Gagasan
Awal Kewarganegaraan
Istilah Kewarganegaraan (terjemah dari
“citizenship”) telah dikenal sejak zaman Aristoteles (384-322 BC). Dalam
bukunya yang berjudul “Politics”, Aristoteles menjelaskan tentang citizenship
sebagai gagasan awal terdapat dalam Buku III The Theory of Citizenship and
Constitution. Menurut Aristoteles, kewarganegaraan tidak ditentukan oleh
penduduk atau hanya sekedar kemampuannya di depan pengadilan. Warga negara
adalah seseorang yang secara permanen menjalankan pemerintahan yang berkeadilan
dan memegang jabatan. Dalam definisi ini konsep kewarganegaraan bersifat
kontekstual, artinya konsep ini tidak steril terhadap perubahan yang terjadi di
masyarakat dan pemerintahan di negara tersebut. Masalah kewarganegaraan terkait
dengan masalah manusia dalam arti penduduk, rakyat, warga negara dan pemerintah
negara tertentu. Konsep kewarganegaraan (citizenship) sangat kental dengan
rakyat sebagai unsur/pihak yang diperintah (ruled) dan pemerintah (ruler) sehingga
dua unsur negara tidak mungkin dapat dipisahkan.
Pada masa awal lahirnya konsep negara dalam
arti yang masih sederhana, yakni pada era Negara Kota (City State) di Yunani,
konsep kewarganegaraan dapat dijadikan sebagai dasar untuk memahami konstitusi
dan hakikat negara. Pada masa negara kota (polis), warga negara didefinisikan
dengan kriteria yang cukup terbatas, yakni hanya orang yang terlibat dalam
proses pelaksanaan pengadilan ( The holding of office). Definisi ini tentu tidak sejalan dengan
konsep kewarganegaraan dalam arti populer dan pragmatis yang menyatakan bahwa
kewarganegaraan diperoleh melalui kelahiran keturunan, misalnya berasal dari
salah satu orang tua atau kedua orangtuanya.
Pada masa Yunani Kuno, kelas mekanik terdiri
atas kaum budak atau orang asing sehingga tidak aneh apabila hingga saat ini
banyak kelas mekanik adalah kaum budak atau orang asing.
Bentuk negara kota pada masa Yunani Kuno,
tidak mungkin menjadikan seorang mekanik sebagai warga negara. Ketika seorang mekanik diakui sebagai warga
negara maka kita harus menyatakan bahwa tidak semua orang dapat mencapai status
warga negara yang baik. Mekanik dan buruh, misalnya, yang bekerja untuk
masyarakat, apalagi seorang budak hanya bekerja untuk seseorang. Pada masa Yunani
Kuno, mereka tidak termasuk yang berpartisipasi dalam pelaksanaan peradilan dan
memegang jabatan publik. Menurut Aristoteles, mereka tidak dapat menjadi warga
negara sebelum mereka mencapai warga negara yang baik.
Menurut Lynch, kewarganegaraan seringkali
diidentikkan dengan ideologi nasionalistik yang dicankokkan ke dalam kesadaran
individu dan identitsa personal dalam bentuk superioritas nilai.
Bagi sebuah negara-bangsa yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kenegaraan dan kebangsaan, konsep kewaranegaraan dan
kebangsaan, konsep kewarganegaraan (citizenship) menempati kedudukan yang stra
tegis sehingga telah menjadi konsep sentral bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Ada 8 faktor permasalahan utama dalam
kewarganegaraan yaitu:
1. Kegagalan pendidikan kewarganegaraan di
negara tertentu
2. Proses kewarganegaraan memulai dengan
didefinisikan hak-hak warga negara di bawah kerangka negara-bangsa menurut
kriteria suprasional
3. Menghantarkan masalah HAM dan kebebasan
begitu cepat meluas
4. Yang terkait dengan faktor ketiga
adalah adalah internasionalisasi upaya pendidikan yang lebih tajam daripada
yang terjadi di bawah organisasi internasional
5. Peningkatan transportasi internasonal
mengakibatkan terjadinya perpindahan warga negara dalam jumlah besar dari satu
negara ke negara lain
6. Pertumbuhan internasionalisasi
industri, bisnis dan periklanan serta ketergantungan ekonomi bangsa-bangsa
7. Internasionalisasi polusi
8. Meredanya
pertentangan militer antara Timur dan Barat
KONSEP DASAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)
Muhammad Numan Somantri merumuskan pengertian
Civics sebagai Ilmu Kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan:
a) manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganissi [organisasi sosial,
ekonomi, politik]; b) individu-individu dengan negara. Jauh sebelum itu, Edmonson (1958) menyatakan bahwa makna
Civicss selalu didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pemerintahan dan
kewarganegaraan yang terkait dengan kewajiban, hak dan hak-hak istimewa warga
negara.
Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan
Civics adalah Citizenship. Dalam hubungan ini Stanley E. Dimond, seperti
dikutip Somantri, menjelaskan rumusan sebagai berikut: “Citizenship as it
relates to school activities has two-fold meaning. In a narrow-sense,
citizenship includes only legal status in country and the activities closely
related to the political
function-voting, governmental organization, holding, of office and legal right
and responsibility...” (Citizenship sebagaimana berkehubungan dengan
kegiatan-kegiatan sekolah mempunyai dua pengertian dalam arti sempit,
citizenship hanya mencakup status hukum warga negara dalam sebuah negara,
organisasi pemerintah, mengelola kekuasaan, hak-hak hukum dan tanggung jawab).
Pendidikan Demokrasi secara substantif
menyangkut sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai,
budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan yang meliputi unsur-unsur hak,
kewajiban dan tanggung jawab warga negara dalam suatu negara.
Dalam catatan sejarahnya, Pendidikan
Kewarganegaraan muncul dari gagasan yang lahir dari pandangan masyarakat yang
memandang penting pendidikan ini.
Menurut
Azyumardi Azra, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) adalah pendidikan
yang cakupannya lebih luas dari Pendidikan Demokrasi dan Pendidikan HAM karena
mencakup kajian dan pembahasan tentang banyak hal, seperti: pemerintahan,
konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga
negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam
Masyarakat Madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat
dalam pemerintahan, politik,
administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang HAM, kewarganegaraan
aktif dan sebagainya.
Zamroni juga berpendapat bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan adalah Pendidikan Demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan
warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas
menanamkan kesadaran kepada generasi baru tentang kesadaran bahwa demokrasi
adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat; demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu
saja meniru dari masyarakat lain; kelangsungan demokrasi tergantung pada
kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.
Menurut Soemantri, Pendidikan Kewarganegaraan
ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:
a. Civic Education adalah kegiatan yang meliputi
seluruh program sekolah;
b. Civic Education meliputi berbagai macam
kegiatan mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan perilaku yang lebih baik
dalam masyarakat demokrtis; dan
c. Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal
yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat
objektif untuk hidup bernegara.
STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)
1. Standar Kompetensi
Standar kompetensi adalah kualifikasi atau
ukuran kemampuan dan kecakapan seseorang yang mencakup seperangkat pengetahuan,
sikap dan keterampilan. Dapat disimpulkan bahwa standar kompetensi Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic education) adalah menjadi warga negara yang cerdas dan
berkeadaban ( Intelligent and Civilied Citizens).
2. Kompetensi Dasar
Dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kompetensi dasar, atau sering
disebut kompetensi minimal, pertama: kompetensi pengetahuan kewargaan (civic
knowledge), yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan materi inti
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education), yaitu demokrasi, hak asasi
manusia dan masyarakat madani ; kedua, kompetensi sikap kewargaan (civic
disposition), yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan kesadaran dan
komitmen warga negara antara lain komitmen akan kesetaraan gender, toleransi,
kemajemukan dan komitmen untuk peduli serta terlibat dalam penyelesaian
persoalan-persoalan warga negara yang terkait dengan pelanggaran HAM, dan
ketiga, kompetensi keterampilan kewargaan (civic skills), yaitu kemampuan dan
kecakapan mengartikulasikan keterampilan kewargaan seperti kemampuan
berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan
kontrol terhadap penyelenggara negara dan pmerintahan.
3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (civic
eduction)
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk
membangun karakter bangsa Indonesia yang antara lain:
a. Membentuk kecakapan partisipatif warga negara
yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ;
b. Menjadikan warga Indonesia yang cerdas, aktif,
kritis, dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan
integritas bangsa; dan
c. Mengembangkan kultur demokrasi yang
berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi, dan tanggung jawab.
RUANG LINGKUP MATERI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC
EDUCATION)
Materi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education) terdiri dari 3 materi pokok, yaitu demokrasi, hak asasi manusia dan
Masyarakat Madani (civil society).
Ketiga materi pokok tersebut dielaborasikan ke
dalam 10 materi yang saling terkait satu
dengan yang lainnya. Kesepuluh materi tersebut adalah :
1) Pendahuluan;
2)
Pancasila dan Keharusan Aktualisasi;
3) Identitas Nasional dan Globalisasi;
4)
Demokrasi: Teori dan Praktik;
5) Konstitusi dan Tata Perundang-undangan
Indonesia;
6) Negara; Agama dan Warga Negara;
7) Hak Asasi Manusia;
8) Otonomi
Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
9) Tata Kelola Kepemerintahan yang Bersih dan Baik (Clean and Good Governance); dan 10) Masyarakat Madani (civil Socety).
9) Tata Kelola Kepemerintahan yang Bersih dan Baik (Clean and Good Governance); dan 10) Masyarakat Madani (civil Socety).
PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
mengembangkan paradigma pembelajaran demokratis, yakni orientasi pembelajaran
yang menekankan pada upaya pemberdayaan mahasiswa sebagai bagian warga negara
Indonesia secara demokratis.
Paradigma demokratis dalam proses pendidikan
kewarganegaraan ini dalam implementasinya adalah suatu proses pembelajaran yang
menempatkan peserta didik sebagai subjek daripada objek pembelajaran. Materi
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan disusun berdasarkan pada kebutuhan
mendasar dan universal warga negara yang semakin kritis dan saling terkait sama
dengan yang lainnya.
URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION) BAGI
PEMBANGUNAN BUDAYA DEMOKRASI DI INDONESIA
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’rif, demokrasi
bukanlah sebuah wacana, pola pikir, atau perilaku politik yang dapat dibangun
sekali jadi. Menurutnya, demokrasi adalah proses di mana masyarakat dan negara
berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan yang dapat
menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara social, ekonomi
maupun politik. Dari sudut pandang ini, demokrasi dapat tercipta apabila
masyarakat dan pemerintaha bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya
demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Proses demokratisasi Indonesia membutuhkan
topangan budaya demokrasi yang genuine. Tanpa dukungan budaya demokrasi, proses
transisi demokrasi masih rentan terhadap berbagai ancaman budaya dan perilaku
tidak demokratis warisan masa lalu, seperti perilaku anarkis dalam menyuarakan
pendapat, politik uang (money politics), pengerahan massa untuk tujuan politik,
dan penggunaan symbol-simbol primordial (suku dan agama) dalam berpolitik.
Dua alasan, menurut Azra, mengapa Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia dalam
membangun demokrasinya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political
illiteracy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan
lembaga-lembaganya di kalangan warga negara. Kedua, meningkatnya political
apathism (apatisme politik) yang ditinjukkan dengan sedikitnya keterlibatan
warga negara dalam proses-proses politik. Jika demokrasi merupakan sesuatu yang
tak bisa ditawar-tawar atau dimundurkan (point of no return) bagi bangsa
Indonesia, maka Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah salah satu
upaya penyemaian budaya demokrasi. Upaya ini tidak bias diabaikan oleh bangsa
yang memiliki komitmen kuat menjadi lebih demoratis dan bermartabat.