Macam-macam
Hadits Dho’if
Hadist Dhaif dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu: Hadits Dhaif karena gugurnya rawi dalam
sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan
gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada
dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau
akhirnya. Ada beberapa pembangian untuk hadits dhaif yang disebabkan karena
gugurnya rawi, antara lain yaitu:
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut
bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa
hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud
dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan
orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan
akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang
membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan
Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah.
Contoh hadits mursal:
Artinya:Rasulullah bersabda, “ Antara kita
dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh;
mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya
dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu
kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama
memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa
diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil
ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat
menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut
etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits
munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan
menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka
rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah
rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila
dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu
dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits munqathi’:
Artinya: Rasulullah SAW. bila masuk ke
dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya
Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin
Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan
selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah
hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah
binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan
tabi’in.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits
mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama
bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih,
secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai
hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi: Imam Malik berkata: Telah
sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Budak itu harus diberi makanan dan
pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik
tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu
Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik
di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari
Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi
yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits
mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini
ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bias juga bila
semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh: Bukhari berkata: Kata Malik, dari Zuhri,
dan Abu Salamah dari Abu Huraira,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:Janganlah kamu melebihkan sebagian
nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat
Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian,
Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang
termasuk dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341
buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits
tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis (yang
menyembunyikan cacat hadits). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu
disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang
dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan
berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi.
Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan
hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan
sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan
di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian
yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada
matan atau rawi:
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits
ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah
SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits
palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah
umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau
sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya.
Hadits maudhu’ merupakan
seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang
berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap
diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits
maudhu’:
a. Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin
Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari
kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera
Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua
rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b. Adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak
masuk surga tujuh turunan”. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ”
Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c. “Siapa
yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk
surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ),
Jibril, dan Muawiyah”.
Demikianlah sedikit uraian mengenai hadits
maudhu’. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak
kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan,
seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat
beberapa hadits tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah hadits tentang
keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum
pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah membuat 3000
hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.
2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut
bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang
yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai
urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita,
tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari
serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur
Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab.
Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah
tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya:“Barangsiapa yang mendirikan
shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya
masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah
dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits
mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa
hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat
yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli
boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin
Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan
selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah
diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah
bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki
pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari
hadits itu. Contoh:
Rasulullah bersabda: “Saya adalah za’im (dan
za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan
berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah
sisipan (dengan tempat tinggal di taman surga), karena tidak termasuk sabda
Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti
hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi
pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran
suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh:
Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh
kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari
sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi: Rasulullah SAW
bersabda : “Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku
suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini
berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu
berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga
dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits
lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
“Rasulullah bersabda: “Hari arafah dan
hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari
serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata
ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan
. Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan
merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini
adalah hadits mahfuzh.