|
Masjid Teuku Umar di Aceh |
C. Pandangan Islam Terhadap Harta dan Ekonomi [5]
Secara umum, tugas kekhalifahan
manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan
kehidupan (Al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas
(adz-Dzaariyaat : 56). Untukmenunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi
manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat “ sistem
kehidupan “ dan wasilah al-hayat “ sarana kehidupan .
Sebagaimana firmannya dalam QS. Lukman:20
“tidaklah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya
lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan)
Allah tanpa illmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi
penerangan” (QS. Lukman:20)
Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk
keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk
larangan melakukan atau sebaliknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut
dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.
Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin
keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama,
keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda,
maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok
atau primer.
Pelaksanaan Islam
sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan,
akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut
sebagai hayatan thayyibah (An-Nahl : 97).
Sebaliknya, menolak aturan itu
atau sama sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam kehidupan,
akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan
diakhirat nanti (Thaahaa : 124 – 126).
Aturan-aturan itu juga diperlukan
untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana
kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara
keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air,
tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam
kehidupan.
Sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah
ayat 29 yang artinya :
“Dialah Allah yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, dia Maha Mengetahui segala
sesuatu “
Dari keterangan diatas, islam
mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama: Pemilik
mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda,
adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas
untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan
ketentuan-Nya.
QS. Al-Hadiid: 7
“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka,
orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagigan dari
hartanya) mendapatkan pahala yang besar”.
QS. An-Nuur: 33
“… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah
yang dikaruniakan-Nya kepada kalian… ”
Dalam sebuah hadits
riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw. Bersabda, :
“ seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang
empath hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan,
hartanya kamu dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan serta ilmunya
untuk apa dipergunakan.”
Kedua: Status
harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut.
1.
Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT.
Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda
dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi ;
yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk
energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
2.
Harta sebagi perhiasan hidup yang
memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.
Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan
menikmati harta. Firman-Nya, “Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu :
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran : 14). Sebagai perhiasan
hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggan diri (Al-‘Alaq : 6 – 7).
3.
Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama
menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan
ajaran Islam ataukah tidak. (Al-Anfaal :
28)
4.
Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk
melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia,
melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah. (At-Taubah
: 41, 60 ; Ali Imran : 133-134).
Ketiga: Pemilikan
harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (a’mal)atau mata pencaharian
(ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an
dan hadits Nabi yang mendorong umat manusia bekerja mencari nafkah secara
halal.
QS. A-Mulk: 15
“Dialah Yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.”
QS. Al-Baqarah: 267
“Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik… “
Ayat
yang semakna akan kita temukan pada surat At-Taubah: 105, Al-Jamu’ah: 10, juga
dikemukakan dalam beberapa hadits, antara lain berikut ini:
“sesungguhnya Allah mencintai
Hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang
halal untuk keluarganya maka sama seperti mujahid di jalan Allah.” (HR Ahmad).
“Mencari rezeki yang halal adalah
wajib setelah kewajiban yang lain.” (HR
Tabrani)
“jika telah melakukan shalat
subuh, janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezeki.” (HR Tabrani)
Keempat: Dilarang
mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (At-Takaatsur : 1 – 2), melupakan
dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya ) (Al-Munaafiquun ; 9 ), melupakan shalat
dan zakat (an-Nuur ; 37), dan
memutuskan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
Kelima: Dilarang
menempuh usaha yang haram seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah : 273 –
281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (al-Maa’idah
: 90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maa’idah : 38 ),
curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin : 1 – 6) melalui
cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah : 188 ), dan melalui
suap-menyuap (HR Imam Ahmad )
Footnote:
[5] sebagian materi ini disadur dari bahan pelatihan
perbankan syariah Tazkia Institute yang disiapkan oleh Drs. K.H. Didin
Hafidhuddin, M.Sc..
Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman : 7 - 10
Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. ( Nio Gwan Chung
)