PRINSIP-PRISIP AKUNTANSI DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
TUGAS
disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Syariah
pada jurusan Ekonomi Syariah
pada jurusan Ekonomi Syariah
Dosen
Pembina:
Surna
Lastri, S.E., M.Si.Ak.
Oleh:
D.A.Rahmat
– 140602185
Agung
Bima Sakti – 140602178
Cukri
Ramadhan – 140602198
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN
AR-RANIRY
2015
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah atas kehadirat Allah S.W.T
dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Akuntansi Syariah tentang Prinsip-Prisip
Akuntansi Dalam Perspektif Islam.
Selawat
beriring Salam kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. dan para Sahabatnya
beserta keluarganya yang telah
memberikan contoh teladan melalui sunnahnya sehingga membawa kesejahteraan di
muka bumi ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada Dosen-dosen yang telah memberi arahan dan bimbingan kepada kami,
dan juga kepada kawan- kawan kami yang telah memberikan motivasi serta membantu
menyelesaikan penulisan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
dan kesilapan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran serta bimbingan dari semua pihak yang
bersifat membangun demi perbaikan di
masa yang akan datang. Di samping itu, penulis terus berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat, baik bagi mahasiswa Ekonomi Syariah khususnya dan pembaca
pada umumnya. Semoga Allah meridhai segala usaha dan cita-cita kita. Amin.
Banda
Aceh, November 2015
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................
i
DAFTAR ISI...............................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................
2
1.3. Tujuan Penulisan.....................................................................................
3
1.4. Metode Penulisan...................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN............................................................................
4
2.1.Definisi Akuntansi...................................................................................
4
2.2.Akuntansi Dalam Pandangan Islam........................................................
5
2.3.Prinsip Akuntansi Menurut Para Ahli....................................................
18
2.4.Prinsip Akuntansi Berdasarkan Surat Al-Baqaraha Ayat 282............... 20
2.5.Sifat-sifat Akuntansi Syariah................................................................
23
BAB III PENUTUP................................................................................... 25
3.1.Kesimpulan............................................................................................
25
3.2.Saran......................................................................................................
26
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kapitalisme dengan semangat rational economic man seperti yang diutarakan Capra (2001) mempengaruhi illmu ekononomi konvensional yang berkembang saar ini di mana sangat dipengaruhi oleh asumsi bahwa ringkah laku individu adalah sangat rasional. Sebelumnya Capra (1997) mengatakan walaupun kapitalisme membolehkan kebebasan individu, tapi tidak ada batasan spiritual. Kalaupun ada batasan itu tercipta oleh adanya kompetisi atau kekuatan pemaksa dari Negara, dan kedua, dengan mengubah norma social tanpa nafas spiritual, demikian juga dengan Marxisme ataupun sosialisme yang hanya mengejar materi walaupun secara kolektif dengan meninggalkan nilai etika, moral, dan spiritual.
Demikian juga seperti yang diungkapankan Khurshid Ahmad yang mengutip pendapat Schumpeter yang meramalkan kegagalan ini ketika ia mengatakan “ kapitalisme menciptakan suatu kerangka pikiran rasional yang setelah menghancurkan otoritas moral dari begitu banyak lembaga, pada akhirnya akan berbalik menghancurkan dirinya sendiri” (Chapra, 2001:xxx).
Dengan demikian ideology kapitalis dengan semangat yang terlalu rasional sehingga mekesampingkan aspek lain akan berbalik sendiri dan membawa akibat dengan hancurnya system dunia usaha yang dibentuknya seperti banyak kasus baru-baru ini di Amerika seperti kasus Enrongater, yang jauh dari nilai-nilai moral dengan berbagai skandal akuntansi yang terjadi.
kegagalan akuntansi konvesional dalam mengungkap berbagai realitas yang berada di sekitarnya seakan menjadikan akuntansi menjadi alat legalitas bagi penguasa modal untuk melampiaskan hasrat memupuk keuntungan tanpa memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan, moralitas dan etika, keadilan dan kejujuran, tanggungjawab sosial, dan menempatkan alam hanya sebagai obyek yang harus di eksploitasi semaksimal mungkin biarpun harus melakukan tindakan destruktip. Sedangkan akuntansi sebagai media penyampaian akuntabilitas dari entitas tersebut tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban yang harus di emban, sehingga akuntansi tak lebih dari teknologi yang kering tanpa arti.
Struktur teori akuntansi menggambarkan susunan, hirarki dari konsep menyeluruh akuntansi keuangan. Namun tidak dapat di sangkal bahwa struktur teori akuntansi di pengaruhi oleh sistem ekonomi, sosial, ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur teori akuntansi konvensional lahir dari masyarakat Amerika dengan sistem ekonomi kapitalisme dengan berbagai sifat dan sistem sosial yang dimilikinya seperti sistem demokrasi, liberalisme, sekularisme, kompetisi, scientific, dan ciri lainnya yang tentu berbeda dengan konsep teori Islam.
Kapitalisme sebagai ideologi sekular pada dasarnya kosong dari moral (morally neutral). Sebaliknya Islam justru meletakkan dasar pada landasan aspek moral maupun material kehidupan serta membangun kekuatan ekonomi di atas nilai-nilai etika dan dimensi moral serta spiritual. Landasan itu sangat berbeda, demikian pula suprastrukturnya.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini penulis akan merumuskan tentang:1. Bagaimana yang dimaksud dengan pengertian Akuntansi Konvensional dan Akuntansi Syariah ?
2.Bagaimana yang dimaksud dengan Akuntansi Dalam Pandangan Islam ?
3. Bagaimana bentuk Prinsip-Prinsip Akuntansi Syariah yang dikemukakan oleh Para Ahli ?
4. Bagaimana Yang Dimaksud Dengan Prinsip-Prinsip Akuntansi Berdasarkan Surat Al-Baqarah Ayat 282.
5. Bagaimana Yang Dimaksud Dengan Sifat-Sifat Akuntansi Syariah?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:1. Agar para pembaca memahami Pengertian Akuntansi Konvensional dan Akuntansi Syariah.
2. Agar para pembaca memahami Akuntansi Dalam Pandangan Islam
3. Agar para pembaca memahami Prinsip-Prinsip Akuntansi Syariah yang dikemukakan oleh Para Ahli.
4. Agar para pembaca memahami Prinsip-Prinsip Akuntansi Berdasarkan Surat Al-Baqarah Ayat 282.
5. Agar para pembaca memahami Sifat-Sifat Akuntansi Syariah.
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini merupakan tinjauan kepustakaan yang bertujuan untuk mempelajari buku-buku yang relevan dengan masalah yang diteliti karena penyusun tidak melakukan tinjauan secara langsung terhadap objek pengamatan. Di samping itu kami juga memanfaatkan sumber-sumber tulisan/ bacaan yang bersumber dari website.
BAB II
PEMBAHASAN
AKUNTANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
2.1. DEFINISI AKUNTANSI
2.1.1. AKUNTANSI SYARIAH
Kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional.Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief”yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Akuntansi sebenarnya merupakan domain “muamalah” dalam kajian islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Dan karena pentingnya permasalahan ini maka Allah SWT bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al-Quran yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282.[1]
2.1.2. AKUNTANSI KONVENSIONAL
Akuntansi kapitalis dibangun berdasarkan landasan pikir sekuler terkonstruksi sebagai ilmu yang bebas nilai ( Value Free ), sehingga satu-satunya landasannya adalah rasional tanpa memiliki dimensi teologis ketauhidan serta moral. Akuntansi yang dibangun pada ranah peradaban ekonomi kapitalis lahir sebagai perangkat konstruktif peradaban tersebut. Seluruh dimensi penyajian laporan keuangan selalu mencerminkan kebutuhan dan kepentingan stockholder sesuai dengan filosofi induk yang melahirkannya, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Karl Max bahwa akuntansi kapitalis hanya merupakan legalisasi kaum kapitalis untuk tetap eksis.
2.2. AKUNTANSI DALAM PANDANGAN ISLAM
2.2.1. Agama (Islam) Sebagai Ideologi
Mari’e Muhammad di majalah Usahawan no:12 tahun 1996 (mantan menteri keuangan RI) mengungkapkan pendapat Andre Malraux, seorang filsuf Perancis, memperkirakan pada abad ke 21 adalah kebangkitan agama. Demikian pula John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000 memperkirakan hal yang sama. Tentunya hal ini kan berdampak (Muhammad, 1996:38).[2]
Referensi mereka adalah Eropa, yang sejak abad ke 16 mengalami proses materialisme yang semakin meningkat. Dunia Barat setelah mencapai puncak-puncak kemajuan dalam bidang sains, teknologi, dan ekonomi, dapat dikatakan mendekati keadaan melaise spiritual, meskipun (misalnya di Amerika Serikat) terdapat tanda-tanda kehidupan keagamaan meningkat. Ahli-ahli pikir Barat banyak merenung dan berpikir ulang dan banyak yang berpendapat bahwa kemajuan-kemajuan hanya dalam bidang materi tidak membawa kebahagiaan, bahkan menimbulkan problematika-problematika baru yang tidak terpecahkan, dan tampaknya problem ini semakin menggunung.
Kerinduan Barat terhadap kekayaan spiritualisme digambarkan oleh Alexender Solzheitsyn (dalam muhammad, 1996:38) yang menyatakan:
No, all hope cannot be pinned on science, technology, economi growth. The victory of technological civilization has also instilled a spiritual insecurity in us. Its gifts enrich,but enslave us as well. All is interests-we must not neglect our interests-all is struggle for material things; but an inner voice tells us that we have lost something pure, elevate, and fragile. We have ceased to see the purpose. Let uas admit, even if in a whisper and only to ourselves: in this bustle of life at vreakneck speed-what are we living for?
Padahal kahf (1995:1-5) menjelaskan bahwa cakupan agama adalah perilaku manusia dalam semua tahap dan aspeknya. Sehingga setiap system ekonomi pasti didasarkan atas ideology yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya di lain pihak.
Sebagai konsekuensinya paradigm syariah dalam akuntansi akan mempertimbangkan berbagai paradigm dengan menunjukkan adanya perbedaan ideologi akuntasi berdasarkan pijakan agama tersebut, maka ada tiga dimensi yang saling berhubungan, yaitu :
1. Mencari keridhaan Allah sebagai tujuan utama dalam menentukan keadilan Sosio-ekonomi.
2. Merealisasikan keuntungan bagi masyarakat, yaitu dengan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, dan
3. Mengejar kepentingan pribadi, yaitu memenuhi kebutuhan sendiri (Muhammad, 2002: 113).
Pemenuhan ke tiga bentuk aktivitas di atas adalah termasuk aktivitas ibadah, dengan kata lain, akuntansi bisa dianggap sebagai salah satu aktivitas ibadah bagi seseorang muslim, sehingga dengan adanya agama (islam), maka senantiasa setiap individu bisa mengapresiasikan dirinya kepada kegiatan ritual kepada tuhannya dan wujud manifestasi kewajiban serta pertanggungjawaban kepada sang pencipta.
Allah SWT berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 31 :
Yang artinya : katakanla : “jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutilah Aku, Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Sehingga jalan hidup bagi muslim yang memandang agama (islam) sebagai jalan hidup (way of life) akan dapat menimbulkan kesadaran diri dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Teori akuntansi dalam hal ini akuntansi syariah dipelajari sebagai suatu sistem akuntansi dan pada saat yang sama ditafsirkan sebagai sesuatu yang behubungan dengan manajemen, ekonomi, hukum politik dan agama (Muhammad, 2002:127).
Sehingga agama (islam), yang merupakan cinta mendorong manusia menuju kesempurnaan dan keselamatan, sesudah dia keluar dari sumber ketiadaannya yang mula-mula dan mulai menyusuri lorang-lorong sejarah, telah mengubah warna, rasa dan aromanya (syariati, 1996:65).
2.2.3. Kemampuan Islam Sebagai Ruh Pembentuk Akuntansi
Qardawi (1995:85) mengatakan: ruh sistem islam adalah pertengahan atau adil, yang dengannya Allah menjadikan ciri khas umat ini, sebagaiman firmannya dalam surat Al Baqarah ayat 143:
Demikian (pula) kami jadikan kamu sekalian (umat islam), umat yang pertengahan atau adil”.
Ciri khas pertengahan ini tercermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan oleh islam diantara individu dan masyarakat, sebagaimana ditegakkan oleh islam dalam individu dan masyarakat, sebagaimana ditegakkan didalam berbagai pasangan lainnya di dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, siang dan malam, idealisme dan relisme, swarta yang lain sebagainya. Oleh karena itu, adanya penggunaan wahyu sebagai ruh pembentukan akuntansi dapat diupayakan. Menurut Safi (1997/98:33):. . . memandang wahyu sebagai fenomena dapat dibenarkan karena teori-teori empiris tidak cukup kuat untuk menjelaskan segala kejadian yang ada bila dibanding dengan wahyu.
Dalam kerangka yang lebih sempurna, wahyu membantu dalam mempromosikan proses pemahaman dengan dua cara. Pertama, dimensi teoritis wahyu menyadiakan sejumlah data untuk direfleksikan otak manusia kedalam tahapan berikut. Kedua, dengan memberikan pengetahuan tentang ritus-ritus religious dan perintah moral dan Al-Farabi memperkirakan pelaksanaa ritus dan perintah ini akan melapangkan jalan menuju pemahaman (inteleksi) (Bakar, 1998:97).
Melihat kenyataan yang demikian , wahyu didekati bukan sekedar firman Allah yang dapat dimengerti begitu saja, tetapi sebagai fenomena yang pemahamannya membutuhkan sistematika dan interpretasi yang konstan dan berulang-ulang.
Dalam hal ini secara lebih lugas Noeng Muhajir dalam seminar nasional metode peneliti agama 1988 di universitas muhammmadiyah malang (UMM) mengatakan bahwa Allah swt memerintahkan kita untuk mengamati alam semesta dan memikirkannya. Diperintahkannya kembali kepada Allah swt dan Rasulnya Muhammad saw ketika kita menghadapi masalah. Dalam paradigma studi ilmiah itu berarti bahwa kebenaran wahyu bukannya didudukkan sebagai aksioma, postulat, ataupun premis mayor, melainkan dipakai untuk konsultasi, untuk pelita, untuk penjernih disaat kita bingung, saat kita banyak berbeda teori, pada saat kita berbeda pemakna.
Aplikasinya menjadi: kita susun konseptualisasi teoritik untuk melandasi teori dari penelitian kita. Kita kutip pendapat dan hasil penelitian para ahli. Mungkin kita menyetujui atau menolaknya. Tiga hal setidaknya melandasi persetujuan/penolakan kita, yaitu bukti emperik, reputasi ahli tersebut dan atau kecocokannya dengan konsep seoritiknya sendiri. Kutipan dari ayat Al Qur’an atau hadis Nabi Saw disajikan diantara kutipan pendapat para ahli; kami cenderung menyarankan agar difungsikan sebagai penuntun kepemecahan masalah. Setidaknya bagi kami, sabda Allah swt dan sunnah Rasul saw merupakan “the highest wisdom”, kebijaksanaan tertinggi; menyajikan lebih dari sekedar kebenaran. Secara hati-hati dan secara tawajuh kita coba mengulas ayat Al Qur’an dan hadist Nabi saw untuk mencoba menangkap kebijaksanaan yang terkandung didalamnya. Sedangkan kutipan pendapat dari para ahli mungkin kita lebih berani mengkritiknya; dan menjadi agak lebih hati-hati bila itu pendapat pakar yang memang ahli di bidangnya.
Jadi ayat Al Qur’an dan hadits Nabi saw tidak dipakai sebagai premis mayor dan tidak juga dipakai untuk “justifikasi” sehingga ada ‘ruh’ yang akan memperkuat dan mendorong bagi pembentukan secara personal maupun organisasional.
2.2.4. Ekplorasi Nilai-Nilai Islam
Islam adalah satu-satunya agama samawi yang diturunkan ke segenap umat manusia, tanpa memandang jenis kebangsaan, warna kulit, bahasa, asal-usul dan zamannya. Islam merupakan risalah yang bermuatan makna misi alamiah. Alamiah adalah suatu kalimat yang mempunyai arti yang dalam, indah dan agung (Dja’far, 1999;38). Sehingga kemutakhiran firman-firman Allah SWT akan kita gunakan sebagai landasan yang kuat dalam mewujudkan risalah syariah islamiah. Banyak ayat Al-Quran yang menegaskan tentang kesemestaan risalah islam yang bersifat universal, yang tidak “lekang” oleh zaman.
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal itu antara lain
surat Al-Anbiyaa’ ayat 107.
Yang artinya : dan tiadalah kami mengutuskan engkau ( Muhammad ) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Surah Shad ayat 87
Yang artinya : Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.
Surah Yusuf ayat 104
Yang artinya : dan engkau sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini). Itu tidak lain hanyalah pelajaran bagi semesta alam.
Adanya islam yang alamiah, menunjukkan tanpa keraguan kepada kemestaan risalah, dan fleksibilitasnya, serta kemampuannya yang mutlak memahami segala perubahan zaman, dan perkembangan kehidupan, maupun pandangan manusia itu sendiri terhadap kehidupan ini, segala situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Kesemestaan risalah islam menunjukkan kasih sayang tuhan kepada hambanya, karena dia (Allah SWT) adalah rahmat, keadilan, dan kemanusiaan. dia (Allah SWT) adalah risalah yang memberi batas bagi setiap aturan, misi kemanusiaan, dan segala aturan buatan manusia yang tersebar di muka bumi ini.
Risalah manakah, atau filsafat manakah, ataupun ide manakah yang mampu menembus rintangan-rintangan, dinding-dinding, dan batas-batas, dan dapat menetap dalam suatu bagian besar di alam luas ini selain islam ?
Semua muslim harus percaya bahwa ajaran islam adalah suatu norma yang dapat diadaptasi oleh setiap bangsa apa saja dan kapan saja. Ajaran islam itu bersifat universal, dan tidak bertentangan dengan rasio.
Semua muslim harus membangun peradaban islam dengan kepercayaan itu, dan mereka harus mencoba membangun peradaban mereka bertumpu pada pesan-pesan abadi. Persoalannya, bagaimana kita mesti mendekati dan mengkaji aspek-aspek peradaban, kesejahteraan, politik, ekonomi dan social dunia islam yang di bangun di atas “universalitas itu”.
Prinsip dasar yang universal dalam operasionalnya harus berpijak dari tujuan syariah. Tujuan syariah (maqasid Asy-syariah) salah satunya melalui basis syariah adalah mewujudkan nilai keadilan dan kebenaran (al-alim, tt: 526; aktar: 1988; an-Nabahan: 1995) merupakan pencerminan dari amar ma’ruf nahi munkar, yang mana prinsip-prinsipnya sebagai berikut:
1. Nilai keadilan
Nilai keadilan merupakan konsep yang komprehensif menyangkut semua segi kehidupan umat manusia. Keadilan juga membuahkan keseimbang, kesesuaian, dan keselarasan dengan keadilan hokum (Aktar: 1988 dalam sophiaan, 1997, 86).[3]
Nilai keadilan tidak saja merupakan nilai yang sangat penting dalam etika kehidupan social dan bisnis, tetapi ia juga merupakan nilai yang secara inheren melekat dalam fitrah manusia. Ini artinya adalah bahwa manusia, dengan fitrah kemanusiaanya, mempunyai kapasitas internal untuk membuat adil dalam setiap aspek kehidupan.[4]
Kata keadilan dalam Al Qur’an merupakan kata yang paling banyak disebut setelah Allah swt, dimana telah lebih 1000 kali Al Qur’an mengulang-ulang kata ini, jadi menunjukka betapa penting dan essensialnya kata ini. Terkait hubungannya denga bisnis dan dunia usaha, islam telah mngharamkan setiap hubungan bisnis yang mengandung kezaliman. sebagaimana diungkapkan oleh An Nabahan (1995: 61): keadilan harus dipahami sebagai doktrin syariah, sebab syariah tidak hadir, kecuali demi menciptakan keadilan social. Jika Al Qur’an menekankan keadilan dan kemudia diiringi dengan memnekankan kebaikan, itu tak lain adalah demi memnciptakan keadilan dan demi mewujudkan kebaikan. Ini berarti pula bahwa dalam menciptakan keadilan harus meski dibarengi dengan kebaikan.
Berkaitan dengan masalah perilaku ekonomi umat manusia, maka keadilan mengandung maksud sebagai berikut:
a. Keadilan yang rasional
Keadilan harus ditetapkan disemua fase kegiatan ekonomi (an nabahan, 1995: 61). Keadilan dalam produksi dan konsumsi adalah paduan (aransement) efensiensi dan memberantas keborosan. Adalah suatu kezaliman dan penidasn apabila seseorang dibiarkan berbuat terhadap hartanya sendiri yang melampaui batas yang ditetapkan dan bahkan merampas hak orang lain.
b. Keadilan yang memberikan kebebasan
Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak islam (an-Nabahan, 1995:61). Kebebasan yang tidak terbatas akan mengakibatkan ketidak serasiannya di antara pertumbuhan produksi dengan hak-hak istimewa bagi segolongan kecil untuk mengumpulkan kekayaan yang melimpah dan mempertajam pertentangan antara yang kuat dan akhirnya akan menghancurkan tatanan social.
c. Keadilan yang bernilai materi
Keadilan berarti memberikan keluasan bagi individu untuk memperoleh kekayaan dengan membuat kebijakan atas usahanya atas dasar kebijakan.
Jika merujuk dari para ulama ahli tafsir yang lebih lanjut dapat digali dari Al-Quran, dimana secara tegas dalam bersikap atau membuat kebijakan (baik dalam hubungannya dalam masalah: harga, alokasi sumberdaya , membagi keuntungan, dan lain sebagainya), semuanya harus dikaji dari secara lebih rinci dan riil baik dari aspek ekonomi maupun dimensi etis. Untuk itulah dapat diungkapkan dari salah satu surat dalam Al-Quran yaitu : dalam surat al-hadiid ayat 25 ditegaskan :
Yang berarti : sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kibab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksakan keadilan …
Dengan demikian dalam islam titik berat keadilan berarti setiap bentuk perbuatan tipu muslihat, kebohongan, mengeksploitasi orang tiada berdosa atau acuh tak acuh terhadap kelompok lain dan pernyataan palsu dilarang keras. Sehingga seorang muslim harus berupaya menghindarkan diri dari membuat transaksi semu atau meragukan. Untuk menegakkan keadilan ini, semua bentuk usaha spekulatif dilarang tegas. Prinsip semua bentuk larangan dalam islam mencakup larangan terhadap semua bentuk pemerasan(aktar; 1988 dalam sofyaan, 1997: 86).
2. Nilai kebenaran
Menurut Zulkifli dan sulastiningsih (1998: 171) kebenaran merupakan ruh dari kimanan, sehingga tanpa adanya kebenaran maka syariat agama tidak dapat ditegakkan. Sebaliknya, dusta atau kebohongan merupakan bagian dari sikap orang munafik. Bencana terbesar yang melanda dunia bisnis saat ini adalah meluasnya tindakan dusta dan kebathilan, misalnya: berdusta dalam mempromosikan produk, memanipulasi nilai, memanipulasi informasi, mengurangi takaran dan lain sebagainya. Untuk itulah kita harus mengusung nilai-nilai kebenaran sebagai pijakakn dalam beraktivitas ekonomi (muamalah).
Sabda Rasulullah SAW:
Penjual dan pembeli mempunyai kebebasan memillih selama belum terputus transaksi. Jika keduanya bersikap benar dan mau menjelaskan kekurangan produk yang di perdagangkan, maka keduanya mendapatkan berkah dari jual bellinya. Namun jika keduanya menutupi cacat produk yang diperdagangkan, maka jika mereka memndapatkan keuntungan, maka hilanglah berkah jual beli itu. (H.R bukhari dan Muslim).
Menurut Dr. Hassan Hanafi harus dilacak melalui ajaran paling inti dalam islam, yakni, Tauhid. Tauhid adalah dasar/basis dari islam. Tauhid, yang meletakkan dasar-dasar hubungan antara manusia dengan Allah SWT (Hablu minallah) dan manusia dengan sesamanya (hablumm ninannas) dimaksud sebagai dasar filosofis yang utama dalam mewujudkan pijakan syariah islamiah (simogaki, 2000: 14)
Untuk itulah sebagai orang mukmin kita wajib mengamalkan dan beraqidah sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT, sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menurut Dawam Rahaarjo, dalam kaitannya dengan ekonomi, tauhid bukan hanya pengakuan tentang adanya Allah dan kewajiban hanya beribadat kepada-Nya. Tauhid juga berarti pengakuan bahwa semua sumberdaya ekonomi itu berasal dan milik-Nya (sophiaan, 1997: 122).
Sebagai Khalifa Fil Ardhi (wakil Allah SWT di muka bumi), pada dasarnya manusia bersikap terhadap adanya kepemilikan harta dan kekayaan serta berbagai bentuk aturan kehidupan merupakan hak Allah SWT untuk memiliki dan menentukannya. Karena itu, legalitas seseorang atas kepemilikan harta dan kekayaan serta mengatur berbagai bentuk hubungan kehidupan sangat terkait dengan kehendak pemilik asli melalui perintah dan larangan-Nya. Tentunya perwakilan manusia di bumi ini dengan mengacu pada perintah dan larangan Allah SWT dalam rangka untuk memakmurkan bumi dan menyejahterakan masyarakat melalui proses produksi dan investasi yang terus-menerus dan bersih dari sifat keserakahan dan kesombongan.
Jaringan relasional islam dalam syariah tidak semata-mata merangkum kemauan Allah SWT. Hal ini karena sumber pertama syariah adalah firman Allah SWT (Al-Quran). Pandangan tauhid terhadap dunia yakni hidup dalam syariah itu dan dalam komunitas islam. Sebagai mana telah dikatakan, bahwa tauhid tidak memisahkan antara kehidupan spiritual dan social hal ini dijelaskan oleh Tareg Y. Ismael dan Jaqueline S. Ismail (shimoqaki, 2000: 24):. . . . syariah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan social, karena ia berkaitan erat dengan cita-cita mewujudkan kehendak ke-Tuhanan dan membangun bumi serta memelihara keadilan di antara manusia.
Sepanjang semangat islam atau pandangan dunia tauhid menegaskan universalitasnya, cita-cita islam akan merangkum seluruh bidang, dan dengan demikian akan timbul adanya kesempurnaan.
2.2.5. Islamisasi Akuntansi
M. Akram Khan (1984) memberi definisi bahwa ekonomi islam bertujuan untuk menyelidiki keberhasilan manusia (Human falah) yang dicapai dengan pengorganisasian sumber-sumber di bumi atas dasar kerja sama dan partisipasi (Raharjo, 1990:114).
kalau diyakini bahwa seluruh alam merupakan penciptaan Allah swt tentu konsep akuntansi ini tidak lepas dari kekuasaannya, artiya tidak salh kalau konsep itu dijadikan dalam merumuskan teori yang islami (Harahap, 1997: 155). Sehingga dari sinilah diperlukan dasar pijakan yang kuat bagi adanya islamisasi akuntansi, agar sesuai dengan kaidah-kaidah syariat islam.
Hal ini berarti bahwa teori onsep akuntansi yang sekarang dapat digunakan sebagai dasar, dan intelektual muslim cukup sebagai tukang pangkas untuk yang tidak sesuai dengan syariat islam dan tukang tambal untuk yang perlu tambahan dan penekanan sesuai tujuan syariat (maqashid as-syariah).
Dalam pemikiran ekonomi yang dibangun oleh Rasulullah saw berlandaskan syariah yang sacral, doktriner, berupa kaidah dan prinsip umum yang global, memiliki juga sisi profane, dimana manusia bebas berkrekreasi menciptakan mekanisme yang tepat guna merealisasikan maqashid tersebut. Atau lebih tepatnya bahwa ilmu ekonomi islam menegaskan karakternya dalam rumusan kaidah fiqh yang berbunyi:
1. Pada dasarnya suatu praktek muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya atau dalil yang meniadakan kebolehannya.
2. Setiap muslim terikat dengan syarat yang disepakatinya, kecuali syarat menghalalkan yang haram atau memngharamkan yang halal.
Akuntansi dengan nilai islam akan dapat memberikan sumbangan besar pada kemajuan akuntansi dunia. Islam sebagai rahmatan li al alamin semestinya juga akan memberikan konsep akuntansi yang bermanfaat untuk sekalian alam. Tanda-tanda kearah itu sudah terlihat antara lain dari topic konferensi akuntansi internasional di Adelaide tahun 1994 yang lalu (Harahap, 1997: 156). Ideologi yang saat ini berkembang akan sampai pada satu situasi konvergensi menuju arah yang benar dan kebenaran adalah dari Allah SWT dan hokum alam sebagai sumber di antara umat manusia dan juga suara hati nurani. Pernyataan ini menurut Harahap (1997:156) yang mengutip pendapat Stephen covey (1993): I belive that correct principle are natural laws, and that god, the creator and father of us all, is the source of them and also the source of our conscience.
Dengan konsep kebenaran dari Allah SWT dan juga hokum alam perlu dibuat dari esensi atas nilai yang terkandung dari konsep kebenaran itu dalam islam. Menanggapi hal semacam ini perlu diungkapkan mengenai esensi dari akuntansi syariah dimana akuntansi syariah pada dasarnya merupakan sebuah upaya mendekonstruksi akuntasi modern ke dalam bentuk yang lebih humanis, emansipatoris, transcendental dan teleologika merupakan sebuah upaya yang niscaya (triyuwono: 1997a ).
Sedangkan Al-Quran menyebutkan bahwa kebenaran itu hanya dari Allah SWT (Al-Haqqu min rabbikum). Jika akuntansi konvensional dilahirkan dari hokum alam dan akuntansi islam diinspirasi oleh Al-Quran, maka keduanya akan mendapatkan saling mengisi dalam melahirkan konsep mensejahterakan manusia dan seluruh alam.
Tren-tren akuntansi yang mulai berkembang akhir-akhir ini membuktikan kesamaan arah akuntansi konvensional dengan akuntansi islam sehingga dimungkinkan metode adopsi dan modifikasi.
2.3. PRINSIP AKUNTASI MENURUT PARA AHLI
2.3.1. Prof. Dr. Omar Abdullah Zaid
Berdasarkan buku yang kami kutip Prof. Dr. Omar Abdullah Zaid dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Syariah: Kerangka Dasar&Sejarah Keuangan Dalam Masyarakat Islam menyebutkan bahwa terdapat empat prinsip akuntansi dalam sudut pandang Islam. ..
1. Prinsip Legitimasi Muamalat,
yaitu semua system (Manhaj)kegiatan, sasaran-sasaran kegiatan dan prinsip pokokyang berdasarkan syariat-syariat Islam. Jadi semua item dari definisi di atas haruslah berdasarkan syariat-syariat Islam karena semua sudahlah di atur dalam Al-Quran. Seperti di firman Alloh SWT :
“ Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang”
Maksud dari ayat ini adalah bagi tiap-tiap umat itu kami berikan suatu syariat atau jalan (pedoman) yang terang dan jelas, yang khusus bagi umat itu sendiri.
2. Prinsip Badan Hukum (Syakhshiyyah I’tibariyyah),
yaitu adanya pemisahan kegiatan investasi dari pribadi yang melakukan pendanaan terhadap kegiatan investasi itu. Mislanya kita melakukan investasi terhadap lembaga, maka antara kebutuhan pribadi dan lembaga tidak boleh di campur adukkan.
3. Prinsip Kontinyuitas (Istimrariyyah),
yaitu prinsip yang keberadaannya bahwa perusahaan itu menjalankan kegiatannya sampai waktu yang tidak diketahui, dan likuidasinya merupakan masalah pengecualianny, kecuali terdapat suatu indikasi yang mengarah kepada kebalikannya.
Jika saya menyimpulkan makna dari prinsip ini adalah, Disini bisa dilihat dari umur perusahaan, meskipun pemilik perusaan itu meninggal dunia, maka perusahaan tidaklah harus ikut mati. Perusaan harus tetap berjalan meskipun pemiliknya sudah meninggal dunia. Jadi kontinyuitas disini sngatlah penting untuk kelangsungan perusahaan.
4. Prinsip Muqabalah atau kecocokan (Mathcing)
yaitu suatu cermin yang memantulkan sebab akibat antara dua sisi, dari satu segi dan mencerminkan juga hasil atau dari hubungan tersebut dari segi yang lainnya.[5] Sebab, setiap sesuatu yang terjadi, pasti karena adanya suatu tindakan yang mendahuluinya, yang didasari oleh tujuan tertentu. Dan untuk selanjutnya, kedua kejadian tersebut harus saling dikaitkan guna mengetahui pengaruh-pengaruh yang di akibatkannya.
h
Adapun pengimplementasian prinsip akuntansi syariah yang diperkenalkan oleh Islam secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Transaksi yang menggunakan prinsip bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah.
2. Transaksi yang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam dan istishna.
3. Transaksi yang menggunakan prinsip sewa, seperti ijarah.
4. Transaksi yang menggunakan prinsip titipan, seperti wadiah.
5. Transaksi yang menggunakan prinsip penjaminan, seperti rahn.[6]
2.4. PRINSIP AKUNTANSI BERDASARKAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 282
Ayat Al-Quran yang menerangkan prinsip Akuntansi yang tedapat dalam surat Al-Baqarah ayat 282.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Ayat di atas merupakan ayat yang terpanjang yang ada dalam kitab suci Al-Quran yang membahas mengenai muamalah. Dalam hal ini perintah Allah SWT untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai telah mendorong setiap individu untuk senantiasa menggunakan dokumen ataupun bukti transaksi.[7] Berdasarkan ayat yang terpanjang tersebut maka kita dapat sedikit memahami prinsip-prinsip akuntansi yang terkandung dalam ayat tersebut, namun untuk lebih jelasnya dibawah ini sudah diuraikan kandungan yang ada di ayat tersebut mengenai akuntansi atau pencatatan.
a. Prinsip pertanggung jawaban
Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang khalik mulai dari alam kandungan.. manusia dibebani oleh Allah untuk menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait . Wujud pertanggungjawabannya biasanya dalam bentuk laporan akuntansi.
b. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan, jika ditafsirkan lebih lanjut, surat Al-Baqarah ayat 282 mengandung prinsip keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai inheren yang melekat dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapasitas dan energi untukberbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya.
Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah sebesar Rp 100 juta, maka akuntansi (perusahan) harus mencatat dengan jumlah yang sama .Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.
c. Prinsip Kebenaran
Prinsip kebenaran, prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, dalam akuntansi kita kan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran, kebenaran ini kan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi.
Kebenaran dalam Al-Quran tidak diperbolehkan untuk dicampur adukkan dengan kelebathilan. Namun, barangkali ada pertanyaan dalam diri kita, siapakah yang berhak menentukan kebenaran? Untuk hal ini tampaknya kita masih terkendala, namun sebagian muslim, selayaknya kita tidak risau atas hal tersebut. Sebab Al-Qur’antelah menggariskan, bahwa ukuran, alat atau instrumen untuk menetapkan kebenaran tidaklah berdasarkan nafsu[8]
Dengan demikian pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi
2.5. SIFAT-SIFAT AKUNTANSI SYARIAH
Akuntansi Islam mempunyai sifat-sifat sendiri dibandingkan dengan akuntansi-akuntansi lain terutama dalam sifat kejujuran. Muhammad Akram Khan merumuskan sifat akuntansi syariah sebagai berikut :
1. Penentuan laba rugi yang tepat
Walaupun penentuan laba rugi agak bersifat subjektif dan bergantung nilai, kehati-hatian harus dilaksanakan agar tercapai hasil yang bijaksana (atau dalam islam sesuai dengan syariah) dan konsisten sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua pihak pemakai laporan dilindungi.
2. Mempromosikan dan menilai egisiensi kepemimpinan
System akuntansi harus mampu memberikan standar berdasarkan hokum sejarah untuk menjamin bahwa menejemen mengikuti kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baik.
3. Ketaatan kepada hukum syariah
setiap aktifitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dinilai halal dan haramnya. Faktor ekonomi tidak harus menjadi alasan tunggal untuk menentukan berlanjut tidaknya suatu organisasi.
4. Keterikatan pada keadilan
Karena tujuan utama dari syariah adalah penerapan keadilan dalam masyarakat seluruhnya, informasi akuntan harus mampu melaporkan (selanjutnya mencegah) setiap kegiatan atau keputusan yang dibuat untuk menambah ketidak adilan dalam masyarakat.
5. Melaporkan dengan baik
Telah disepakati bahwa peranan perusahaan dianggap dari pandangan yang lebih luas (pada dasarnya bertanggungjawab kepada masyarakat secara keseluruhan). Nilai social ekonomi dari ekonomi islam harus diikuti dan dianjurkan. Informasi akuntansi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan hal ini.
6. Perubahan dalam praktek akuntansi
Peranan akuntansi yang demikian luas dalam kerangka islam memerlukan perubahan yang sesuai dan cepat dalam praktek akuntansi sekarang. Akuntansi harus mampu bekerja sama untuk menyusun saran-saran yang tepat untuk mengikuti perubahan ini.[9]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Akuntansi sebenarnya merupakan domain “muamalah” dalam kajian islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional seperti akuntansi kapitalis yang dibangun berdasarkan landasan piker sekuler.
Akuntansi dalam pandangan islam, ada beberapa poin yang sudah diuraikan diatas, seperti : memesukkan agama (Islam) sebagai ideology, kemampuan islam sebagai Ruh pembentuk akuntansi, Ekplorasi Nilai-nilai Islam, Islamisasi Akuntansi. Poin-poin tersebut menjelaskan landasan dan prinsip mengenai akuntansi syariah.
Prinsip-prinsip akuntansi sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Prof. Dr. Omar Abdullah Zaid, Akuntansi Syariah minimalnya ada empat prinsip yaitu prinsip legitimasi Muamalat, prinsip badan Hukum, prinsip Kontinuitas dan prinsip Muqabalah atau kecocokan.
Sedangkan prinsip akuntansi syariah bila ditinjau dari Al-Quran pada surat Al-Baqarah ayat 282, pada ayat tersebut terdapat beberapa prinsip yaitu prinsip pertanggung jawaban, prinsip keadilan, dan prinsip kebenaran. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi dasar hokum untuk akuntansi syariah.
Selain prinsip-prinsip, akuntansi syariah juga memiliki enam sifat. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Muhammad Akram Khan mengenai sifat akuntansi yaitu : penentuan laba rugi yang tepat, mempromosikan dan menilai efisiensi kepemimpinan, ketaatan kepada hokum syariah, keterikatan kepada keadilan, melaporkan dengan baik, perubahan dalam praktek akuntansi.
3.2. Saran
Kami mohon maaf jika dalam makalah kami masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka kami sarankan kepada para pembaca untuk membaca referensi lainnya agar para pembaca dapat memahami lebih jauh dan memberikan wawasan yang lebih luas tentang Prinsip-Prinsip Akuntansi Dalam Perspektif Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Fakhruddin A, Ahmad.2008. Akuntansi dan Ideologi, Perumusan Konsep Dasar Akuntansi Syariah. Malang: UIN-Malang Press.
Triyuwono,Iwan.2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Jakarta: Rajawali Pers.
Harahap, Sofyan Syafri. 2004. Akuntansi Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Nurhayati, Sri - Wasilah. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
Yaya, Rizal dkk. 2014. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat.
Anonimous.2011. “Prinsip Akuntansi Dalam Perspektif Islam”. Disitat pada tanggal 01 Desember 2015 pada web : http://blog.stie-mce.ac.id/istutik/2011/10/04/prinsip-akuntansi-dalam-perspektif-islam/.
Ajeng Intan Permatasari, Retyan. 2011. Syariah Accounting: konsep, Prinsip, dan kaidah akuntansi dalam perspektif islam. Disitat pada tanggal 01 Desember 2015 pada web: http://retyanajengintanpermatasari.blogspot.co.id/2011/10/syariah-accounting.html
Kurmakurma.Mengenal Akuntansi Syariah. Disitat pada tanggal 01 Desember 2015 pada web: https://kurmakurma.wordpress.com/ekonomi/mengenal-akuntansi-syariah/
[2] Ahmad Fakhrudin A, Akuntansi Dan Ideologi, Perumusan Konsep Dasar Akuntansi Syariah, Malang: UIN-Malang Press, 2008, Halaman 99.
[3] Fakhruddin A, Ahmad.2008. Akuntansi dan Ideologi, Perumusan Konsep Dasar Akuntansi Syariah. Malang: UIN-Malang Press.Halaman 108.
[4] Triyuwono,Iwan.2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Jakarta: Rajawali Pers cetakan ke-3. Halaman 198
[5] Retyan Ajeng Intan Permatasari. 2011. Syariah Accounting: konsep, Prinsip, dan kaidah akuntansi dalam perspektif islam. Disitat pada tanggal 01 Desember 2015 pada web: http://retyanajengintanpermatasari.blogspot.co.id/2011/10/syariah-accounting.html
[6] Sri Nurhayati, Wasilah. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat edisi ketiga
[7] Yaya, Rizal dkk. 2014. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat. Edisi kedua Halaman 2.
[8] Kurmakurma.Mengenal Akuntansi Syariah. Disitat pada tanggal 01 Desember 2015 pada web: https://kurmakurma.wordpress.com/ekonomi/mengenal-akuntansi-syariah/