Wednesday, 18 February 2015

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

httpcatatanmetalsa.blogspot.comhal-hal yang dibahas pada Bab ini adalah :
a. Hubungan Agama Dan Negara: Kasus Islam
b. Hubungan Negara Dan Agama: Pengalaman Islam Indonesia
c. Islam Dan Negara Orde Baru : Dari Antagonistic Ke Akomodatif
d. Islam Dan Negara Pasca Orde Baru : Bersama Membangun Demokrasi Dan Mencegah Disintegrasi Bangsa Bangsa.


HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA: KASUS ISLAM
          Hal penting dari pembicaraan tentang Negara adalah hubungan Negara dengan agama. Wacana ini mendiskisikan bagaimana posisi agama dalam konteks Negara modern ( nation modern ). Hubungan agama dan Negara dalam konteks agama islam masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan para pakar muslim hingga kini. Menurut Azzymardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam islam disulut oleh hunungan yang agak canggung antara islam sebagai agama ( din ) dan Negara ( dawlah ). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak Negara-negara muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di kalangan Negara-negara muslim dewasa ini semakin menambah meraknya perdebatan islam dan Negara.

            Perdebatan Negara dan islam berangkat dari pandangan dominan islam sebagai sebuah system kehidupan yang menyeluruh ( syumuli ), yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan islam sebagai agama yang komphensif ini pada dasarnya dalam islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama dan politik. Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad ganda, sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala pemerintahan sebuah system pemerintahan awal islam yang oleh kebanyakan pakar, dinilai sangat modern di masanya.

            Posisi ganda Nabi Muhammad di Kota madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan Negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk Negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorang pun dapat menggantikan peran ganda Beliau, sebagai peminpin dunia yang sekuler dan si peneriama wahyu Allah sekaligus.

            Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (Al-Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik atau Negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber dari pada ayat Al-Qur`an (QS.57:25) yang artinya: “sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami yang disertai keterangan-keterangan, dan kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil, dan kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat –manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan (menolong) rasul-Nya yang gaib (daripadanya).”  Bersandar pada ayat ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang” penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi suatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Adapun, politik tidak lain sebatas alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama.

            Mengelaborasi pandangan Ibnu Taimiyah di atas, Ahmad Syafi’I Maarif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti Negara Negara tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada surah al-Hasyr (QS.59:7), tetapi ia tidak bermakna Negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratife untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.

            Pandangan sejenis pernah juga dikemukakan oleh beberapa modernis mesir, antara lain Ali Abdul Raziq dan Muhammad Husein Haikal. Menurut Haikal, prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam islam tidak terdapat sesuatu system pemerintahan yang baku. Umat Islam bebas menganut system pemerintahan apa pun asalkan system tersebut menjamin persamaan di hadapan hukum, dan pelaksanaan urusan Negara diselanggarakan atas dasar musyawarah (syura) dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam.
Reserved: Istilah dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada surat Al-Hasyr (QS.59:7), tetapi ia tidak bermakna Negara

            Hubungan Islam dan Negara modern secara teoretis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal pandangan : integralistik, simbiotik, dan sekuleristik.

1.    Paradigma Integralistik
PARADIGMA integralistik hampir sama persis dengan pandangan Negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduannya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini juga memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal Pemisahan antara agama (din) dan politik atau Negara (dawlah).

            Dalam pergulatan Islam dan Negara modern, pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik identic dengan paham Islam ad-Din wa dawlah (Islam sebagai agama dan negara), yang bersumber hukum positifnya adalah Hukum Islam (Syariat Islam). Paradigma Integralistik ini antara lain dianut oleh Negara kerajaan Saudi Arabia yang menganut paham Syi’ah di Iran. Kelompok pencinta Ali r.a. ini menggunakan istilah Imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak dirujuk kalangan sunni.

2.    Paradigma Simbiotik
            MENURUT paradigma simbiotik, hubungan agama dan Negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika dan spiritualitas warga negaranya.

            Paradigm simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang Negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka agama tidak bisa  berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigm ini tidak saja berasal dari adanya kontrak social, tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (Syariat). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan Negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigm ini.

3.    Paradigm Sekularistik
PARADIGMA Sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memilki garapan masing-masing, sehingga keberadaan harus dipisahkan dan tidk boleh satu sama lain melakukan intevensi. Negara adalah urusan public, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga Negara.
Reserved: Hubungan islam dan Negara modern secara teoretis dapat diklasifikan ke dalam tiga paradigm: integralistik, simbiotik, dan sekularistik. Model pemerintahan Negara Indonesia dapat digolongkan kepada paradigm simbiotik.

Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui kontrak social yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (Syariat). Konsep Sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasullah SAW pun tidak tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad untuk mendirikan Negara Islam. Negara Turki Modern dapat digolongkan ke dalam paradigm ini.

HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA: PENGALAMAN ISLAM INDONESIA
          INDONESIA dikenal sebagai negeri muslim terbesar didunia. Uniknya, Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung selesai. Perdebatan soal pola hubungan islam dan Negara ini telah muncul dalam perdebatan public sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan tentang islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler pada 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan Negara pada kurun-kurun selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang Islam dan watak nasionalisme Indonesia menghiasi surat kabar pergerakan nasional pada waktu itu, menanggapi pandangan dan paham sekuler yang dilontarkan kalangan tokoh nasionalis sekuler. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep Negara sekuler diwakili masing-masing oleh tokoh nasionalis muslim Muhammad Natsir dan Soekarno dari kelompok nasionalis sekuler.

            Perdebatan Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaknya pada persidangan formal dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang pada 1945. Para tokoh nasionalis muslim seperti H. Agus Salim, K.H. Mas Mansyur, dan K.H. Wachid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan usul konsep Negara islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia Merdeka. Usulan menjadikan Islam Sebagai konsep Negara dari kelompok nasionalis muslim bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama dan keyakinannya.

            Alasan kelompok nasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep nagara sekuler. Menurut para nasionalis sekuler, kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alasan mereka menolak konsep Negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim. Bagi mereka, Indonesia yang mejemuk baik agama, suku, dan bahasa harus melandasi berdirinya Negara nonagama (sekuler). Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, tokoh nasionalis sekuler soekarno merujuk pengaman Turki Modern di bawah Kemal Attaturk dengan konsep Negara sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno kembali menyuarakan konsep sekulernya tentang lima dasar Negara Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Pancasila.

            Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterima kelompok nasionalis Muslim. Bagi mereka, selain alasan mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam, Islam sebagai agama ciptaan Allah yang bersifat universal dan lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Akhir dari perdebatan Konstitusional BPUPKI menghasilkan kekhawatiran bagi kelompok nasionalis dari kawasan Indonesia Timur. Kekhawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka mendirikan Negara sendiri dengan memisahkan diri dari konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ancaman pemisahan diri dari konsep NKRI melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang tengah berdebat tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, di balik sengitnya perdebatan tentang dasar dan bentuk Negara, terjadi kesepakatan atau kompromi politik di kalangan tokoh-tokoh nasionalis baik muslim maupun sekuler.

            Klimaks dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis Muslim  untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia. Demi kesatuan dan persatuan serta terselenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah, mereka menerima konsep Negara yang diajukan kalangan nasionalis sekuler, dengan catatan Negara menjamin dijalankannya Syariat Islam bagi Pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.
            Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan Negara di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno kembali mengalami ketegangan. Sumber ketegangan itu berpusat pada perdebatan seputar tafsir klausul sila pertama pancasila, “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.” Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada kesepahaman di kalangan tokoh nasional bahwa NKRI adalah bukan Negara agama (Islam) dan juga bukan agama sekuler.

            Berikut catatan singkat pergumulan Islam dan Negara di Indonesia: pada kurun antara 1950- 1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi Parlemente, ketegangan Islam dan Negara kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai Politik Islam, seperti Partai  Masyumi dan partai NU, dengan partai politik sekuler: Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan sebagainya. Perseteruan Ideologis Islam Versus Ideologi sekuler kembali terjadi dalam persidangan Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama pada 1955.

            Pemilu 1995 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah politik nasional Indonesia ternyata tak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hampir rampung menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidakstabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap oleh presiden Soekarno sebagai tampak langsung dari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari barat. Menurut Soekarno, Demokrasi ala barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia. Perseteruan sengit antara partai-partai politik harus diakhiri dengan memberlakukan kembali UUD 1945 di bawah system demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas, bahkan dinobatkan presiden seumur hidup.

            Kekuasaan presiden Soekarno yang tidak terbatas di bawah Demokrasi terpimpin masih tetap mengakomodasi kekuatan Islam. Hubungan Islam dan Negara tercermin pada kepemimpinannya presiden Soekarno yang menjalankan prinsip fusi politik ciptaannya, Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Nasakom terdiri dari tiga komponen dominan dari hasil pemilu 1955: PNI, Islam (diwakili NU), dan PKI. Keberadaan PKI sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan suaranya yang sangat banyak signifikan dalam pemilu. Model kepemimpinan “tiga kaki” presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik di kalangan kelompok militer di bawah Jendral A.H.Nasution. perseturuan politik dan ideologis antara TNI dengan PKI berdampak pada persekutuan politik antara kelompok Islam dan militer untuk menghadapi PKI yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti perseturuan ideologi sebelumnya, ideologi sosialis komunis menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dangan TNI melawan paham Komunis.

            System Demokrasi Terpimpin ala Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, gerakan 30 September 1965. Gerakan makar ini menurut beberapa ahli merupakan buah dari perseturuan ideologis panjang antara PKI dengan TNI, Khususnya Angkatan Darat, yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan Politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui surat pemerintah sebelas Maret (Supersemar), Panglima Kostrad (Komando Strategis AD) Letnan Jendral Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komunis di Indonesia.

            Akhir masa pemulihan keamanan keamanan berhasil menaikkan panglima Kostrad Letnan Jendral Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional yang disahkan oleh sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jendral A.H. Nasution pada 1968. Dengan selogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden soehrto memulai kiprah Kepemimpinan nasionalnya dengan sebutan Orde Baru, sebagai Pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.


ISLAM DAN NEGARA ORDE BARU: DARI ANTAGONISTIK KE AKOMODATIF
          NAIKNYA Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan Negara di Indonesi. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua pola: antagonistic dan akomodatif. Hubungan antogonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan Negara orde baru; sedangkan akomodatif menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok islam dan Negara Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian, sebelum mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan Negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kritis, yakni awal dimulainya penurunan ketegangan antara agama dan Negara di Indonesia.

            Hubungan antagonis antara Negara Orde Baru dan kelompok islam dapat dilihat dari kecurigaan dan penegakan kekuatan islam yang berlebihan yang dilakukan presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok islam, khususnya era 1950-an.

            Sikap curiga dan kekhawatiran terhadap kekuatan islam membawa implikasi terhadap keinginan Negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak politik islam, baik semasa orde lama maupun orde baru. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktifis islam gagal untuk menjadikan islam sebagai ideologi dan/atau agama Negara (pada 1945 dan decade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minorotas” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik islam, menurut Bahtiar Effendi, sering dicurigai oleh Negara sebagai anti-ideologi Negara pancasila.

            Menurut effendi, akar antagonism hubungan politik antara islam Negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan umat islam yang berbeda. Kecenderungan menggunakan islam sebagai symbol politik di kalangan aktifis muslim di awal kekuasaan orde baru telah melahirkan kecurigaan dari pihak penguasa yang berakibat pada peminggiran islam dari arena politik nasional. Kebijakan politik control dan represif terhadap kekuatan politik islam mewarnai arah dan kecenderungan politik Orde Baru. Kecenderungan pendekatan politik keamanan yang dilakukan Orde Baru dapat ditengari pada sejumlah peristiwa kekerasan Negara atas kelompok islam di era1980-an yang dianggap sebagai penentang asas tunggal pancasila ciptaan Orde Baru. Sejak awal berdirinya Orde Baru hingga awal 1980-an islam dianggap sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaan Orde Baru.

            Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hunungan islam dan rezim Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik soeharto yang dinilai positif bagi umat islam. Menurut Effandi, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik islam selanjutnya baik structural maupun kultural.

            Kecenderungan akomodasi terhadap islam juga --- menurut Affan Gaffar – ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pedidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari akan potensi umat islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Adapun menurut Thaba, sikap akomodatif Negara terhadap islam lebih disebabkan oleh pemahaman Negara terhadap perubahan sikap politik umat islam terhadap kebajikan Negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal pancasila. Perubahan sikap umat umat islam pada paruh kedua 1980-an, dari menentang menjadi menerima pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan orde baru yang menguntungkan umat islam pada masa selanjutnya.

            Pengesahan RUU pendidikan nasional, pengesahan RUU peradilan agama, pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang berlangsung dipimpin oleh presiden Soeharto merupakan indicator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan elite pengusaha Orde Baru terhadap Islam.


ISLAM DAN NEGARA PASCA-ORDE BARU: BERSAMA MEMBANGUN DEMOKRASI DAN MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA.

            PERAN agama, khususnya islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini. Pada saat yang sama Islam bisa berperan mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang pemeluknya mampu bersikap inklusif dan toleran terhadap kodrad kemajemukan Indonesia. Sebaliknya, jika umat islam bersikap ekslusif dan cenderung memaksakan kehendak, dengan alasan mayoritas, tidak mustahil kemayoritasan umat islam akan lebih berpotensi menjelma sebagai ancaman disintegrasi daripada kekuatan integrative bangsa.

            Dalam konteks konsolidasi demokrasi setelah lengsernya orde baru yang otoriter, umat islam seyogianya memandang dan menjadikan kesepakatan diantara kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis muslim untuk menjadikan pancasila sebagai dasar Negara NKRI sebagai komitmen kebangsaan yang harus tetap dijaga dipertahankan sampai kapan pun. Kesepakatan tersebut harus dipandang sebagai komitmen suci para pendiri bangsa yang harus dilestarikan sepanjang masa oleh semua warga bangsa. Komitmen untuk menjaga kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai Negara NKRI. Karenanya, bersandar pada komitmen kebangsaan ini adalah sangat tidak relevan, bahkan ahistoris, jika dijumpai segelintir individu ataupun kelompok dalam umat islam yang hendak mengusung gagasan atau ide Negara agama. Hal ini selain tidak berjalan dengan prinsip kebinekaan dan demokrasi, tetapi juga mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa yang diantaranya mereka adalah para tokoh umat islam yang telah disebutkan diatas. Dengan ungkapan lain, konsep NKRI dan pancasila dengan kebinekaannya adalah tidak bisa dilepaskan dari ijtihad kelompok islam Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan, dan diaktulisasikan dengan pengembangan ajaran-ajaran islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan keindonesiaan. Hal serupa berlaku pula bagi Negara. Ia memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin kemajemukan dan demokrasi di Indonesia. Penyelenggara Negara (pemerintah) harus tetap menjaga dan mengawal sunnatullah  kebinekaan Indonesia yang telah dijamin oleh konstitusi Negara, dengan menindak tegas segala anasir yang mereduksi kebinekaan Indonesia dan keutuhan Negara kesatuan republic Indonesia.

            Namun demikian Negara pun berpotensi menjadi ancaman bagi proses demokrasi jika ia tampil sebagai kekuatan represif dan mendominasi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai mana yang terjadi di masa yang lalu.lahirnya kekuatan demokrasi yang diperankan oleh berbagai komponen masyarakat madani di Indonesia, seperti, LSM, ormas sosial keagamaan, partai politik, mahasiswa, pers, asosiasi profesi, dan sebagainya, harus disikapi oleh Negara sebagai instumen penting dalam sebuah Negara demokrasi Indonesia. Keberadaan elemen-elemen demokrasi tersebut harus didorong menjadi kekuatan vital bagi proses demokratisasi di Indonesia dan penjaga empat consensus kebangsaan : pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment