a. Hubungan Agama Dan Negara: Kasus Islam
b. Hubungan Negara Dan Agama: Pengalaman Islam Indonesia
c. Islam Dan Negara Orde Baru : Dari Antagonistic Ke Akomodatif
d. Islam Dan Negara Pasca Orde Baru : Bersama Membangun Demokrasi Dan Mencegah Disintegrasi Bangsa Bangsa.
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA: KASUS ISLAM
Hal penting dari pembicaraan tentang Negara adalah hubungan Negara
dengan agama. Wacana ini mendiskisikan bagaimana posisi agama dalam konteks
Negara modern ( nation modern ). Hubungan agama dan Negara dalam konteks agama
islam masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan para pakar muslim
hingga kini. Menurut Azzymardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak
hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Menurut Azra,
ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam islam disulut
oleh hunungan yang agak canggung antara islam sebagai agama ( din ) dan Negara
( dawlah ). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din
dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Seperti halnya
percobaan demokrasi di sejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di
banyak Negara-negara muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan
wacana demokrasi di kalangan Negara-negara muslim dewasa ini semakin menambah
meraknya perdebatan islam dan Negara.
Perdebatan Negara
dan islam berangkat dari pandangan dominan islam sebagai sebuah system kehidupan
yang menyeluruh ( syumuli ), yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk
persoalan politik. Dari pandangan islam sebagai agama yang komphensif ini pada
dasarnya dalam islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama dan politik.
Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah. Di
kota hijrah ini, Nabi Muhammad ganda, sebagai seorang pemimpin agama sekaligus
sebagai kepala pemerintahan sebuah system pemerintahan awal islam yang oleh
kebanyakan pakar, dinilai sangat modern di masanya.
Posisi ganda Nabi
Muhammad di Kota madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis
besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan Negara
atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk
Negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorang pun dapat menggantikan
peran ganda Beliau, sebagai peminpin dunia yang sekuler dan si peneriama wahyu
Allah sekaligus.
Menyikapi realitas
perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat itu adalah
sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (Al-Kitab) bukan sebagai
penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah
alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan
ungkapan lain, politik atau Negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi
agama, bukan eksistensi dari agama islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber dari
pada ayat Al-Qur`an (QS.57:25) yang artinya: “sesungguhnya kami telah
mengutus Rasul-rasul kami yang disertai keterangan-keterangan, dan kami
turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil, dan
kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat –manfaat bagi
manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan (menolong)
rasul-Nya yang gaib (daripadanya).” Bersandar pada ayat ini, Ibnu Taimiyah
menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang”
penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan
pedang menjadi suatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah
agama itu sendiri. Adapun, politik tidak lain sebatas alat untuk mencapai
tujuan-tujuan luhur agama.
Mengelaborasi
pandangan Ibnu Taimiyah di atas, Ahmad Syafi’I Maarif menjelaskan bahwa istilah
dawlah yang berarti Negara Negara tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Istilah
dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada surah al-Hasyr (QS.59:7),
tetapi ia tidak bermakna Negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratife
untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.
Pandangan sejenis
pernah juga dikemukakan oleh beberapa modernis mesir, antara lain Ali Abdul
Raziq dan Muhammad Husein Haikal. Menurut Haikal, prinsip-prinsip dasar
kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak ada
yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
dalam islam tidak terdapat sesuatu system pemerintahan yang baku. Umat Islam
bebas menganut system pemerintahan apa pun asalkan system tersebut menjamin
persamaan di hadapan hukum, dan pelaksanaan urusan Negara diselanggarakan atas
dasar musyawarah (syura) dengan berpegang kepada tata nilai moral dan
etika yang diajarkan Islam.
Hubungan Islam dan Negara modern secara teoretis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal pandangan : integralistik, simbiotik, dan sekuleristik.
1.
Paradigma Integralistik
PARADIGMA integralistik hampir sama
persis dengan pandangan Negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan
konsep agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduannya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini
juga memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak
mengenal Pemisahan antara agama (din) dan politik atau Negara (dawlah).
Dalam
pergulatan Islam dan Negara modern, pola hubungan integratif ini kemudian
melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan
diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian
paradigma integralistik identic dengan paham Islam ad-Din wa dawlah (Islam
sebagai agama dan negara), yang bersumber hukum positifnya adalah Hukum Islam
(Syariat Islam). Paradigma Integralistik ini antara lain dianut oleh Negara kerajaan
Saudi Arabia yang menganut paham Syi’ah di Iran. Kelompok pencinta Ali r.a. ini
menggunakan istilah Imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah
yang banyak dirujuk kalangan sunni.
2.
Paradigma Simbiotik
MENURUT
paradigma simbiotik, hubungan agama dan Negara berada pada posisi saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan
ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara juga memerlukan agama
sebagai sumber moral, etika dan spiritualitas warga negaranya.
Paradigm
simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang Negara
sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang
paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah
tersebut melegitimasi bahwa antara agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda,
tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam
paradigm ini tidak saja berasal dari adanya kontrak social, tetapi bisa
diwarnai oleh hukum agama (Syariat). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi
kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan Negara Mesir dan Indonesia dapat
digolongkan kepada kelompok paradigm ini.
3.
Paradigm Sekularistik
PARADIGMA Sekularistik beranggapan bahwa
ada pemisahan yang jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan
dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memilki garapan masing-masing,
sehingga keberadaan harus dipisahkan dan tidk boleh satu sama lain melakukan
intevensi. Negara adalah urusan public, sementara agama merupakan wilayah
pribadi masing-masing warga Negara.
Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui kontrak social yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (Syariat). Konsep Sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasullah SAW pun tidak tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad untuk mendirikan Negara Islam. Negara Turki Modern dapat digolongkan ke dalam paradigm ini.
HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA: PENGALAMAN ISLAM INDONESIA
INDONESIA dikenal sebagai negeri muslim terbesar didunia. Uniknya,
Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola
hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak
kunjung selesai. Perdebatan soal pola hubungan islam dan Negara ini telah
muncul dalam perdebatan public sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan tentang
islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan nasionalis
sekuler pada 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan Negara pada
kurun-kurun selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang Islam dan watak nasionalisme
Indonesia menghiasi surat kabar pergerakan nasional pada waktu itu, menanggapi
pandangan dan paham sekuler yang dilontarkan kalangan tokoh nasionalis sekuler.
Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep Negara sekuler diwakili
masing-masing oleh tokoh nasionalis muslim Muhammad Natsir dan Soekarno dari
kelompok nasionalis sekuler.
Perdebatan Islam
dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaknya pada persidangan
formal dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang pada 1945. Para tokoh
nasionalis muslim seperti H. Agus Salim, K.H. Mas Mansyur, dan K.H. Wachid
Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan usul konsep Negara
islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia Merdeka.
Usulan menjadikan Islam Sebagai konsep Negara dari kelompok nasionalis muslim bersandar
pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai
agama dan keyakinannya.
Alasan kelompok
nasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang
mengajukan konsep nagara sekuler. Menurut para nasionalis sekuler, kemajemukan
Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alasan mereka menolak
konsep Negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim. Bagi
mereka, Indonesia yang mejemuk baik agama, suku, dan bahasa harus melandasi berdirinya
Negara nonagama (sekuler). Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, tokoh
nasionalis sekuler soekarno merujuk pengaman Turki Modern di bawah Kemal
Attaturk dengan konsep Negara sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno kembali
menyuarakan konsep sekulernya tentang lima dasar Negara Indonesia, yang
kemudian dikenal dengan Pancasila.
Tentu saja paham
kebangsaan Pancasila tidak mudah diterima kelompok nasionalis Muslim. Bagi
mereka, selain alasan mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam, Islam sebagai
agama ciptaan Allah yang bersifat universal dan lengkap harus dijadikan dasar
dalam tata kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Akhir dari perdebatan
Konstitusional BPUPKI menghasilkan kekhawatiran bagi kelompok nasionalis dari
kawasan Indonesia Timur. Kekhawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan
mereka mendirikan Negara sendiri dengan memisahkan diri dari konsep Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ancaman pemisahan diri dari konsep NKRI
melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang tengah berdebat
tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, di balik sengitnya perdebatan
tentang dasar dan bentuk Negara, terjadi kesepakatan atau kompromi politik di
kalangan tokoh-tokoh nasionalis baik muslim maupun sekuler.
Klimaks dari perdebatan
di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka
menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia. Demi kesatuan dan persatuan
serta terselenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah,
mereka menerima konsep Negara yang diajukan kalangan nasionalis sekuler, dengan
catatan Negara menjamin dijalankannya Syariat Islam bagi Pemeluk Islam di
Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis
sekuler dikenal dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam
Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi Pemeluknya.
Setelah Indonesia
merdeka, hubungan Islam dan Negara di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
kembali mengalami ketegangan. Sumber ketegangan itu berpusat pada perdebatan
seputar tafsir klausul sila pertama pancasila, “dengan kewajiban menjalankan
Syariat Islam bagi pemeluknya.” Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada
kesepahaman di kalangan tokoh nasional bahwa NKRI adalah bukan Negara agama
(Islam) dan juga bukan agama sekuler.
Berikut catatan
singkat pergumulan Islam dan Negara di Indonesia: pada kurun antara 1950- 1959,
ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi Parlemente, ketegangan Islam dan
Negara kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai
Politik Islam, seperti Partai Masyumi
dan partai NU, dengan partai politik sekuler: Partai Komunis Indonesia (PKI),
Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan sebagainya. Perseteruan Ideologis Islam
Versus Ideologi sekuler kembali terjadi dalam persidangan Konstituante hasil
pemilu demokratis yang pertama pada 1955.
Pemilu 1995 yang
dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah politik
nasional Indonesia ternyata tak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan
konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hampir rampung
menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidakstabilan politik dan
ancaman disintegrasi dianggap oleh presiden Soekarno sebagai tampak langsung
dari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari barat. Menurut Soekarno,
Demokrasi ala barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia. Perseteruan
sengit antara partai-partai politik harus diakhiri dengan memberlakukan kembali
UUD 1945 di bawah system demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas,
bahkan dinobatkan presiden seumur hidup.
Kekuasaan presiden
Soekarno yang tidak terbatas di bawah Demokrasi terpimpin masih tetap
mengakomodasi kekuatan Islam. Hubungan Islam dan Negara tercermin pada
kepemimpinannya presiden Soekarno yang menjalankan prinsip fusi politik
ciptaannya, Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Nasakom terdiri dari tiga
komponen dominan dari hasil pemilu 1955: PNI, Islam (diwakili NU), dan PKI.
Keberadaan PKI sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan
suaranya yang sangat banyak signifikan dalam pemilu. Model kepemimpinan “tiga
kaki” presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik di kalangan
kelompok militer di bawah Jendral A.H.Nasution. perseturuan politik dan
ideologis antara TNI dengan PKI berdampak pada persekutuan politik antara
kelompok Islam dan militer untuk menghadapi PKI yang tengah dekat dengan
Presiden Soekarno. Seperti perseturuan ideologi sebelumnya, ideologi sosialis
komunis menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dangan TNI melawan
paham Komunis.
System Demokrasi
Terpimpin ala Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, gerakan
30 September 1965. Gerakan makar ini menurut beberapa ahli merupakan buah dari
perseturuan ideologis panjang antara PKI dengan TNI, Khususnya Angkatan Darat,
yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di Lubang Buaya,
Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan Politik
Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui
surat pemerintah sebelas Maret (Supersemar), Panglima Kostrad (Komando
Strategis AD) Letnan Jendral Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan
nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komunis di Indonesia.
Akhir masa
pemulihan keamanan keamanan berhasil menaikkan panglima Kostrad Letnan Jendral
Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional yang disahkan oleh sidang Umum MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jendral A.H. Nasution pada
1968. Dengan selogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden
soehrto memulai kiprah Kepemimpinan nasionalnya dengan sebutan Orde Baru,
sebagai Pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan
UUD 1945.
ISLAM DAN NEGARA ORDE BARU: DARI ANTAGONISTIK KE AKOMODATIF
NAIKNYA Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan
Negara di Indonesi. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara
umum dapat digolongkan ke dalam dua pola: antagonistic dan akomodatif. Hubungan
antogonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara
Islam dan Negara orde baru; sedangkan akomodatif menunjukkan kecenderungan
saling membutuhkan antara kelompok islam dan Negara Orde Baru, bahkan terdapat
kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian, sebelum
mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan
agama dan Negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kritis, yakni awal
dimulainya penurunan ketegangan antara agama dan Negara di Indonesia.
Hubungan antagonis
antara Negara Orde Baru dan kelompok islam dapat dilihat dari kecurigaan dan
penegakan kekuatan islam yang berlebihan yang dilakukan presiden Soeharto.
Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler
terhadap kelompok islam, khususnya era 1950-an.
Sikap curiga dan
kekhawatiran terhadap kekuatan islam membawa implikasi terhadap keinginan
Negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan
penyempitan) gerak politik islam, baik semasa orde lama maupun orde baru.
Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktifis
islam gagal untuk menjadikan islam sebagai ideologi dan/atau agama Negara (pada
1945 dan decade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok
yang secara politik “minorotas” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik
islam, menurut Bahtiar Effendi, sering dicurigai oleh Negara sebagai
anti-ideologi Negara pancasila.
Menurut effendi,
akar antagonism hubungan politik antara islam Negara tidak dapat dilepaskan
dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan umat islam yang berbeda.
Kecenderungan menggunakan islam sebagai symbol politik di kalangan aktifis
muslim di awal kekuasaan orde baru telah melahirkan kecurigaan dari pihak
penguasa yang berakibat pada peminggiran islam dari arena politik nasional.
Kebijakan politik control dan represif terhadap kekuatan politik islam mewarnai
arah dan kecenderungan politik Orde Baru. Kecenderungan pendekatan politik
keamanan yang dilakukan Orde Baru dapat ditengari pada sejumlah peristiwa
kekerasan Negara atas kelompok islam di era1980-an yang dianggap sebagai
penentang asas tunggal pancasila ciptaan Orde Baru. Sejak awal berdirinya Orde
Baru hingga awal 1980-an islam dianggap sebagai ancaman serius bagi
keberlangsungan kekuasaan Orde Baru.
Pertengahan
1980-an merupakan awal perubahan pendulum hunungan islam dan rezim Orde Baru.
Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik soeharto yang
dinilai positif bagi umat islam. Menurut Effandi, kebijakan-kebijakan Orde Baru
memiliki dampak luas bagi perkembangan politik islam selanjutnya baik
structural maupun kultural.
Kecenderungan
akomodasi terhadap islam juga --- menurut Affan Gaffar – ditengarai dengan
adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pedidikan dan keagamaan serta kondisi
dan kecenderungan akomodasionis umat islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari
akan potensi umat islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Adapun menurut
Thaba, sikap akomodatif Negara terhadap islam lebih disebabkan oleh pemahaman
Negara terhadap perubahan sikap politik umat islam terhadap kebajikan Negara,
terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal pancasila.
Perubahan sikap umat umat islam pada paruh kedua 1980-an, dari menentang
menjadi menerima pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan orde baru yang menguntungkan
umat islam pada masa selanjutnya.
Pengesahan RUU
pendidikan nasional, pengesahan RUU peradilan agama, pembolehan pemakaian
jilbab bagi siswi muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila yang berlangsung dipimpin oleh presiden Soeharto merupakan indicator
adanya hubungan akomodatif yang dilakukan elite pengusaha Orde Baru terhadap
Islam.
ISLAM DAN NEGARA PASCA-ORDE BARU: BERSAMA MEMBANGUN DEMOKRASI DAN
MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA.
PERAN agama,
khususnya islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sangat strategis bagi
proses transformasi demokrasi saat ini. Pada saat yang sama Islam bisa berperan
mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang pemeluknya mampu bersikap
inklusif dan toleran terhadap kodrad kemajemukan Indonesia. Sebaliknya, jika
umat islam bersikap ekslusif dan cenderung memaksakan kehendak, dengan alasan
mayoritas, tidak mustahil kemayoritasan umat islam akan lebih berpotensi
menjelma sebagai ancaman disintegrasi daripada kekuatan integrative bangsa.
Dalam konteks
konsolidasi demokrasi setelah lengsernya orde baru yang otoriter, umat islam
seyogianya memandang dan menjadikan kesepakatan diantara kalangan nasionalis
sekuler dan nasionalis muslim untuk menjadikan pancasila sebagai dasar Negara
NKRI sebagai komitmen kebangsaan yang harus tetap dijaga dipertahankan sampai
kapan pun. Kesepakatan tersebut harus dipandang sebagai komitmen suci para
pendiri bangsa yang harus dilestarikan sepanjang masa oleh semua warga bangsa.
Komitmen untuk menjaga kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan
demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam
bingkai Negara NKRI. Karenanya, bersandar pada komitmen kebangsaan ini adalah
sangat tidak relevan, bahkan ahistoris, jika dijumpai segelintir individu
ataupun kelompok dalam umat islam yang hendak mengusung gagasan atau ide Negara
agama. Hal ini selain tidak berjalan dengan prinsip kebinekaan dan demokrasi,
tetapi juga mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa yang diantaranya
mereka adalah para tokoh umat islam yang telah disebutkan diatas. Dengan
ungkapan lain, konsep NKRI dan pancasila dengan kebinekaannya adalah tidak bisa
dilepaskan dari ijtihad kelompok islam Indonesia yang harus dijaga,
dilestarikan, dan diaktulisasikan dengan pengembangan ajaran-ajaran islam yang
berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan keindonesiaan. Hal serupa
berlaku pula bagi Negara. Ia memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin
kemajemukan dan demokrasi di Indonesia. Penyelenggara Negara (pemerintah) harus
tetap menjaga dan mengawal sunnatullah kebinekaan Indonesia yang telah dijamin oleh
konstitusi Negara, dengan menindak tegas segala anasir yang mereduksi
kebinekaan Indonesia dan keutuhan Negara kesatuan republic Indonesia.
Namun demikian
Negara pun berpotensi menjadi ancaman bagi proses demokrasi jika ia tampil
sebagai kekuatan represif dan mendominasi berbagai aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara, sebagai mana yang terjadi di masa yang lalu.lahirnya kekuatan
demokrasi yang diperankan oleh berbagai komponen masyarakat madani di
Indonesia, seperti, LSM, ormas sosial keagamaan, partai politik, mahasiswa,
pers, asosiasi profesi, dan sebagainya, harus disikapi oleh Negara sebagai
instumen penting dalam sebuah Negara demokrasi Indonesia. Keberadaan
elemen-elemen demokrasi tersebut harus didorong menjadi kekuatan vital bagi
proses demokratisasi di Indonesia dan penjaga empat consensus kebangsaan :
pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.