Tuesday, 24 February 2015

Good and Clean Governance

A.    Pengertian Good & Clean Governance
Secara umum istilah Good & Clean Governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian Good & Clean Governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan semata, tetapi menyangkut semua lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat). Menurut Andi Faisal Bakti, dalam pemaknaannya istilah Good Governance memiliki pengartian pengajawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga negara kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai. Dalam konteks Indonesia substansi wacana good &clean government dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Senada dengan Bakti, Santosa menjelaskan bahwa good governance sebagaimana didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik, ekonomi,danadministrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pemerintahan yang baik (good government) adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor swata. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan diantara mereka.


Sejalan dengan prinsip diatas, pemerintah yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan bebas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses pembangunan. Good & Clean Governance dapat terwujud bila ketiga pilar pendukungnya dapat berfungsi secara baik, yaitu: Negara, sektor swasta dan masyarakt madani (civil society). Negara dengan birokrasi peemerintahannya dituntut untuk merubah pola pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis, yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sektor swasta harus pula terlibat dan dilibatkan oleh negara untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumber daya dan perumusan kebijakan politik.

B.    Prinsip-Prinsip Good & Clean Governance         
Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan (9) aspek fundamental untuk merealisasikan pemerintah yang profesional dan akuntabel yang bersandar  pada  prinsip-prinsip good & clean governance, yaitu:
·         Partisipasi (Participation)
·         Penegakan Hukum (Rule Of  Law)
·         Transparansi (Transparency)
·         Responsif (Responsiveness)
·         Orientasi Kesepakatan (Consensus Orienntation)
·         Kesetaraan (Equity)
·         Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
·         Akuntabilitas (Accountability)
·         Visi Strategis (Strategic Vision)

1.      Partisipasi (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis.


2.      Penegakan Hukum (Rule Of Law)
Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditata oleh sebuah sistem dan aturan hukum yang kuat serta memiliki kepastian. Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik, seperti lalu lintas tanpa rambu-rambu atau marka jalan
Proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:
1.      Supremasi hukum (the supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaanya secara benar serta independen.
2.      Kepastian hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
3.      Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum itu disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik, sehingga tidak hanya mewakili kepentingan segelintir elit kekuasaan atau kelompok tertentu.
4.      Penegakan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu.
5.      Independesi peradilan, yakni peradilan itu harus independen tidak dipengaruhi oleh penguasa atau oleh lainnya.

3.      Tansparasi (Transparency)
Transparansi (keterbukaan untuk umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good & clean governance. Akibat tidak adanya prinsip transparasi ini, menurut banyak ahli, Indonesia telah terjerembab kedalam kubangan korupsi yang berkepanjangan, baik dilakukan indivindu maupun lembaga yang secara langsung merugikan negara. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan.
Gaffar menyumpulkan, terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
1.      Penetapan posisi,  jabatan atau kedudukan
2.      Kekayaan pejabat publik
3.      Pemberian penghargaan
4.      Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
5.      Kesehatan
6.      Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
7.      Keamanan dan Ketertiban
8.      Kebijaksanaan Strategis  untuk pencerahan kehidupan masyarakat.



4.      Responsif (Responsiveness)
Responsif yakni, pemerintahan yang harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Gaffar menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginanya, tapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagi kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.

Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintahan harus memiliki dua etik, yakni:1.      Etik individual
Kualifikasi etik individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.2.      Etik sosial
Menuntut mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik. Namun demikian, mereumuskan keragaman partikultural dari kebutuhan dan permasalahan secara umum bukanlah hak yang mudah. Menjembatani persoalan ini, menurut Kumorotomo, pemerintah dapat melakukan generalisasi  terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang universal, dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.       Kebahagiaan terbesar bagi jumlah besar
b.      Mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan terutama bagi mereka    yang     paling tidak beruntung
c.       Melakukan segala sesuatu yang membuat semua orang menjadi lebih baik, atau setidaknya tidak seorang pun menjadi lebih buruk.
Sedangkan hal yang terkait dengan asas responsif adalah pemerintah harus terus merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial sesuai dengan karakteristik budayanya.

5.      Orientasi Kesepakatan (Consensus Orientation)
Asas fundamental yang lain juga harus menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahaanya menuju cita good governance adalah pengambilan keputusan secara konsensus, yakni pengambilan putusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama.
Dalam pengambilan berbagai kebijakan, jajaran birokrasi pemerintah harus mengembangkan beberapa sikap, antara lain:
a)      Optimistik, yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
b)      Keberanian, yakni keberanian dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dengan penuh integritas dan kejujuran
c)      Keadilan yang berwatak kemurahan hati, yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik.

6.      Kesetaraan (Equity)
Terkait dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan (equity), yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus dperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintah di Indonesia baik pusat dan daerah, karena kenyataan sosiologis Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama maupun budaya.

7.      Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness And Efficiency)           
Untuk menunjang asas-asas yang telah disebutkan diatas, pemerintah yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni berdayaguna dan berhasil guna. Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintah tersebut termasuk dalam kategori pemerintah yang efisien.
Konsep efektifitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni:1.      efektivitas dalam pelaksanaan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat.2.      efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan sosial.


8.      Akuntabilitas (Accuontability)    
Asas akuntabilitas adalah pertanggung-jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju cita good governance.
 Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni:
1)      Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya. Rakyat melalui partai politik, LSM dan institusi-institusi lainnya berhak meminta pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Akuntabilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi. Seperti seorang bupati yang mempertanggungjawabkan pekerjaannya pada gubernur, dan gubernur harus mempertanggungjawabkan pekerjaanya pada presiden. Begitu juga presiden mempertanggungjawabkan pekerjaanya kepada lembaga tertinggi negara, yakni MPR, anggota MPR harus mempertanggungjawabkann pekerjaanya pada masyarakat yang memilihnya.
2)      Sedangkan akuntabilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang  jabatan publik pada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD tingkat 1, bupati dengan DPRD tingkat II, dan presiden dengan DPR pusat, yang pelaksanaanya bisa dilakukan oleh para menteri sebagai pembantu presiden.

9. Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat.



C.    Good and Clean Governance dan Kontrol Sosial
Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga pemerintah pada akhirnya akan melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang baik dan efektif (good government) dan bersih (good governance), bebas dari KKN. Untuk mewujudkannya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:

1.      Penguatan Fungsi dan Peran
Penguatan peran lembaga perwakilan rakat, MPR, DPR dan DPRD, mutlak dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan. Selain melakukan check and balances, lembaga legeslatif harus pula mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif serta keterlibatan anggota legeslatif untuk mengontrol dan mengawasi akuntabilitas pelaksanaan program pembangunan.
2.      Kemandirian Lembaga Peradilan
Intervensi eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat, sehingga peradilan tidak mampu menjadi pilar terdepan dalam menegakkan asas rule of law. Departemen Kehakiman dengan Mahkamah Agung belum ada pemisah secara maksimal hingga posisi hakim masih terkesan ambigu dalam kedudukannya sebagai badan yudikatif dan kepanjangan tangan eksekutif.
3.      Profesionalitas dan Integritas Aparatur Pemerintah
Jajaran birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki integritas, berjiwa demokratis dan memilliki akuntabilitas yang kuat sehingga dapat menjadikan pelayanan birokrasi secara cepat dan berkualitas serta efektif, karena itu pengembangan birokrasi harus diubah menjadi birokrasi populis.
4.      Penguatan Partisipasi Masyarakat Madani (Civil Sociaty)
Bebagai kebijakan hukum harus memberi peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi. Masyarakat mempunyai hak atas informasi, menyampaikan usulan dan melakukukan kritik terhadap berbagai kebijakan pmerintah yang tidak menguntungkan, baik melalui lembaga perwakilan, pers maupun penyampain secara langsung melalui dalam bentuk dialog-dialog terbuka dengan LSM, politik, Organisasi Massa atau institusi lainnya.

5.      Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam Kerangka Otonomi Daerah.
Pengelolaan pemerintah yang bersih dan berwibawa dapat dilakukan dalam semua tingkatan, baik pusat maupun daerah. Lahirnya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah telah memberikan kewenangan terhadap daerah unutuk melakukan pengelolaan dan memejukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam tata pemerintahan yang baru perlu dikembangkan hubungan yang sinergis antara warga negara dengan pemerintah, hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan warga negara ikut serta dalam perumusan kebijakan dan implementasinya. 

Karakteristik Governance Baru
Karakter
Governance Baru
Birokrasi Klasik/Ortodok
Hubungan dengan warga Negara
Memungkinkan adanya hubungan dan mengikut sertakan masyarakat
Memungkinkan adanya hubungan dan mengikut sertakan masyarakat
Goals  
Diarahkan dengan misi
Diarahkan dengan program

Pendekatan kepada masalah-masalah
Proaktif dengan memberikan kesempatan untuk kreatif
Reaktif dengan indivindu sebagai solusi permasalahan

Pengeluaran
Keuntungan jangka panjang
Keuntungan jangka pendek

Nilai-nilai sukses
Mengembangkan hasil
Mengutamakan in-put




D.    Tata Kelola Kepemerintahan Yang Bersih (Clean Governance) dan Gerakan Anti KKN
Korupsi adalah suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional. Korupsi menjadikan ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak sehat dan moralitas yang terus menerus merosot. Strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan kontrol kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak korupsi, yaitu peluang dan keinginan korupsi. Karena itu hal dua itulah yang perlu dicontrol.

1.      Makna Korupsi
Menurut Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku indivindu yang   menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Badan Penagawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendifinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

2.      Asal-Muasal Korupsi di Negara Berkembang
Beberapa hal yang menjadi akar masalah terjadinya korupsi antara lain :

a.       Kemiskinan
Kemiskinan telah menjadi sebuah mekanisme yang membuat korupsi menjad sesuatu yang lumrah, korupsi dengan latar belakang kemiskinan dapat dikatakan berasal dari kebutuhan.

b.      Kekuasaan
Hal ini menjadi alasan karena kekuasaan sering membuat orang berperilak semena-mena, mengindahkan peraturan dan mengambil keuntungan dengan kekuasaan yang diraihnya.

c.       Budaya
    Alasan ini adalah alasan yang paling menyakitkan. Dari hasil penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar Uneversitas Waseda Jepang mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan sistem Keluaga Besar, sebuah masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan seorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota kelurga besar itu. Katanya “Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir jangka panjang.

d.      Ketidaktahuan
    Ini adalah alasan yang paling mudah dicap sebagai mengada-ada. Hal ini menjadi alasan karena kadang dana yang diberikan sering kali tidak diketahui peruntukannya, dan karena tidak tahu (tidak perlu mencari tahu).

e.       Rendahnya Kualitas Moral Suatu Masyarakat
    Kualitas moral ini ditentukan oleh banyak hal, seperti kemiskinan, kualitas  pendidikan dari masyarakt tersebut.

f.       Lemahnya Kelembagaan Politik Dari Suatu Negara
  Kelembagaan yang pertama adalah sistem hukum dan penerapannya. Kasus korupsi yang tidak ditangani, atau tidak ditangani secara sungguh-sungguh akan mengembangkan nilai dimata publik bahwa korupsi “aman” dilakukan asal membayar “harga tertentu”. Kedua, lembaga-lembaga publik yang memang tidak dibentuk untuk siap memberikan insentif yang wajar. Birokrasi pemerintahan dibentuk untuk melayani publik seharusnya ditata dengan mengetahui kapasitas pemerintah untuk dapat memberikan insentif yang memadai agar tidak mendorong pegawai negeri menjadi korup. Ketiga, mekanisme interaksi diantara lembaga-lembaga yang ada di dalam suatu negara memang menuntut adanya “suap”.

g.      Penyakit Bersama
     Korupsi merupakan gejala baru dalam globalisasi. Sebagai sebuah  “penyakit”, maka dalam dunia yang terinterkoneksi, maka dengan cepat menular dari satu kawasan kekawasan lain.

3.      Dampak Korupsi
Beberapa hal yang diakibatkan dari perilaku korupsi, yaitu:
a.       Mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan yang ditetapakan pemerintah
b.      Merusak mental aparat pemerintah
c.       Akan manimbulkan perkara yang harus dibawa kepengadilan dan tuduhan palsu yang diguanakan pada pejabat yang tidak jujur untuk tujuan pemerasan
d.      Jika elit politik dan penjabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka publik akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi publik untuk boleh korup juga.

4.      Gerakan Anti Korupsi
Jeremy Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi dengan mengedepankan kontrol kepada dua unsur paling berperan didalam tindak korupsi. Pertama, peluang korupsi. Kedua, keinginan korupsi. Peluang dapat dikurangi dengan cara mengadakan perubahan secara sistematis, sedangkan keinginan dapat dikurangi dengan membalikkan siasat “laba tinggi, risiko rendah” manjadi “laba rendah , risiko tinggi” dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas. Jalan ketiga adalah mencegah dan mendidik masyarakat agar tidak pro terhadap korup.
Pada prinsipnya, korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara. Dengan demikian penanggulangan korupsi dilakukan dengan pendekatan komprehensif dan sistemik, yaitu menjangkau seluruh bagian ranah kehidupan manusia yang saling terkait, terpadu dan simultan.
Penanggulangan korupsi dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Penjabat negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah proaktif  pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
b.      Penegakan hukum secara adil
c.       Memberikan penididikan anti korupsi, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal
d.      Membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi,   misalnya KPK
e.       Gerakan religiusitas yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan  mengembangkan spiritualitas anti-korupsi.



E.    Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik

Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan, merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi. Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kinerja birokrasi.
Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Pengelompokan jenis pelayanan publik pada dasarnya dilakukan melihat jenis jasa yang dihasilkan oleh suatu institusi. Jasa itu sendiri menurut Kotler adalah “setiap tindakan  ataupun perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud fisik dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Berdasarkan definisi jasa sebagaimana dikemukakan diatas, Tjiptono menyimpulkan pendapat berbagai ahli mengenai jasa sebagai berkut:
1)      Dilihat dari pangsa pasarnya, dibedakan antara:
a.       Jasa pada konsumen akhir
b.      Jasa pada konsumen organisasional

2)      Dilihat dari tingkat keberwujudannya, dibedakan:
a. Jasa barang sewaan
b.      Jasa barang milik konsumen
c.       Jasa untuk bukan barang

3)      Dilihat dari keterampilan penyediaan jasa, dibedakan antara:
a.       Pelayanan profesional
b.      Pelayanan non profesional
Ada beberapa alasan sebagaimana dikemukakan oleh Agus Dwiyanto mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan good governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah; kedua, pelayanan publik sebagai ranah dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara mudah; ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain:
a. Manajemen organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan birokrasi.
b.Budaya kerja dan organisasi pada birokrasi.
c. Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki birokrasi.
d. Kepemimpinan birokrasi yang efektif.
e. Koordinasi kerja pada birokrasi.






_________________________________________________________________________________

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Komaruddin, AzraAzyumardi, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN SH,  2000)
Azra Azyumardi, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UNI SH, 2000)
Dwiyanto Agus, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Gadjah Mada: University Press, 2005)
_________________________________________________________________________________


Nama                             :  Alfi Rinaldi
Nim                                : 140602197
Jurusan                          :  Ekonomi Syariah
Unit                               :  7
Mk                                 : PPKN




















Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment