D. PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
1.
Latar
Belakang Bank Syari’ah
Berkembangnya bank-bank syari’ah di
negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an,
diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan.
Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A.
Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien azis, dan
lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan.
Di antaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung, yang sempat tumbuh
mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi,
yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus
untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan
Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil
lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional I MUI yang
berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat
Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak
terkait
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai
hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut. Akte pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat
penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak
Rp 84 miliar.
Pada tanggal 3 November 1991, dalam
acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total
komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,00. Dengan modal awal
tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih dari 45
outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan
Makassar.
Pada awal pendirian Bank Muamalat
Indonesia, keberadaan bank syari’ah ini belum mendapat perhatian yang optimal
dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang
menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem
bagi hasil”, tidak terdapat rincian ladasan hukum syari’ah serta jenis-jenis
usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No.7 Tahun
1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya
sepintas dan merupakan “sisipan” belaka.
Perkembanga perbankan syariah pada
era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undan- Undang No. 10 Tahun 1998.
Dalam Undang- Undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta
jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh Bank
Syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi Bank Konvensional
untuk membuka cabang Syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi
Bank Syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut
antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan
dalam bidang perbankan syariah bagi stafnya. Sebagian Bank Konvensional
tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang Syariah dalam
institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya
menjadi Bank Syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan
mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari
seluruh bagian perbankan, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP
(Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), Kredit, Pengawasan,
Akuntansi, Riset, dan Moneter.[24]
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan
Bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasional pada Prinsip
Syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai
salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex BDN), yang kemudian
dikonversikan menjadi Bank Syariah secara utuh. Dalam rangka melancarkan proses
konversi menjadi Bank Syariah, BSM menjalin kerjasama dengan Tazkia
Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi.
Sebagai salah satu Bank yang dimiliki
oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang sangat luas, Bank
Syariah Mandiri memiliki beberapa keunggulan komparatif dibandingkan
pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik terakhir di Aceh menjadi blessing in disguise bagi Bank
Syariah Mandiri. Hal ini karena Bank Syariah Mandiri menyerahkan seluruh cabang
Bank Mandiri yang ada di Aceh kepada Bank Syariah Mandiri untuk dikelola
secara Sistem Syariah. Hal ini jelas akan meningkatkan secara pesat aset
Bank Syariah Mandiri dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp 400 miliar
menjadi di atas 2 hingga 3 triliun. Perkembangan ini diikuti pula dengan
peningkatan jumlah cabang Bank Syariah Mandiri, yaitu dari 8 cabang menjadi 20
cabang.
Satu perkembangan lain perbankan
syariah di Indonesia pascareformasi adalah diperkenankannya konversi cabang
bank Umum konvensional menjadi cabang syariah. [25]
Beberapa bank yang sudah dan akan membuka cabang syariah di
antaranya :
1.
Bank
IFI (membuka cabang Syariah pada 28 Juni 1999)
2.
Bank
Niaga (akan membuka cabang syariah)
3.
Bank
BNI `46 (telah membuka 5 cabang Syariah)
4.
Bank
BTN (akan membuka cabang Bank Syariah)
5.
Bank
Mega (akan mengkonversi satu anak Bank Konvensionalnya menjadi Bank Syariah)
6.
Bank
BRI (telah membuka cabang Syariah)
7.
Bank
BUKOPIN (telah melakukan konversi menjadi Bank Syariah di cabang Aceh)
8.
BPD
JABAR (telah membuka cabang Syariah di Bandung)
9.
BPD
Aceh (tengah menyiapkan SDM untuk konversi cabang Syariah)
Catatan: data per November 2000
~~ * * * ~~
Footnote :
[23] bank Muamalat, Annual
Report (Jakarta,1999)
[24] Bank Indonesia, Petunjuk
Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah (Jakarta: Bank Indonesia,1999)
[25] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir Dan Praktisi Keuangan (Jakarta; Central
Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999)
Daftar Pustaka:
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insana Press.
Halaman : 25 – 28
Meteri ini dari buku : Bank Syariah: Dari teori ke praktik
Penulis: Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec.
( Nio Gwan Chung )