This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Traveling to Sabang Island

Janganlah berjalan di belakangku, karena mungkin aku tak bisa memimpinmu. Jangan pula berjalan di depanku, mungkin aku tak bisa mengikutimu. Berjalanlah di sampingku dan jadilah sahabatku.

Tebing With Dormitori's Friends

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Gurutee Montain

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Camping

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, 16 November 2014

Pemilu Dan Partai Politik Dalam Sistem Demokrasi

a.      Partai politik (parpol)

             Partai politk memiliki peran yang sangat strategis terhadap proses demokratisasi yaitu selain sebagai struktur kelembagaan politik yang anggotanya bertujuan mendapatkan kekuasaan dan kedudukan politik, mereka juga sebagai sebuah wadah bagi penampungan aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi nilai-nilai demokrasi yaitu peran serta masyarakat dalam melakukan control terhadap penyelenggaraan Negara melalui partai politik.

             Menurut pakar ilmu politik Miriam Budiardjo, ada 4 fungsi parpol dalam rangka pembangunan demokrasi, yakni :
1. Sarana komunikasi politik
2. Sarana sosialisasi politik
3. Sarana Rekrutmen kader dan anggota politik
4. Sarana pengatur konflik.

Sistem kepartaian dalam suatu Negara berbeda-beda. Antara lain :


1.      Sistem satu partai
              Dalam hal ini sama saja dengan tidak ada partai politik, karena hanya ada satu partai. Tentu pula partai tersebut yang mengendalikan Pemerintahan (the ruling party).
Contoh : Nazi di Jerman, Fascis di Italia, Partai Komunis di Uni Soviet,RRC,dan Vietnam.


2.      Sistem Dwi partai
             Dalam sistem ini terdapat dua partai yang menyalurkan aspirasi rakyat.
Contoh : Partai Republik dan Partai Demokrat di AS. Partai Konservatif dan Partai Buruh di Inggris.

3.      Sistem Multi Partai
            Sistem ini menganut lebih dari dua partai. Dalam sistem ini, Jika tidak ada partai yang meraih suara mayoritas, maka terpaksa dibentuk pemerintahan Koalisi. Penentuan suara mayoritas adalah “setengah di tambah satu”, yaitu bahwa sekurang –kurangnya lebih dari separuh jumlah anggota parlemen.
Contoh Negara yang menganut sistem ini adalah :
Jerman,Prancis,Jepang,Malaysia dan Indonesia.


b.      Pemilihan Umum.

Pemilihan umum adalah pengejawantahan (penjelmaan / perwujudan)  sistem demokrasi. Melalui pemilihan umum rakyat dapat memilih wakilnya untuk dapat duduk di kursi parlemen dan struktur pemerintahan. Pemilu sebagai sebuah demokrasi procedural adalah sarana untuk mewujudkan kedaulatan dan pemerintahan Negara.

Ada dua sistem pemilihan umum, yaitu : Pemilihan umum sistem distrik dan Pemilihan umum sistem proposional.

a.       System disttrik

System disrik merupakan daerah pemilihan dibagi atas distrik-distrik tertentu. Masing-masing distrik pemilihan, setiap parpol mengajukan satu calon.
Contoh:  2 atau 3 kecamatan merupakan satu distrik, partai x mencalonkan A untuk bersaing pada distrik tersebut, partai y mencalonkan B dan partai z mencalonkan C.

b.      System proporsional

System proporsional merupakan pemilu yang secara tidak langsung memilih calon yang di dukungnya karena para calon ditentukan berdasarkan nomor urut calon dari masing-masing parpol atau organisasi politik (orsospol)


Thursday, 13 November 2014

Pengertian Al-Makky Dan Al-Madany dan Penjelasannya

Pengertian  Al-Makky Dan Al-Madany

a.      Secara Etimologis

Kata al-Makky berasal dari kata “Makkah” dan al-Madany berasal dari kata “Madinah”. Secara harfiah, al-Makky atau al-Makkiah berarti yang bersifat Makkah atau yang berasal dari Makkah, sedangkan al-Madany  atau al-Madaniah berarti yang bersifat Madinah atau yang berasal dari Madinah. 

Maka ayat atau surah yang turun di Makkah disebut dengan ayat-ayat al-Makkiah sedangkan yang diturunkan di Madinah disebut dengan ayat-ayat al-Madaniah. 


b.      Secara terminologi

Sedangkan menurut istilah, al-Makki wal-Madani berarti suatu ilmu yang secara kusus membahas tentang tempat, waktu dan periode turunnya surah atau ayat al-Quran, baik di Makkah ataupun di Madinah. Ayat atau surah yang turun pada periode Makkah disebut dengan al-Makkiah dan ayat/surah yang turun pada periode Madinah disebut dengan al-Madaniyah.

Secara sederhana dapat dipetakan perbedaan pendapat para pakar ulumul Qur’an dalam mendefinisikan al-Makkiah dan al-Madaniyah tersebut, sebagai berikut:

1.      Al-Makki adalah surah atau ayat yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya, walaupun setelah hijrah. Sedangkan al-Madani adalah surah atau ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya.

2.      Al-Makki adalah ayat-ayat yang lebih khusus menyeru kepada penduduk Makkah sedangkan al-Madani adalah ayat-ayat yang menyeru kepada penduduk Madinah.

3.      Al-Makki adalah surah atau ayat yang turun kepada Nabi sebelum hijrah, sedangkan al-Madani adalah surah atau ayat yang turun kepada Nabi setelah hijrah. Berdasarkan definisi ini, maka ayat yang turun di Makkah setelah Nabi hijrah ke Madinah termasuk dalam kategori ayat al-Madaniyah.

Perbedaan pendapat diatas terjadi disebabkan oleh berbedanya standard atau cara pandang para ulama dalam menentukan definisi. 


Ada tiga standard yang dijadikan sebagai dasar: 
Pertama,  tempat turun ayat (makan an-nuzul); 
kedua,      person atau masyarakat yang menjadi objek pembicaraan;  
ketiga,      waktu turunnya ayat(zaman an-nuzun) .  

Diantara ketiga definisi diatas dan dari standard yang dipakai masing-masing, nampak jelas yang paling masyhur adalah definisi terakhir, yaitu menentukan al-Makki dan al-Madani berdasarkan waktu sebelum dan sesudah hijrah nabi, maka yang turun sebelum hijrah adalah al-Makkiah, adapun sesudahnya maka al-Madaniah. 



Penjelasannya  :


1.       Definisi Al Makky wa Al Madany berdasarkan lokasi (Makan an-nuzul):

“Makkiyah adalah yang diturunkan di Mekkah, sekalipun setelah hijrah dan Madaniyah adalah yang diturunkan di Madinah”

Dari definisi ini, para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Makkiyah adalah semua surah atau ayat yang turun di Mekkah  dan sekitarnya seperti Mina, Arafah dan lain-lainnya. Sedangkan Madaniyah adalah semua surah atau ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti Badar, Uhud dan lain-lainnya.

Namun definisi berdasarkan lokasi ini memiliki kelemahan  tidak dapat mencakup semua hal  dengan batasan  yang jelas. Pada kenyataanya ada surah atau ayat yang turun di suatu lokasi  yang jauh di luar kota Mekkah maupun Madinah. Sehingga   tidaklah tepat jika digolongan  ke daerah sekitar Mekkah atau Madinah.Sebagai contoh surah At  Taubah ayat 43 yang turun di Tabuk  dan  surah Az Zukhruf ayat 45 yang turun di Baitul Maqdis saat Nabi SAW. sedang melakukan Isra. Tabuk  dan Baitul Maqdis adalah dua daerah yang jaraknya sangat jauh dari Mekkah maupun Madinah. Tentu menjadi sangat sulit menentukan pengolongan surah At Taubah ayat 43 dan  surah Az Zukhruf ayat 45 tersebut

2.     Definisi Al Makky wa Al Madany  berdasarkan individu atau masyarakat yang menjadi objek pembicaraan/ sasaran seruan ( Khitabah) :


“Makkiyah adalah  bila Khitabahnya ditujukan kepada penduduk Mekkah dan Madaniyah adalah  bila Khitabahnya ditujukan kepada penduduk Madinah”

Lewat definisi ini para ulama menyatakan bahwa setiap surah atau ayat yang dimulai dengan redaksi “Ya Ayyuhan Naasu”( Hai sekalian manusia) adalah Makkiyah karena pada masa itu penduduk Mekkah pada umumnya masih kafir. Walaupun seruan itu juga ditujukan kepada selain penduduk Mekkah. Sedangkan setiap surah atau ayat yang dimulai dengan redaksi“Ya Ayyuhalladzina Aamanu”( Hai sekalian orang beriman) adalah Madaniyah karena pada masa itu penduduk Madinah pada umumnya sudah beriman . Meskipun seruan itu juga ditujukan kepada selain penduduk Madinah.
Sehubungan  dengan ciri umum redaksi dari Makkiyah dan Madaniyah tersebut, sebagian ulama di antaranya  Az Zarqani memberikan sebuah tambahan keterangan. Tambahan keterangan itu yakni bila suatu surah atau ayat diawali dengan redaksi “Ya Bani Adam “ ( Hai keturunan Adam), maka kedudukannya sama dengan surah atau ayat yang diawali  dengan “Ya Ayyuhan Naasu”( Hai sekalian manusia).
Akan tetapi sebagimana definisi berdasarkan lokasi, definisi berdasarkan Khitabah ini pun cakupanya kurang komprehensif(menyeluruh). Walhasil menimbulkan celah-celah kerumitan  permasalahan, antara lain karena:


a.         Tidak semua surah atau ayat diawali dengan redaksi“Ya Ayyuhan Naasu” (Hai sekalian manusia) maupun redaksi “Ya Ayyuhalladzina Aamanu”(Hai sekalian orang beriman). Contoh surah Al Ahzab yang dimulai dengan redaksi “Ya Ayyuhan Nabiyyu”( Hai Nabi)  juga surah Al Munafiqun yang diawali dengan redaksi “Idzaajaa akalmunaafiquuna” (Bila datang kepadamu orang-orang munafik)


b.       Ayat-ayat yang menyusun suatu surah bisa berbeda-beda redaksi awalnya satu sama lain. Contoh surah Al Hajj yang  pada ayat pertamanya dimulai dengan redaksi “Ya Ayyuhan Naasu”( Hai sekalian manusia), tetapi pada ayat ke -77 dimulai dengan redaksi redaksi “Ya Ayyuhalladzina Aamanu”( Hai sekalian orang beriman).


3.     Definisi Al Makky wa Al Madany berdasarkan  masa turunnya surah atau ==(Zaman An-Nuzul)


“Makkiyah adalah yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya di luar kota Mekkah. Sedangkan Madaniyah  adalah yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, meskipun turunnya  di luar kota Madinah”.

Definisi berdasarkan  masa turunnya surah atau ayat merupakan definisi yang paling populer di kalangan ulama. Penyebabnya definisi ini mencakup pembagian Makkiyah dan  Madaniyah secara lebih tepat ketimbang-ketimbang definisi lainnya. Dengan memakai definisi berdasarkan  masa turunnya surah atau ayat, kesulitan atau permasalahan yang timbul dari  kedua definisi lainnya dapat terpecahkan. Contohnya surah At  Taubah ayat 43 yang turun di Tabuk  dan  surah Az Zukhruf ayat 45 yang turun di Baitul Maqdis.  Keduanya sulit ditentukan penggolongannya jika  berpegang pada definisi berdasarkan lokasi. Namun dengan definisi berdasarkan  masa turunnya surah atau ayat, maka surah At  Taubah ayat 43 dan  surah Az Zukhruf ayat 45 secara pasti dapat digolongkan sebagai Makkiyah.  Oleh karena keduanya turun sebelum Nabi SAW. hijrah ke Madinah.


Ciri-ciri Ekonomi Islam

Ciri-ciri Ekonomi Islam

Dalam pelaksanaannya, prinsip-prinsip tersebut menimbulkan hal-hal sebagai berikut yang kemudian menjadi ciri ekonomi islam (Mohammad, 1992;62-65).

1.      Pemilikan. Oleh karena manusia itu berfungsi sebagai khalifah yang berkewajiban untuk mengelola alam ini guna kepentingan umat manusia maka ia berkewajiban mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya alam. Dalam menjalankan tugasnya,lambat laun ia dapat membentuk kekayaan yang menjadi miliknya. Meskipun ia memilikinya , namun ia tidak diperkenankan untuk merusaknya atau membakarnya, ataupun menelantarkannya, mengingat bahwa kepemilikan ini adalah relatif dan juga merupakan titipan dari Allah SWT (Mohammad,1992;62-65)

2.      Atau dijadikan mdal untuk suatu perusahaan swasta, atau ikut ambil bagian dari modal yang ditawarkan untuk investasi. Bisa saja perusahaan memberikan keuntungan, bahkan kerugian. Karena tidak mau memikul bersama kerugian, maka pemilik memikulkan bunga modal perusahaan. Jelas dalam islam tidak diperkenankan. Sama hal nya jika kita meminjam uang ke bank kita harus membayar bunga modal, tetapi kalau modalnya dipergunakan untuk perusahaan sendiri, dengan dalih “cost of money” ia memperhitungkan bunga (Muhammad, 1992;62-65).

3.      Pelaksanaan perintah untuk berlomba-lomba berbuat baik. Ini dapat dimengerti dalam dua hal. Pertama berbuat baik atau amal saleh, dan kedua perbaikan mutu atau kualitas. Dari sekian banyak perbuatan baik untuk mendapat ridho Allah itu adalah sadaqah baik kepada orang seorang, atau asrama yatim piatu. Juga membantu perusahaan untuk ditingkatkan agar dapat mengatasi persoalan perusahaannya. “small business service” ini sudah dilaksanakan oleh beberapa perusahaan besar yang berkewajiban mempergunakan 5 % dari keuntungannya guna menolong mereka (Muhammad, 1992;62-65).

4.      Thaharah atau bersuci, kebersihan. Tidak hanya individu, tetap juga masyarakat, pemerintah, perusahaan diwajibkan menjaga kebersihan. Karena setiap gerakan memerlukan, sebagai masukan, antara lain energi; maka sewaktu  ia bergerak, ia mengeluarkan kotoran yang harus dibuang. Kalau pembuangannya sembarangan, maka akan timbul kerusakan lingkungan. Contoh kecil adalah kencing dibawah pohon atau didalam lubang yang dilarang dalam agama.

5.      Produk barang dan jasa harus halal. Baik cara memperoleh dan pengolahannya harus dapat dibuktikan halal. Tidaklah dapat dibenarkan bahwa hasil usaha yang haram digunakan untuk membiayai yang halal.

6.      Keseimbangan. Allah tidak menghendaki seseorang menghabiskan tenaga dan waktunya untuk beribadah dalam arti sempit, akan tetapi harus mengusahakan kehidupannya didunia. Ia tidak boleh boros, akan tetapi ia juga tidak boleh kikir. Janganlah seseorang terlalu senang terhadap harta bendanya, tetapi juga jangan terlalu sedih manakala ia kekurangan rezeki.

7.      Upah tenaga kerja, keuntungan dan bunga. Upah tenaga kerja diupayakan agar sesuai dengan prestasi dan kebutuhan hidupnya. Ini mengakibatkan kuntungan menjadi kecil yang diterima oleh pemilik saham yang pada umumnya berkehidupan lebih baik dari mereka. Akibatnya daya beli orang-orang kecil ini bertambah besar, dan perusahaan lebih lancar usahanya.

8.      Upah harus dibayarkan dan jangan menunggu keringat mereka jadi kering, mereka jadi menunggu gaji, menunggu itu semua sama dengan menderita. Jaga juga agar harga dapat rendah karena efisiensi dan tak ada bunga yang dibayarkan kepada pemilik modal yang tidak bekerja.

9.      Bekerja baik adalah ibadah, antara lain shalat, ibadah dalam arti sempit, bekerja baik juga ibadah, tetapi dalam arti luas. Bekerja untuk diri sendiri dan keluarga, syukur dapat memberi kesempatan kerja bagi orang lain.

10.  Kejujuran dan tepat janji. Segala perbuatan seseorang harus mengandung kejujuran, baik berbicara, takaran dan timbangan, serta mutu, dan selalu menepati janjinya.Kelancaran pembangunan. Ciri tersebut diatas dapat menjamin bahwa pembangunan dapat dilaksanakan dengan lancar. Pembangunan wajib dijalankan untuk mencapai negeri yang indah, dan allah memberi ampunan. 

Prinsip Ekonomi Islam

 Prinsip Ekonomi Islam

         Menurut Metwally (dalam Zaenal Arifin, 2002), prinsip-prinsip ekonomi islam secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut.

1.      Sumber daya dipandang sebagai amanah Allah kepada manusia, sehingga pemanfaatannya haruslah bisa dipertanggung jawabkan diakhirat kelak. Implikasinya adalah manusia harus menggunakannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

2.      Kepemilikan pribadi diakui dalam batas-batas tertentu yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengakui pendapatan yang diperoleh secara tidak sah.

3.      Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi islam(QS 4:29). Islam mendorong manusia untuk bekerja dan berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan.

4.      Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir orang-orang kaya, dan harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5.      Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya dialokasikan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari oleh sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak yang sama atas air, padang rumput dan api.

6.      Seorang muslim harus tunduk kepada allah dan hari pertanggungjawaban di akhirat. Kondisi ini akan mendorong seorang muslim menjauhkan diri dari hal-hal yang berhubungan dengan maisir, gharar, dan berusaha dengan cara yang batil, melampaui batas dan sebagainya.

7.      Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas(nisab). Zakat ini merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan.

8.      Islam melarang riba dalam segala bentuknya.

Pengertian Ekonomi Islam

Pengertian Ekonomi Islam

       Berbagai ahli ekonomi muslim memberikan definisi ekonomi islam yang bervariasi, tetapi pada dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang islami.

Berikut adalah beberapa definisi-definisi Ekonomi Islam dari ekonomi muslim terkemuka saat ini :

a.       Hazanuzzaman (1984) dan Metwally (1995).

Ekonomi islam merupakan ilmu ekonomi yang diturunkan dari ajaran Alquran dan sunnah. Segala bentuk pemikiran ataupun praktik ekonomi yang tidak bersumberkan dari Alquran dan sunnah tidak dapat dipandang sebagai ekonomi islam.

b.      Mannan (1993), Ahmad (1992), dan Khan (1994).

Ekonomi islam merupakan implementasi sistem etika islam dalam kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk pengembangan moral masyarakat. 

c.       Siddiqie (1992) dan Naqvi (1994).

Ekonomi islam merupakan representasi perilaku ekonomi umat muslim untuk melaksanakan ajaran islam secara menyeluruh. Analisis ekonomi setidaknya dilakukan dalam tiga aspek, yaitu norma dan nilai-nilai dasar islam, batasan ekonomi dan status hukum, dan aplikasi dan analisis sejarah. 

d.       M. Syauqi Al-faujani

Ekonomi Islam merupakan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang ekonomi.


Dari beberapa pemikiran para ekonomi muslim maka dapat didefinisikan bahwa ekonomi islam adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya untuk mencapai falah berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai Al-Qur'an dan sunnahnya.


Ekonomi Islam merupakan suatu ilmu dan praktek kegiatan ekonomi berdasarkan pada ajaran Islam yakni ajaran yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Nabi (Hadits) dengan esensi tujuan ekonomi islam adalah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.


Sejak abad ke-8 telah muncul pemikiran-pemikiran ekonomi islam secara parsial, misalnya peran negara dalam ekonomi, kaidah berdagang, mekanisme pasar, dan lain-lain, tetapi pemikiran secara komprehensif terhadap sistem ekonomi islam sesungguhnya baru muncul pada pertengahan abad ke-20 dan semakin marak sejak dua dasawarsa terakhir.




kesimpulan 

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ekonomi islam bukan hanya merupakan praktik kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu dan komunitas muslim yang ada, namun juga merupakan perwujudan prilaku ekonomi yang didasarkan pada ajaran islam. Ia mencakup cara memandang permasalahan ekonomi, menganalisis dan mengajukan alternatif solusi atas berbagai permasalahan ekonomi. Ekonomi islam merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran islam secara kaffah dalam aspek ekonomi. Oleh karena itu, perekonomian islam merupakan suatu tatanan perekonomian yang dibangun atas nilai-nilai ajaran islam yang diharapkan, yang belum tentu tercermin pada perilaku masyarakat muslim yang ada pada saat ini.



Jurusan     : Ekonomi Syariah
Fakultas    : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Universita  : UIN AR-RANIRY
Unit            :  7



Wednesday, 12 November 2014

Macam-macam Hadits Dho’if

Macam-macam Hadits Dho’if


Hadist Dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: Hadits Dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

a.         Hadits dhaif karena gugurnya rawi

Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya.Ada beberapa pembangian untuk hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu:

1)        Hadits Mursal

Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.

2)        Hadits Munqathi’

Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.

3)        Hadits Mu’dhal

Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.

4)        Hadits mu’allaq

Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bias juga bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).



b.        Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi


Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.

Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi: 

1)        Hadits Maudhu’

Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya.

2)        Hadits matruk atau hadits mathruh

Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.

3)        Hadits Munkar

Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat.

4)        Hadits Mu’allal

Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.

5)        Hadits mudraj

Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu.

6)        Hadits Maqlub

Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.

7)        Hadits Syadz

Secara bahasa, hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.

Macam- macam Hadits Dho’if dan Contohnya

Macam-macam Hadits Dho’if


Hadist Dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: Hadits Dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi

Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa pembangian untuk hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu:

1) Hadits Mursal

Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal:


Artinya:Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.

2) Hadits Munqathi’

Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits munqathi’:


Artinya: Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.


Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.

3) Hadits Mu’dhal

Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi: Imam Malik berkata: Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:


Artinya: Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.

Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.

4) Hadits mu’allaq


Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bias juga bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh: Bukhari berkata: Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira,


bahwa Rasulullah SAW bersabda:


Artinya:Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.

Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis (yang menyembunyikan cacat hadits). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.

b.  Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi



Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.


Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi:

1)  Hadits Maudhu’

Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya.
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.

Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a. Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b. Adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c. “Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah”.


Demikianlah sedikit uraian mengenai hadits maudhu’. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat beberapa hadits tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah membuat 3000 hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.

2)  Hadits matruk atau hadits mathruh

Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.

 3) Hadits Munkar


Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya:“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”

Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.

4)  Hadits Mu’allal


Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.

5)  Hadits mudraj


Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh:
Rasulullah bersabda: “Saya adalah za’im (dan za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan (dengan tempat tinggal di taman surga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.

6)   Hadits Maqlub

Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh:
Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi: Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.

7)  Hadits Syadz

Secara bahasa, hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :

“Rasulullah bersabda: “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.