Sunday, 15 February 2015

PENDAHULUAN



MENGAPA PENDIDIKAN KEWARGAAN

Gagasan Awal Kewarganegaraan
          Istilah Kewarganegaraan (terjemah dari “citizenship”) telah dikenal sejak zaman Aristoteles (384-322 BC). Dalam bukunya yang berjudul “Politics”, Aristoteles menjelaskan tentang citizenship sebagai gagasan awal terdapat dalam Buku III The Theory of Citizenship and Constitution. Menurut Aristoteles, kewarganegaraan tidak ditentukan oleh penduduk atau hanya sekedar kemampuannya di depan pengadilan. Warga negara adalah seseorang yang secara permanen menjalankan pemerintahan yang berkeadilan dan memegang jabatan. Dalam definisi ini konsep kewarganegaraan bersifat kontekstual, artinya konsep ini tidak steril terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat dan pemerintahan di negara tersebut. Masalah kewarganegaraan terkait dengan masalah manusia dalam arti penduduk, rakyat, warga negara dan pemerintah negara tertentu. Konsep kewarganegaraan (citizenship) sangat kental dengan rakyat sebagai unsur/pihak yang diperintah (ruled) dan pemerintah (ruler) sehingga dua unsur negara tidak mungkin dapat dipisahkan. 

           Pada masa awal lahirnya konsep negara dalam arti yang masih sederhana, yakni pada era Negara Kota (City State) di Yunani, konsep kewarganegaraan dapat dijadikan sebagai dasar untuk memahami konstitusi dan hakikat negara. Pada masa negara kota (polis), warga negara didefinisikan dengan kriteria yang cukup terbatas, yakni hanya orang yang terlibat dalam proses pelaksanaan pengadilan ( The holding of office).  Definisi ini tentu tidak sejalan dengan konsep kewarganegaraan dalam arti populer dan pragmatis yang menyatakan bahwa kewarganegaraan diperoleh melalui kelahiran keturunan, misalnya berasal dari salah satu orang tua atau kedua orangtuanya.


          Pada masa Yunani Kuno, kelas mekanik terdiri atas kaum budak atau orang asing sehingga tidak aneh apabila hingga saat ini banyak kelas mekanik adalah kaum budak atau orang asing.


          Bentuk negara kota pada masa Yunani Kuno, tidak mungkin menjadikan seorang mekanik sebagai warga negara.  Ketika seorang mekanik diakui sebagai warga negara maka kita harus menyatakan bahwa tidak semua orang dapat mencapai status warga negara yang baik. Mekanik dan buruh, misalnya, yang bekerja untuk masyarakat, apalagi seorang budak hanya bekerja untuk seseorang. Pada masa Yunani Kuno, mereka tidak termasuk yang berpartisipasi dalam pelaksanaan peradilan dan memegang jabatan publik. Menurut Aristoteles, mereka tidak dapat menjadi warga negara sebelum mereka mencapai warga negara yang baik.

          Menurut Lynch, kewarganegaraan seringkali diidentikkan dengan ideologi nasionalistik yang dicankokkan ke dalam kesadaran individu dan identitsa personal dalam bentuk superioritas nilai.


          Bagi sebuah negara-bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kenegaraan dan kebangsaan, konsep kewaranegaraan dan kebangsaan, konsep kewarganegaraan (citizenship) menempati kedudukan yang stra tegis sehingga telah menjadi konsep sentral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.


Ada 8 faktor permasalahan utama dalam kewarganegaraan yaitu:
1. Kegagalan pendidikan kewarganegaraan di negara tertentu
2. Proses kewarganegaraan memulai dengan didefinisikan hak-hak warga negara di bawah      kerangka negara-bangsa menurut kriteria suprasional
3. Menghantarkan masalah HAM dan kebebasan begitu cepat meluas
4. Yang terkait dengan faktor ketiga adalah adalah internasionalisasi upaya pendidikan         yang lebih tajam daripada yang terjadi di bawah organisasi internasional
5. Peningkatan transportasi internasonal mengakibatkan terjadinya perpindahan warga         negara dalam jumlah besar dari satu negara ke negara lain
6. Pertumbuhan internasionalisasi industri, bisnis dan periklanan serta ketergantungan            ekonomi bangsa-bangsa
7. Internasionalisasi polusi
8. Meredanya pertentangan militer antara Timur dan Barat



KONSEP DASAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)

     Muhammad Numan Somantri merumuskan pengertian Civics sebagai Ilmu Kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan: a) manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganissi [organisasi sosial, ekonomi, politik]; b) individu-individu dengan negara. Jauh sebelum itu,  Edmonson (1958) menyatakan bahwa makna Civicss selalu didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pemerintahan dan kewarganegaraan yang terkait dengan kewajiban, hak dan hak-hak istimewa warga negara.

          Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan Civics adalah Citizenship. Dalam hubungan ini Stanley E. Dimond, seperti dikutip Somantri, menjelaskan rumusan sebagai berikut: “Citizenship as it relates to school activities has two-fold meaning. In a narrow-sense, citizenship includes only legal status in country and the activities closely related to the  political function-voting, governmental organization, holding, of office and legal right and responsibility...” (Citizenship sebagaimana berkehubungan dengan kegiatan-kegiatan sekolah mempunyai dua pengertian dalam arti sempit, citizenship hanya mencakup status hukum warga negara dalam sebuah negara, organisasi pemerintah, mengelola kekuasaan, hak-hak hukum dan tanggung jawab).

       Pendidikan Demokrasi secara substantif menyangkut sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan yang meliputi unsur-unsur hak, kewajiban dan tanggung jawab warga negara dalam suatu negara.

           Dalam catatan sejarahnya, Pendidikan Kewarganegaraan muncul dari gagasan yang lahir dari pandangan masyarakat yang memandang penting pendidikan ini. 

       Menurut  Azyumardi Azra, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas dari Pendidikan Demokrasi dan Pendidikan HAM karena mencakup kajian dan pembahasan tentang banyak hal, seperti: pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam Masyarakat Madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam  pemerintahan, politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang HAM, kewarganegaraan aktif dan sebagainya.


         Zamroni juga berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah Pendidikan Demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru tentang kesadaran bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat; demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain; kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.

Menurut Soemantri, Pendidikan Kewarganegaraan ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:
a. Civic Education adalah kegiatan yang meliputi seluruh program sekolah;
b. Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan perilaku yang lebih baik dalam masyarakat demokrtis; dan
c. Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat objektif untuk hidup bernegara.




STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN  KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)

1. Standar Kompetensi

        Standar kompetensi adalah kualifikasi atau ukuran kemampuan dan kecakapan seseorang yang mencakup seperangkat pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dapat disimpulkan bahwa standar kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic education) adalah menjadi warga negara yang cerdas dan berkeadaban ( Intelligent and Civilied Citizens). 


2. Kompetensi Dasar

          Dalam  pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kompetensi dasar, atau sering disebut kompetensi minimal, pertama: kompetensi pengetahuan kewargaan (civic knowledge), yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewarganegaraan (civic education), yaitu demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani ; kedua, kompetensi sikap kewargaan (civic disposition), yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan kesadaran dan komitmen warga negara antara lain komitmen akan kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan dan komitmen untuk peduli serta terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan warga negara yang terkait dengan pelanggaran HAM, dan ketiga, kompetensi keterampilan kewargaan (civic skills), yaitu kemampuan dan kecakapan mengartikulasikan keterampilan kewargaan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan pmerintahan.


3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (civic eduction)

        Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang antara lain:
a. Membentuk kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab      dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ;
b. Menjadikan warga Indonesia yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis, namun tetap    memiliki komitmen menjaga persatuan dan integritas bangsa; dan
c. Mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan,  toleransi, dan tanggung jawab.



RUANG LINGKUP MATERI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)

      Materi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) terdiri dari 3 materi pokok, yaitu demokrasi, hak asasi manusia dan Masyarakat Madani (civil society).

        Ketiga materi pokok tersebut dielaborasikan ke dalam 10 materi  yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Kesepuluh materi tersebut adalah : 
1) Pendahuluan; 
2) Pancasila dan Keharusan Aktualisasi; 
3) Identitas Nasional dan Globalisasi; 
4) Demokrasi: Teori dan Praktik; 
5) Konstitusi dan Tata Perundang-undangan Indonesia; 
6) Negara; Agama dan Warga Negara; 
7) Hak Asasi Manusia; 
8) Otonomi Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
9) Tata Kelola Kepemerintahan yang Bersih dan Baik (Clean and Good Governance); dan 10) Masyarakat Madani (civil Socety).



PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)

   Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) mengembangkan paradigma pembelajaran demokratis, yakni orientasi pembelajaran yang menekankan pada upaya pemberdayaan mahasiswa sebagai bagian warga negara Indonesia secara demokratis.

    Paradigma demokratis dalam proses pendidikan kewarganegaraan ini dalam implementasinya adalah suatu proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subjek daripada objek pembelajaran. Materi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan disusun berdasarkan pada kebutuhan mendasar dan universal warga negara yang semakin kritis dan saling terkait sama dengan yang lainnya.


URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION) BAGI PEMBANGUNAN BUDAYA DEMOKRASI DI INDONESIA

         Menurut Ahmad Syafi’i Ma’rif, demokrasi bukanlah sebuah wacana, pola pikir, atau perilaku politik yang dapat dibangun sekali jadi. Menurutnya, demokrasi adalah proses di mana masyarakat dan negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara social, ekonomi maupun politik. Dari sudut pandang ini, demokrasi dapat tercipta apabila masyarakat dan pemerintaha bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

     Proses demokratisasi Indonesia membutuhkan topangan budaya demokrasi yang genuine. Tanpa dukungan budaya demokrasi, proses transisi demokrasi masih rentan terhadap berbagai ancaman budaya dan perilaku tidak demokratis warisan masa lalu, seperti perilaku anarkis dalam menyuarakan pendapat, politik uang (money politics), pengerahan massa untuk tujuan politik, dan penggunaan symbol-simbol primordial (suku dan agama) dalam berpolitik.

     Dua alasan, menurut Azra, mengapa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia dalam membangun demokrasinya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political illiteracy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya di kalangan warga negara. Kedua, meningkatnya political apathism (apatisme politik) yang ditinjukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses politik. Jika demokrasi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar atau dimundurkan (point of no return) bagi bangsa Indonesia, maka Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah salah satu upaya penyemaian budaya demokrasi. Upaya ini tidak bias diabaikan oleh bangsa yang memiliki komitmen kuat menjadi lebih demoratis dan bermartabat.


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment