Secara
umum istilah Good & Clean Governance memiliki pengertian akan segala hal
yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan,
mengendalikan atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian Good & Clean Governance
tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan semata, tetapi menyangkut semua
lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat).
Menurut Andi Faisal Bakti, dalam pemaknaannya istilah Good Governance memiliki
pengartian pengajawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga negara
kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui wujud pemerintahan
yang suci dan damai. Dalam konteks Indonesia substansi wacana good &clean
government dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih dan
berwibawa. Senada dengan Bakti, Santosa menjelaskan bahwa good governance
sebagaimana didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik,
ekonomi,danadministrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pemerintahan
yang baik (good government) adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan
negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil
society) dan sektor swata. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk
mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat
mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan
menjembatani perbedaan diantara mereka.
Sejalan
dengan prinsip diatas, pemerintah yang baik itu berarti baik dalam proses
maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara
sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan bebas
dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses pembangunan. Good
& Clean Governance dapat terwujud bila ketiga pilar pendukungnya dapat
berfungsi secara baik, yaitu: Negara, sektor swasta dan masyarakt madani (civil
society). Negara dengan birokrasi peemerintahannya dituntut untuk merubah pola
pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis, yang berorientasi
melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sektor swasta harus pula
terlibat dan dilibatkan oleh negara untuk berperan serta dalam proses
pengelolaan sumber daya dan perumusan kebijakan politik.
B. Prinsip-Prinsip Good & Clean
Governance
Lembaga
Administrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan (9) aspek fundamental untuk
merealisasikan pemerintah yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada
prinsip-prinsip good & clean governance, yaitu:
·
Partisipasi
(Participation)
·
Penegakan
Hukum (Rule Of Law)
·
Transparansi
(Transparency)
·
Responsif
(Responsiveness)
·
Orientasi
Kesepakatan (Consensus Orienntation)
·
Kesetaraan
(Equity)
·
Efektivitas
(Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
·
Akuntabilitas
(Accountability)
·
Visi
Strategis (Strategic Vision)
1. Partisipasi (Participation)
Semua
warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung
maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk
mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk
dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka
regulasi birokrasi harus diminimalisasi.
Partisipasi
masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik
memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan
hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah
menjadi tindakan publik yang anarkis.
2. Penegakan Hukum (Rule Of Law)
Pelaksanaan
kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditata oleh sebuah sistem dan aturan
hukum yang kuat serta memiliki kepastian. Tanpa kepastian dan aturan hukum,
proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik, seperti lalu lintas
tanpa rambu-rambu atau marka jalan
Proses
mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk
menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:
1. Supremasi hukum (the supremacy of law),
yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini didasarkan pada hukum
dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaanya secara benar serta
independen.
2. Kepastian hukum (legal certainty), bahwa
setiap kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur oleh hukum yang jelas dan
pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
3. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan
hukum itu disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodir
berbagai kebutuhan publik, sehingga tidak hanya mewakili kepentingan segelintir
elit kekuasaan atau kelompok tertentu.
4. Penegakan hukum yang konsisten dan
non-diskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa
pandang bulu.
5. Independesi peradilan, yakni peradilan
itu harus independen tidak dipengaruhi oleh penguasa atau oleh lainnya.
3. Tansparasi (Transparency)
Transparansi
(keterbukaan untuk umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good &
clean governance. Akibat tidak adanya prinsip transparasi ini, menurut banyak
ahli, Indonesia telah terjerembab kedalam kubangan korupsi yang berkepanjangan,
baik dilakukan indivindu maupun lembaga yang secara langsung merugikan negara.
Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi
adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan.
Gaffar
menyumpulkan, terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus
dilakukan secara transparan, yaitu:
1. Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan
2. Kekayaan pejabat publik
3. Pemberian penghargaan
4. Penetapan kebijakan yang terkait dengan
pencerahan kehidupan
5. Kesehatan
6. Moralitas para pejabat dan aparatur
pelayanan publik
7. Keamanan dan Ketertiban
8. Kebijaksanaan Strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
4. Responsif (Responsiveness)
Responsif
yakni, pemerintahan yang harus peka dan cepat tanggap terhadap
persoalan-persoalan masyarakat. Gaffar menegaskan bahwa pemerintah harus
memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan
keinginan-keinginanya, tapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagi kebijakan
strategis guna memenuhi kepentingan umum.
Sesuai
dengan asas responsif, setiap unsur pemerintahan harus memiliki dua etik,
yakni:1. Etik individual
Kualifikasi
etik individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria
kapabilitas dan loyalitas profesional.2. Etik sosial
Menuntut
mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik. Namun
demikian, mereumuskan keragaman partikultural dari kebutuhan dan permasalahan
secara umum bukanlah hak yang mudah. Menjembatani persoalan ini, menurut
Kumorotomo, pemerintah dapat melakukan generalisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat
yang universal, dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Kebahagiaan terbesar bagi jumlah besar
b. Mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan
terutama bagi mereka yang paling tidak beruntung
c. Melakukan segala sesuatu yang membuat
semua orang menjadi lebih baik, atau setidaknya tidak seorang pun menjadi lebih
buruk.
Sedangkan
hal yang terkait dengan asas responsif adalah pemerintah harus terus merumuskan
kebijakan-kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial sesuai
dengan karakteristik budayanya.
5. Orientasi Kesepakatan (Consensus
Orientation)
Asas
fundamental yang lain juga harus menjadi perhatian pemerintah dalam
melaksanakan tugas-tugas pemerintahaanya menuju cita good governance adalah
pengambilan keputusan secara konsensus, yakni pengambilan putusan melalui
proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama.
Dalam
pengambilan berbagai kebijakan, jajaran birokrasi pemerintah harus
mengembangkan beberapa sikap, antara lain:
a) Optimistik, yakni sikap yang
memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
b) Keberanian, yakni keberanian dalam
pengambilan keputusan dan kebijakan dengan penuh integritas dan kejujuran
c) Keadilan yang berwatak kemurahan hati,
yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan
etik.
6. Kesetaraan (Equity)
Terkait
dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus
didukung dengan asas kesetaraan (equity), yakni kesamaan dalam perlakuan dan
pelayanan. Asas ini harus dperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelenggara pemerintah di Indonesia baik pusat dan daerah, karena kenyataan
sosiologis Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama maupun
budaya.
7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness
And Efficiency)
Untuk
menunjang asas-asas yang telah disebutkan diatas, pemerintah yang baik dan
bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni berdayaguna dan
berhasil guna. Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan parameter produk
yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai
kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan
rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat.
Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka
pemerintah tersebut termasuk dalam kategori pemerintah yang efisien.
Konsep
efektifitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni:1. efektivitas dalam pelaksanaan
proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi
masyarakat.2. efektivitas dalam konteks hasil, yakni
mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan
sosial.
8. Akuntabilitas (Accuontability)
Asas
akuntabilitas adalah pertanggung-jawaban pejabat publik terhadap masyarakat
yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat
publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral,
maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas
akuntabilitas dalam upaya menuju cita good governance.
Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua
dimensi, yakni:
1) Akuntabilitas vertikal menyangkut
hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan
warganya. Rakyat melalui partai politik, LSM dan institusi-institusi lainnya
berhak meminta pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara.
Akuntabilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung
jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang
lebih tinggi. Seperti seorang bupati yang mempertanggungjawabkan pekerjaannya
pada gubernur, dan gubernur harus mempertanggungjawabkan pekerjaanya pada
presiden. Begitu juga presiden mempertanggungjawabkan pekerjaanya kepada
lembaga tertinggi negara, yakni MPR, anggota MPR harus mempertanggungjawabkann
pekerjaanya pada masyarakat yang memilihnya.
2) Sedangkan akuntabilitas horisontal
adalah pertanggungjawaban pemegang
jabatan publik pada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD
tingkat 1, bupati dengan DPRD tingkat II, dan presiden dengan DPR pusat, yang
pelaksanaanya bisa dilakukan oleh para menteri sebagai pembantu presiden.
9.
Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi
strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan
datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good
governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu
cepat.
C. Good and Clean Governance dan Kontrol
Sosial
Keterlibatan
masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga pemerintah pada akhirnya akan
melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga
pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang
baik dan efektif (good government) dan bersih (good governance), bebas dari
KKN. Untuk mewujudkannya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program,
yakni:
1. Penguatan Fungsi dan Peran
Penguatan
peran lembaga perwakilan rakat, MPR, DPR dan DPRD, mutlak dilakukan dalam
rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.
Selain melakukan check and balances, lembaga legeslatif harus pula mampu
menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif serta
keterlibatan anggota legeslatif untuk mengontrol dan mengawasi akuntabilitas
pelaksanaan program pembangunan.
2. Kemandirian Lembaga Peradilan
Intervensi
eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat, sehingga peradilan tidak mampu
menjadi pilar terdepan dalam menegakkan asas rule of law. Departemen Kehakiman
dengan Mahkamah Agung belum ada pemisah secara maksimal hingga posisi hakim
masih terkesan ambigu dalam kedudukannya sebagai badan yudikatif dan
kepanjangan tangan eksekutif.
3. Profesionalitas dan Integritas Aparatur
Pemerintah
Jajaran
birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki integritas, berjiwa demokratis
dan memilliki akuntabilitas yang kuat sehingga dapat menjadikan pelayanan
birokrasi secara cepat dan berkualitas serta efektif, karena itu pengembangan
birokrasi harus diubah menjadi birokrasi populis.
4. Penguatan Partisipasi Masyarakat Madani
(Civil Sociaty)
Bebagai
kebijakan hukum harus memberi peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi.
Masyarakat mempunyai hak atas informasi, menyampaikan usulan dan melakukukan
kritik terhadap berbagai kebijakan pmerintah yang tidak menguntungkan, baik
melalui lembaga perwakilan, pers maupun penyampain secara langsung melalui
dalam bentuk dialog-dialog terbuka dengan LSM, politik, Organisasi Massa atau
institusi lainnya.
5. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam
Kerangka Otonomi Daerah.
Pengelolaan
pemerintah yang bersih dan berwibawa dapat dilakukan dalam semua tingkatan,
baik pusat maupun daerah. Lahirnya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah telah memberikan kewenangan terhadap daerah unutuk melakukan pengelolaan
dan memejukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam tata
pemerintahan yang baru perlu dikembangkan hubungan yang sinergis antara warga
negara dengan pemerintah, hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan warga negara
ikut serta dalam perumusan kebijakan dan implementasinya.
Karakteristik Governance
Baru
Karakter
|
Governance
Baru
|
Birokrasi
Klasik/Ortodok
|
Hubungan dengan warga Negara
|
Memungkinkan adanya hubungan dan
mengikut sertakan masyarakat
|
Memungkinkan adanya hubungan dan
mengikut sertakan masyarakat
|
Goals
|
Diarahkan dengan misi
|
Diarahkan dengan program
|
Pendekatan kepada masalah-masalah
|
Proaktif dengan memberikan
kesempatan untuk kreatif
|
Reaktif dengan indivindu sebagai
solusi permasalahan
|
Pengeluaran
|
Keuntungan jangka panjang
|
Keuntungan jangka pendek
|
Nilai-nilai sukses
|
Mengembangkan hasil
|
Mengutamakan in-put
|
D.
Tata Kelola Kepemerintahan Yang Bersih (Clean
Governance) dan Gerakan Anti KKN
Korupsi
adalah suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional.
Korupsi menjadikan ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak sehat
dan moralitas yang terus menerus merosot. Strategi untuk memberantas korupsi
yang mengedepankan kontrol kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak
korupsi, yaitu peluang dan keinginan korupsi. Karena itu hal dua itulah yang
perlu dicontrol.
1. Makna Korupsi
Menurut
Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku indivindu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Badan
Penagawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendifinisikan korupsi sebagai
tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan
pribadi atau kelompok tertentu.
2. Asal-Muasal Korupsi di Negara Berkembang
Beberapa
hal yang menjadi akar masalah terjadinya korupsi antara lain :
a. Kemiskinan
Kemiskinan
telah menjadi sebuah mekanisme yang membuat korupsi menjad sesuatu yang lumrah,
korupsi dengan latar belakang kemiskinan dapat dikatakan berasal dari
kebutuhan.
b. Kekuasaan
Hal
ini menjadi alasan karena kekuasaan sering membuat orang berperilak
semena-mena, mengindahkan peraturan dan mengambil keuntungan dengan kekuasaan
yang diraihnya.
c. Budaya
Alasan ini adalah alasan yang paling
menyakitkan. Dari hasil penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar
Uneversitas Waseda Jepang mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat dengan sistem Keluaga Besar, sebuah masyarakat yang mempunyai nilai
bahwa kesuksesan seorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh
anggota kelurga besar itu. Katanya “Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah
berpikir jangka panjang.
d. Ketidaktahuan
Ini adalah alasan yang paling mudah dicap
sebagai mengada-ada. Hal ini menjadi alasan karena kadang dana yang diberikan
sering kali tidak diketahui peruntukannya, dan karena tidak tahu (tidak perlu
mencari tahu).
e. Rendahnya Kualitas Moral Suatu
Masyarakat
Kualitas moral ini ditentukan oleh banyak
hal, seperti kemiskinan, kualitas
pendidikan dari masyarakt tersebut.
f. Lemahnya Kelembagaan Politik Dari Suatu
Negara
Kelembagaan yang pertama adalah sistem hukum
dan penerapannya. Kasus korupsi yang tidak ditangani, atau tidak ditangani
secara sungguh-sungguh akan mengembangkan nilai dimata publik bahwa korupsi
“aman” dilakukan asal membayar “harga tertentu”. Kedua, lembaga-lembaga publik
yang memang tidak dibentuk untuk siap memberikan insentif yang wajar. Birokrasi
pemerintahan dibentuk untuk melayani publik seharusnya ditata dengan mengetahui
kapasitas pemerintah untuk dapat memberikan insentif yang memadai agar tidak
mendorong pegawai negeri menjadi korup. Ketiga, mekanisme interaksi diantara
lembaga-lembaga yang ada di dalam suatu negara memang menuntut adanya “suap”.
g. Penyakit Bersama
Korupsi merupakan gejala baru dalam
globalisasi. Sebagai sebuah “penyakit”,
maka dalam dunia yang terinterkoneksi, maka dengan cepat menular dari satu
kawasan kekawasan lain.
3. Dampak Korupsi
Beberapa
hal yang diakibatkan dari perilaku korupsi, yaitu:
a. Mencerminkan kegagalan mencapai
tujuan-tujuan yang ditetapakan pemerintah
b. Merusak mental aparat pemerintah
c. Akan manimbulkan perkara yang harus
dibawa kepengadilan dan tuduhan palsu yang diguanakan pada pejabat yang tidak
jujur untuk tujuan pemerasan
d. Jika elit politik dan penjabat tinggi
pemerintah secara luas dianggap korup, maka publik akan menyimpulkan tidak ada
alasan bagi publik untuk boleh korup juga.
4. Gerakan Anti Korupsi
Jeremy
Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi dengan mengedepankan kontrol
kepada dua unsur paling berperan didalam tindak korupsi. Pertama, peluang
korupsi. Kedua, keinginan korupsi. Peluang dapat dikurangi dengan cara
mengadakan perubahan secara sistematis, sedangkan keinginan dapat dikurangi
dengan membalikkan siasat “laba tinggi, risiko rendah” manjadi “laba rendah ,
risiko tinggi” dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan
menegakkan mekanisme akuntabilitas. Jalan ketiga adalah mencegah dan mendidik
masyarakat agar tidak pro terhadap korup.
Pada
prinsipnya, korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara. Dengan
demikian penanggulangan korupsi dilakukan dengan pendekatan komprehensif dan
sistemik, yaitu menjangkau seluruh bagian ranah kehidupan manusia yang saling
terkait, terpadu dan simultan.
Penanggulangan
korupsi dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penjabat negara dan pimpinan lembaga
pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah
proaktif pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi
b. Penegakan hukum secara adil
c. Memberikan penididikan anti korupsi,
baik melalui pendidikan formal maupun non-formal
d. Membangun lembaga-lembaga yang mendukung
upaya pencegahan korupsi, misalnya KPK
e. Gerakan religiusitas yaitu gerakan
membangun kesadaran keagamaan dan
mengembangkan spiritualitas anti-korupsi.
E.
Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good
Governance)dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik
Salah
satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat. Melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai
kehormatan, merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi.
Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan
masyarakat terhadap kinerja birokrasi.
Kinerja
birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat
pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Pengelompokan jenis
pelayanan publik pada dasarnya dilakukan melihat jenis jasa yang dihasilkan
oleh suatu institusi. Jasa itu sendiri menurut Kotler adalah “setiap
tindakan ataupun perbuatan yang dapat
ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak
berwujud fisik dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Berdasarkan
definisi jasa sebagaimana dikemukakan diatas, Tjiptono menyimpulkan pendapat
berbagai ahli mengenai jasa sebagai berkut:
1) Dilihat dari pangsa pasarnya, dibedakan
antara:
a. Jasa pada konsumen akhir
b. Jasa pada konsumen organisasional
2) Dilihat dari tingkat keberwujudannya,
dibedakan:
a. Jasa barang sewaan
b. Jasa barang milik konsumen
c. Jasa untuk bukan barang
3) Dilihat dari keterampilan penyediaan
jasa, dibedakan antara:
a. Pelayanan profesional
b. Pelayanan non profesional
Ada
beberapa alasan sebagaimana dikemukakan oleh Agus Dwiyanto mengapa pelayanan
publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan good
governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah
dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non
pemerintah; kedua, pelayanan publik sebagai ranah dimana berbagai aspek good
governance dapat diartikulasikan secara mudah; ketiga, pelayanan publik
melibatkan kepentingan semua unsur governance yaitu pemerintah, masyarakat dan
mekanisme pasar.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain:
a. Manajemen organisasi dalam menerjemahkan
dan menyelaraskan tujuan birokrasi.
b.Budaya kerja dan organisasi pada
birokrasi.
c. Kualitas sumber daya manusia yang
dimiliki birokrasi.
d. Kepemimpinan
birokrasi yang efektif.
e. Koordinasi kerja pada birokrasi.
_________________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat
Komaruddin, AzraAzyumardi, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani,
(Jakarta: ICCE UIN SH, 2000)
Azra
Azyumardi, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE
UNI SH, 2000)
Dwiyanto
Agus, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Gadjah Mada:
University Press, 2005)
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
Nama : Alfi Rinaldi
Nim : 140602197
Jurusan : Ekonomi Syariah
Unit : 7
Mk : PPKN