Konstitusi atau hukum dasar ini, berkembang di dunia melalui beberapa tahap,
diantaranya:
1. Konstitusi Yunani Kuno
Dalam bukunya The Laws (Nomoi), Plato dan Sokrates sama-sama pada pengertian konstitusi (Jimly Asshiddiqie : 6-11). Demikian pula Aristoteles dalam bukunya politics mengaitkan pengertian kita tentang konstitusi dalam frase “in a sense the life of the city”. Menurut Aristoteles tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan dalam hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Karena itu Aristoteles membedakan antara right constitution dan wrong constitution dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi itu diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah salah. Konstitusi yang baik adalah konstitusi yang normal, sedangkan sedangkan yang tidak baik disebut Aristoteles sebagai konstitusi yang tidak normal.Ukuran baik buruknya atau normal tidaknya konstitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa “political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled”.
Diantara karya-karya Plato seperti Repulic dan Nomoi, terdapat pula dialog-dialog Plato yang diberi judul Politicus atau Statesman yang memuat tema-tema yang berkaitan erat dengan gagasan konstitusionalisme.Sedangkan menmurut Aristoteles sendiri membayangkan keberadaan seorang pemimpin Negara yang bersifat superman dan berbudi luhur. Karena sejarah kenegaraan Yunani pada zamannya sangat labil. Pertama, di zamannya belum ada mekanisme yang tersedia untuk merespon keadaan atau tindakan-tindakan revolusioner yang sekarang disebut sebagai tindakan inkonstusional. Kedua, revolusi-revolusi semacam itu jika terjadi tidak hanya mengubah corak public law, tetapi juga menjungkir balikan segala istitusi yang ada secara besar-besaran, dan bahkan berakibat pada tuntutan perubahan keseluruhan way of life (masyarakat) polity yang bersangkutan. Dalam keadaan demikian , Aristoteles berpendapat keseluruhan polity dan konstitusi mengalami kehancuran atau bubar. Ketiga, revolusi demikian selalu terjadi dengan disertai kekerasan (violence), proscription, ostracism, dan bahkan kematian sehingga orang Yunani dihinggapi oleh penyakit “fear of stasis”. Orang Yunani kuno memang belum membedakan sama sekali antara konsep Negara (state) dan masyarakat (society), antara civil dan social. Karena itu para filosof Yunani cenderung melihat hukum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang polity, tentang negara. Hal ini tergambar dalam buku Aristoteles Rhetorica yang menyebut istilah common law dalam arti the natural law yang tidak lebih daripada satu porsi penertian saja dari the state’s actual laws. Pemikiran filsafat Yunani kuno yang dikembangkan oleh Aristoteles sebagai sesuatu yang berbeda di luar pengertian polity (negara) atau sesuatu yang terpisah dari Negara, dimana Negara harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan aturan yang ditentukan olehnya.
2. Zaman Romawi
Cicero dengan jelas menyebut istilah lex yang kemudian menjadi kata
kunci untuk memahami konsep politik dan hukum di zaman Romawi kuno. Penggunaan
kata lex lebih luas cakupannya daripada leges yang mempunyai arti lebih sempit.
Konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang berada diluar dan bahkan diatas
negara. Tidak seperti masa sebelumnya, konstitusi mulai dipahami sebagai lex
yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan
prinsip the higher law. disamping itu, para filosof Romawi jugalah yang secara
tegas membedakan dan memisahkan antara pengertian hokum public (jus publicum)
dan hukum privat (jus privatikum), sesuatu hal yang baru yang belum
dikembangkan sebelumnya oleh para filosof Yunani. Bahkan perkataan jus dalam
bahasa latin sendiripun tidak dikenal padanannya dalam bahasa Yunani kuno
seperti yang sudah dijelaskan diatas. Biasanya, keduanya dibedakan dari sudut
kepentingan yang dipertahankan. Hukum publik membela kepentingan umum yang
tercermin dalam kepentingan negara, the civitas, sedangkan hukum privat
menyangkut kepentingan orang- perorang.
Tuhan bagi Cicero bagaikan Tuan dan penguasa semua manusia serta merupakan
pengarang atau penulis, penafsir dan sponsor hukum. Oleh karenanya, Cicero
sangat mengutamakan peranan hukum dalam pemahamannya tentang persamaan antar
manusia. Kesimpulan dapat ditarik dari pengalaman sejarah konstitusionalisme
Romawi kuno ini yaitu: Pertama, untuk memahami konsepsi yang sebenarnya tentang
the spirit of our constitutional antecendents dalam sejarah, ilmu hokum
haruslah dipandang penting atau sekurang-kurangnya sama pentingnya dibandingkan
dengan sekedar perbincangan mengenai materi hokum. Kedua, ilmu pengetahuan
hokum yang dibedakan dari hokum sangat bercorak Romawi sesuai asal mula
pertumbuhannya. Ketiga, Dalam ilmu hokum Romawi bukanlah the absolutism of a
prince sebagaimana sering dibayangkan oleh banyak ahli, tetapi justru terletak
pada doktrin kerakyatan. Dengan demikian, rakyatlah dalam perkembangan
pemikiran Romawi yang dianggap sebagai sumber yang hakiki.
3. Piagam Madinah
Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat
dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti yang modern hanyalah
Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad
saw dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah. Para ahli menyebut Piagam Madinah
tersebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam.
Ketiga belas komunitas itu adalah
(i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah,
(ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib,
(iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf,
(iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah,
(v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars,
(vi) Banu Jusyam,
(vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar,
(viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf,
(ix) Banu al-Nabit,
(x) Banu al-‘Aws,
(xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah,
(xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan
(xiii) Banu Syuthaybah.
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam.
Ketiga belas komunitas itu adalah
(i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah,
(ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib,
(iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf,
(iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah,
(v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars,
(vi) Banu Jusyam,
(vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar,
(viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf,
(ix) Banu al-Nabit,
(x) Banu al-‘Aws,
(xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah,
(xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan
(xiii) Banu Syuthaybah.
Dalam buku Jimly Asshiddiqie yang berjudul Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, disebutkan bahwa, secara keseluruhan Piagam Madinah berisi 47 pasal ketentuan, yang masing-masing pasal isinya mengatuh hal-hal tertentu. Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan beragama. Jadi, bangsa-bangsa Yahudi bebas untuk memeluk agamanya. Hal ini juga dijelaskan dalam Al Quran yang berbunyi lakum diinukum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku).
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesia adalah :
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa.
4. Konstitusi Inggris
Inggris adalah salah satu Negara yang tidak memiliki konstitusi. Di
Negara ini yang menduduki jabatan tertinggi adalah parlemen, bukan konstitusi.
Istilah konstitusi di Inggris sering disebut constitution, yang jika
menggunakan paham modern tidak memenuhi karakteristik modern.
Inggris pernah mengalami periode depotisme selama Masa renaisans, tetapi ada keadaan istimewa yang mampu mencegah depotisme tersebut menguat dan menetap. Inggris hampir tidak dapat lepas dari tipenegara yang didirikan hanya sementara yang biasa dikenal sebagai Negara Renaisans.
Istilah depotisme tidoe memerlukanbanyak sekali batasan. Depotisme ini memiliki tiga batasan organ. Hanya satu yang dapat dibandingkan dengan birokrasi sangat terlatih, yaitu Dewan. Dewan adalah kak tangan raja di bagian eksekutif. Kekuasaan Dewan yang tidak terbatas, dibatasi oleh keberadaan dua organ lainnya, yaitu Parlemen dan Hakim-Hakim Setempat.
Wilayah Inggris yang berupa kepulauan membebaskannya dari kebutuhan untuk terus menyediakan pasukan pertahanan terhadap agresi luar negri dan memisahkannya dari kekuatan-kekuatan terus memperkuat otokrasi Eropa Kontinental. Wilayah ini memungkinkan Inggris memadukan depotisme raja dengan asas pemerintahan sendiri yang diajalankan secara local.
Berbagai macam Undang-Undang yang disahkan selama masa Revolusi tahun 1688-1689 menetapkan kedaulatan Negara Inggris berada di tangan parlemen. Undang-Undang Pemberontakan member parlemen kekuasaan atas angkatan bersenjata, dan dengan cara sederhana berupa pasokan dana tahunan untuk biaya pemeliharaannya.
Dengan berkembangnya konvensi dan serangkaian undang-undang, ketiga organ pemerintahan yaitu legislative, eksekutif dan yudikatif dibentuk secara semestinya. Selama pertengahan abad 18, Inggris merupakan satu-satunya Negara konstitusional di dunia. Konstitusi Inggris adalah hasil perkembangan dari konvensi yang berlangsung lambat dan bukan produk penemuan yang sengaja, yang dihasilkan dari sebuah teori. Walaupun perkembangannya bukan merupakan hasil sebuah teoti, konstitusi Inggris telah dijadikan titik tolak pemikiran politik (C.F Strong :41-46).
5. Konstitusi Modern
Sebuah negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
konstitusi atau undang-undang dasar. Semua konstitusi selalu menjadikan
kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya
perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Persoalan yang dianggap
terpenting dalam konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan. Berlakunya suatu konstitusi sebagai
hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip
kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan
rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku
adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menetukan berlaku tidaknya suatu
konstitusi.
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental, karena kontitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hokum atau peraturan-peraturan perundangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hokum yang berlaku umum, agar peraturan-peraturan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diterapkan, maka peraturan-peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hokum dasar/konstitusi yang ada. Karena konstitusi digunakan sebagai suatu landasan atau pedoman dalam menyusun suatu peraturan perundangan. (Jimly Ashidiqie, :19-23).
KESIMPULAN
Perkembangan konstitusi di dunia melalui beberapa tahap. Yang mana
setiap tahap perkembangannya memiliki suatu bahasan tersendiri. Pada jaman
Yunani Kuno, konstitusi dianggap sebagai hokum yang menggambarkan kebajikan
yang pasti dan universal, dan merupakan suatu perlindungan terhadap tindakan
individu yang tidak pernah pasti. Romawi menganggap bahwa sebuah konstitusi
merupakan hal yang tidak begitu penting bagi perkembangan negaranya, bahkan
mereka menempatkan konstitusi di luar Negara yang hamper tidak digunakan dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan. Lain halnya, konstitusi Piagam Madinah
mengatur kehidupan masyarakat terutama pada peradaban Islam dan Yahudi. Dalam
konstitusi ini, memuat beberapa hal yang mengatur hak-hak dan kewajiban, dan
menghendaki adanya kebebasan, misalnya kebebasan beragama. Berbeda dengan
ketiga konstitusi tersebut, Inggris dinaggap oleh beberapa ahli tidak memiliki
konstitusi. Di Inggris, parlemen menduduki jabatan tertinggi. Padahal,
Negara-negara lain menempatkan konstitusi pada kedudukan tertinggi dalam sebuah
Negara dan menjadi landasan dalam penyalenggaraan system pemerintahan. Tahap
terakhir, yaitu konstitusi pada jaman modern. Pada tahap ini konstitusi
ditempatkan pada posisi paling tinggi dan fundamental karena konstitusi itu
sendiri merupakan legitimasi atau landasan bentuk hokum atau peraturan
perundangan lainnya. Jadi pada konstitusi modern, penyelenggaraan system
pemerintahan dijalankan sesuai dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Sumber : http://dewinasititimuet.blogspot.com/2011/03/perkembangan-konstitusi-dunia.html