut bumi (Q.S. 6:141).
Selain jenis kekayaan yang disebutkan tersebut, Al-Qur`an hanya merumuskan apa yang wajib dizakatkan dengan rumusan yang sangat umum yaitu dengan kata “kekayaan” (amwāl) (Q.S. 9:103; 4:52). Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang makna “kekayaan” tersebut. Menurut mazhab Hanafi, kekayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipunyai dan bisa diambil manfaatnya menurut kebiasaan. Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit adalah kekayaan, seperti tanah, binatang ternak, barang-barang perlengkapan, dan uang.
Konsekuensi dari definisi ini adalah bahwa kekayaan berarti hanya yang berwujud benda sehingga dapat dipegang dan dipunyai. Akibat lebih lanjut ialah bahwa manfaat dari benda yang konkrit itu, seperti penempatan rumah, jasa transportasi, sewa pakaian, tidak termasuk kekayaan (Qardhawi, 1997: 123-124).
Menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, manfaat-manfaat itu termasuk kekayaan. Menurut mereka yang penting bukanlah dapat dipunyai sendiri tetapi dipunyai dengan menguasai sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tidak membatasi orang lain untuk menggunakan mobil tersebut. Pendapat ini dipegang oleh para ahli hukum positif. Bagi mereka, manfaat-manfaat itu adalah kekayaan. Demikian juga halnya dengan hak-hak, seperti hak pengarang, hak paten, dan sebagainya. Oleh karena itu, kekayaan menurut mereka lebih luas daripada kekayaan menurut ahli-ahli fiqh.
Seharusnya obyek zakat juga mencakup kekayaan dalam bentuk manfaat sebagaimana yang dipahami oleh para ahli hukum positif. Karena terkadang kekayaan dalam bentuk ini justru sangat besar dan cara memperolehnya juga lebih mudah seperti hak cipta dan hak paten yang pendapatannya terus mengalir.
Sesuai dengan konteks perekonomian masyarakat pada masa Nabi Muhammad s.a.w., jenis harta yang dikenakan zakat meliputi: hasil pertanian dan perkebunan; hasil peternakan; harta niaga; uang; hasil tambang dan; harta temuan atau lebih dikenal dengan rikāz. Jenis harta ini kemudian dirinci lagi untuk menentukan jenis masing-masing yang dapat dikenakan zakat.
Untuk konteks kehidupan perekonomian sekarang yang lebih banyak bertumpu pada sektor industri dan jasa ketimbang pada olah pertanian dan peternakan yang tradisional, banyak jenis kekayaan dan rinciannya yang sangat menonjol dan bahkan menjadi alat kesombongan kelas, akan tetapi dalam aturan fiqh belum banyak disinggung. Misalnya dalam hal jenis kekayaan sebagai ketentuan sekunder, tidak terdapat kendaraan dan rumah mewah. Dalam rinciannya, kategori harta perniagaan masih terbatas pada jual beli barang, belum mencakup jual beli jasa keahlian atau profesi. Kategori ternak belum memasukkan misalnya ternak unggas dan ikan air tawar. Alat pembayaran (mata uang) pun masih terbatas pada uang emas dan perak. Demikian pula dalam kategori barang tambang (ma’adin) belum memasukkan minyak bumi, timah, permata, dan sebagainya. Persoalannya sederhana, karena jenis dan atau rincian kekayaan-kekayaan itu pada masyarakat Nabi Muhammad Saw 14 abad yang lalu belum berkembang atau bahkan belum ada dalam kenyataan.
Tidak dicantumkannya jenis-jenis kekayaan seperti pada masa sekarang bukan berarti bahwa jenis kekayaan itu tidak terkena zakat karena tidak ada referensinya dalam hadis-hadis Nabi Muhammad Saw Apa yang telah dibakukan oleh para fuqaha pada masa lalu meskipun merupakan bahan masukan yang berharga seharusnya tidak menutup pintu ijtihad dalam menentukan jenis kekayaan yang wajib dikenakan zakat (Ali, 1988: 54).
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang membatasi obyek zakat antara lain adalah (Qardhawi, 1997: 435):
·         Rasulullah s.a.w. telah menentukan jenis-jenis kekayaan yang wajib dizakatkan, tetapi tidak memasukkan ke dalamnya harta benda yang dapat dieksploitasi atau disewakan seperti gedung, binatang, alat-alat dan lain-lain. Pada prinsipnya manusia bebas dari beban dan prinsip itu tidak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada nash yang benar dari Allah dan Rasul-Nya.
·         Hal itu didukung oleh kenyataan bahwa para ulama fiqh dalam berbagai masa dan asal tidak pernah mengatakan bahwa hal itu wajib zakat.
·         Bahkan mereka mengatakan bahwa jenis kekayaan tersebut tidak ada zakatnya.
Alasan yang dikemukakan ini tidak tepat karena Allah telah menegaskan bahwa dalam kekayaan apa pun terdapat kewajiban tertentu yang bernama zakat atau shadaqah. Alasan wajib zakat atas suatu kekayaan adalah logis, yaitu bertumbuh, sesuai dengan pendapat ulama-ulama fiqh yang melakukan pengkajian dan penganalogian atas hukum. Di samping itu, maksud syariat zakat adalah pembersihan dan penyucian pemilikan kekayaan, penyantunan terhadap fakir miskin, dan keikutsertaan membela kepentingan umum. Oleh karena itu, sudah sepantasnya zakat dipungut dari berbagai jenis kekayaan dan tidak terbatas pada apa yang telah dicanangkan oleh Rasulullah s.a.w. empat belas abad silam (Ash Shiddieqy, 1999: 71-72).
Dengan pemahaman seperti, zakat dapat dipungut dari berbagai bentuk kekayaan yang diperoleh dari berbagai jenis usaha yang berkembang pada zaman modern sekarang ini seperti, zakat investasi pabrik, gedung, zakat profesi, dan zakat saham dan obligasi. Dengan demikian, obyek zakat dapat mencakup semua jenis kekayaan baik yang dipunyai perorangan (person) atau badan hukum (recht person).
Pengaruh Terhadap Tarif Zakat
Tarif zakat merupakan ketentuan zakat yang tidak diotak-atik oleh para fuqaha. Berbeda dengan subyek dan obyek zakat yang mengalami perkembangan dalam perinciannya sesuai dengan perkembangan ekonomi, tarif zakat dianggap sebagai ketentuan yang bersifat tetap dan berlaku sepanjang masa (Faridi, 1980: 123; Ahmed, 1947: 122). Menurut para fuqaha, ketentuan tentang tarif zakat yang telah ditentukan oleh Rasulullah s.a.w. 14 abad silam tidak dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan ekonomi karena akan menyebabkan pergeseran esensi zakat (Zaman, 1991: 63).
Menyangkut besar kecilnya tarif atau kadar zakat secara absolut yang harus dibayar oleh masyarakat, Rasulullah s.a.w. menetapkan bahwa hal itu ditentukan oleh berat ringannya tantangan keadilan dan kesejahteraan yang dihadapi. Nabi s.a.w. menetapkan tarif zakat antara 2,5% dan 10%. Ada satu jenis kekayaan yang dikenakan tarif tinggi karena untuk memperolehnya tidak diperlukan usaha dan kerja keras yaitu harta karun (rikaz) yang dikenakan 20% atau seperlima (khums). Hal ini berarti bahwa apabila tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, tarif yang ditentukan Nabi Muhammad Saw tersebut tidak ada halangan untuk diperbesar. Kalau perlu sistem tarif pajak progresif bisa diterapkan (Rais, 1987: 58-62).
Menurut Masdar Farid Mas’udi, ketentuan Rasulullah s.a.w. tentang tarif zakat bisa begitu rendah sebabnya lantaran tuntutan kemaslahatan umum yang harus ditanggung dengan dana zakat relatif masih sederhana, jauh dari tingkat kebutuhan masyarakat zaman sekarang. Waktu itu, di samping kebutuhan ekonomi masyarakat masih bersifat subsistem (sandang, pangan, dan papan dalam ukuran seadanya), belum ada kebutuhan untuk membangun, misalnya, jalan beraspal, jalan bebas hambatan, apalagi sistem komunikasi satelit yang mahal biaya pengadaan dan operasionalnya (Mas’udi, 1991: 139-140).
Satu-satunya pengeluaran negara terbesar pada masa Rasulullah s.a.w. adalah untuk pembiayaan perang dan pertahanan dari serangan musuh. Meskipun demikian, adanya perasaan yang sama terhadap adanya ancaman dari luar menimbulkan musuh bersama (common enemy) dan pada gilirannya menimbulkan rasa solidaritas untuk melakukan mobilisasi kekuatan dan dana untuk perang. Dengan demikian, tanpa perlu mewajibkan zakat masyarakat telah terpanggil untuk menyumbangkan sebagian hartanya untuk keperluan perang.
Kesenjangan antara yang orang kaya dan miskin pada masa Rasulullah s.a.w. juga belum begitu terasa karena masyarakatnya hidup dalam budaya agraris. Dalam masyarakat agraris tradisional, kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan yang cenderung dirasakan bersama. Artinya tidak ada kelebihan yang mencolok antara yang kaya dengan yang miskin. Oleh sebab itu, dapat dimengerti apabila zakat yang ditetapkan oleh Rasulullah s.a.w. masih dalam batas-batas yang sederhana. Konteks sosial ekonomi masyarakat Madinah memang belum memerlukan sistem tarif zakat yang progresif seperti dijumpai pada sebagian masyarakat negara industrialis pada masa sekarang.
Begitu pula halnya dengan tarif hasil pertanian yang harus dipahami berdasarkan latar belakang sosio-ekonomi penetapan tarif tersebut. Sebagaimana diketahui, tarif hasil pertanian berkisar antara 5% dan 10%, sementara harta perniagaan hanya sebesar 2,5%. Hal ini dilatarbelakangi oleh sumber mata pencaharian masyarakat Madinah ketika khitab zakat itu dicanangkan oleh Rasulullah Saw (kira-kira tahun ke-8 dan 9 hijrah) bertumpu pada sektor pertanian. Berbeda halnya dengan masyarakat Makkah yang bertumpu pada sektor perdagangan. Persoalan ketidakadilan sosial di Madinah pun berbeda dengan di Makkah. Di Madinah kesenjangan sosial terletak antara para pemilik tanah pertanian dan kelas buruh tani yang tidak mempunyai lahan pertanian. Sedangkan di Makkah, kesenjangan terjadi antara para pemilik modal (kapitalis-borjuis) dan kaum buruh (proletar). Oleh sebab itu, dapat dimengerti mengapa Rasulullah s.a.w. mengenakan tarif zakat hasil pertanian yang lebih tinggi (5% – 10 %) daripada tarif zakat harta perniagaan (2,5%). Bisa jadi, tarif yang berlaku adalah sebaliknya kalau saja Rasulullah Saw menetapkan ketentuan tarif tersebut di Makkah yang merupakan kota perdagangan, bukannya di Madinah yang agraris.
Pengaruh Terhadap Pendistribusian Zakat
Sasaran distribusi zakat disebutkan dalam Al-Qur`an surat al-Tawbah:60. Dalam ayat tersebut ada 8 kelompok sasaran pendistribusian zakat yaitu fakir, miskin, amil, mu’allaf, membebaskan budak ,orang yang berutang, ), musafir dan Ibnu sabil.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT . Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Al Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah . Jadi hakikat manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai  makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.

Aktivitas Ekonomi dan bisnis islam berbeda dari aktivitas aktivitas ekonomi lainnya. Dasar Falsafah dalam aktivitas ekonomi islam ditentukan oleh Allah, sedangkan ekonomi ekonomi lain didasarkan kepada beberapa edeologi atau falsafah ciptaan manusia(sekuler). Falsafah dari aktivitas Ekonomi dalam islam bertujuan sebagai jalan beribadah kepada Allah dan upaya untuk memakmurkan masyarakat

Jadi ,Sistem etika bisnis islam berbeda dengan sistem etika sekuler, Melalui perkembangan peradapan , sistem sekuler mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis. Karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri di atas nilai nilai temuan manusia.

Sudah jelas urgensi usaha halal dan harta halal bagi setiap muslim apalagi dizaman seperti ini, karena besarnya pengaruh usaha haram dalam tertahan dan terhalangnya kebaikan dan keberkahan harta. Ketika di zaman ini menyebar dengan sangat cepat usaha-usaha haram. Banyak yang sudah tidak perduli lagi tentang harta yang dimilikinya darimana didapatkan dan bagaimana mendapatkannya


DAFTAR PUSTAKA

Iwan Triyuwono,Akuntansi syariah perpektif ,metodologi,dan teori,Ed. 2(Jakarta,Rajawali pers :2012)

Hukum entropis adalah hokum fisika yangmenyatakan bahwa setiap materi karena terikat dengan ruang dan waktu akan mengalami self destruction.
Faisal badroen, Etika bisnis dalam islam , (Kencana Jakarta : 2006),

Yusuf Qardhawi , Dawr Al Qiyam wal Akhlak fi Al iqtisad al islami ( kairo- mesir : maktabah wahbah, 1995

Umer chapra, Islam dan tantangan ekonomi,( GEMA INSANI Jakarta : 2000)

Muhammada Djakfar, Etika bisnis islami tataran teoritis dan praksis, (UIN MALANG PRESS Malang : 2008 )

Faisal badroen, Etika bisnis dalam islam , (Kencana Jakarta : 2006)

AL-Khathib, op.cit. hal 150   فضل م ل خ لي عن العو ض فى م ل بم زل


Dr,Mustaq Ahmad Etika Bisnis Dalam Islam(Pustaka Al-Kautsar) 





[1] Iwan Triyuwono,Akuntansi syariah perpektif ,metodologi,dan teori,Ed. 2(Jakarta,Rajawali pers :2012)
[2] Ibid , Hlm.63-66
[3] Hukum entropis adalah hokum fisika yangmenyatakan bahwa setiap materi karena terikat dengan ruang dan waktu akan mengalami self destruction.
[4] Faisal badroen, Etika bisnis dalam islam , (Kencana Jakarta : 2006), hlm. 67-68
[5] Yusuf Qardhawi , Dawr Al Qiyam wal Akhlak fi Al iqtisad al islami ( kairo- mesir : maktabah wahbah, 1995), hlm 57
[6] Umer chapra, Islam dan tantangan ekonomi,( GEMA INSANI Jakarta : 2000 ) hlm.7
[7] Muhammada Djakfar, Etika bisnis islami tataran teoritis dan praksis, (UIN MALANG PRESS Malang : 2008 ) hlm.85-89
[8] AL-Khathib, op.cit. hal 150   فضل م ل خ لي عن العو ض فى م ل بم زل
[9] Dr,Mustaq Ahmad Etika Bisnis Dalam Islam(Pustaka Al-Kautsar) hal 127

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment